Persoalan Demokrasi
Semua memahami bahwa sejarah dan
pemahaman awal demokrasi tidak berasal dari AS. Kita mengetahui bahwa pemahaman
demokrasi secara tertulis berasal dari Yunani. Bahkan sebagian masyarakat dan rakyat
suatu negara memiliki pemahaman demokrasi dan implementasi nilai-nilai dg
demokrasi tersendiri. Wacana demokrasi yang berasal dari dunia internasional
dan AS hanyalah suatu perbandingan perbedaan implementasi demokrasi di beberapa
negara. Perbedaan tersebut yang sebenarnya, saya sebagai warganegara Indonesia
(dan saya yakin beberapa teman saya di negara lain juga mengakui hal yang
sama), dihormati, dihargai, dan ditoleransi. Perbedaan itu diakui, bukan
dipaksakan.
Beberapa pemberitaan di media
seperti dilansir dalam satu topik besar “the Arab Spring” dan “the Myanmar
Reform” atau “Indonesia Reform” dan pemberitaan terkini, “the Demand of
Malaysia Political Reform”, merupakan sedikit dari banyak pihak internasional
menyebutnya arus demokrasi internasional. konteks demokrasi yang diusung oleh
internasional ini menurut saya terkesan seperti topik yang terlalu
dibesar-besarkan. Respon paling bersemangat berasal dari negara AS, terutama
terkait dengan lawan politiknya, China. Betapa tidak, AS selalu semangat untuk
mendorong adanya transparansi baik di sisi kebebasan internet, keterbukaan
konflik yang melibatkan Tibet dan China, Laut China selatan, dan yang terbaru,
tahanan politik China yang mendapat perlindungan offisial dari AS.
Tulisan ini bukan bermaksud
mengungkapkan antipati terhadap rezim otoriter di luar Indonesia, sebaliknya
ditulis karena perhatian. Manakala negara tersebut melakukan apapun untuk
menjaga keutuhan politik dan integritas kedaulatannya melalui wacana demokrasi
dalam versinya sendiri, mengapa negara lain meresponnya dengan pemahaman mereka
sendiri. Perbedaan pemahaman itu sangat mendasar yang mana pemahaman satu
negara tentu berbeda dengan negara lain. Oleh karena itu, saya berkeyakinan apa
yang terbaik untuk negara tersebut, maka negara tersebutlah yang paling
memahami, bukannya negara lain yang secara bertubi-tubi seolah memaksakan
pemahamannya.
Ntahlah, ini hanya sedikit
tulisan untuk mengungkapkan pendapat saya. Belakangan ini banyak kunjungan
berbagai negara Eropa seperti David Cameron ke Myanmar. Obama barangkali
sedikit lebih sibuk kampanye untuk pemilu presiden periode berikutnya. Persoalan
kunjungan negara barat di Myanmar dinilai sebagai bentuk dukungan terhadap
perkembangan demokrasi. Misalnya, Myanmar sedang mengalami satu perubahan
penting dalam fase politiknya. Pertama, setelah sekian lama berjuang sebagai tahanan
politikny, A Suu Kyi akhirnya resmi menjadi presiden pertama di negara
tersebut. Banyak analis hubungan internasional menganggap hal ini sebagai
kemajuan positif di balik berbagai penganiayaan hak asasi manusia yang
dilakukan oleh militer Junta (utamanya pasca peristiwa pada 2005 lalu).
Pada dasarnya, demokratis atau
tidak, sebenarnya tidak memerlukan pengakuan dari negara lain. Keberhasilan
proses demokratis di suatu negara semestinya merupakan konsesi dan integrasi
kepentingan dan kebutuhan orang-orang di negara tersebut. Mereka lah yang
paling mengetahui apa yang terjadi dan apa yang dibutuhkan oleh mereka sendiri,
bukan orang asing. (pendapat)
Comments
Post a Comment