Problem Multikultural di Negara Monokultural: kasus Uyghur di Provinsi Xin Jiang terhadap mayoritas China Han, RRC
Tema: Politik Multikulaturalisme
dalam perspektif global: analisis dan praktik
|
Topik:
“Problem
Multikultural di Negara Monokultural: kasus Uyghur di Provinsi Xin Jiang
terhadap mayoritas China Han, RRC”[1]
|
Multikulturalisme memiliki banyak pengertian.
Salah satu pengertian yang menekankan adanya penghargaan terhadap
keanekaragaman di luar kultur dominan[2].
Pandangan multikulturalisme bermanfaat untuk mengetahui bagaimana struktur
sosial menciptakan dan menjaga kultur-kultur yang berbeda dalam suatu masyarakat[3].
Multikulturalisme dapat menjadi sumber
konflik. Dalam kerangka politik multikulturalisme, Kymlicka (2001) mengemukakan
terdapat dua aspek munculnya multikulturalisme, yakni migrasi yang masuk ke
suatu daerah dan adanya kebanggaan sebagai minoritas. Aspek pertama dialami
oleh negara-negara tujuan immigran dalam studi kasus yang diteliti pada negara Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia.[4]
Sedangkan aspek kedua lebih bersifat pada unsur identitas yang dimiliki oleh
individu yang dirasa lebih kuat daripada rasa nasionalismenya. Tulisan ini akan
lebih menekankan pada aspek identitas etnis daripada imigran.[5]
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap
kultur memiliki identitas, standar, dan norma, yang mana mesti diterima dan
dihargai oleh negara natif. Seringkali identitas, standar, dan norma yang
diyakini oleh suatu kultur tidak selaras dengan norma negara natif atau kultur
dominan. Perbedaan pemahaman tersebut yang sering kali memicu konflik yang
dapat bermuatan sosial, politik, ekonomi, dan yang dalam ruang lingkup hubungan
internasional dapat mengancam eksistensi negara (survival of the state). Di suatu negara, perbedaan kultur bahkan
dinilai mengganggu kestabilan dan kedaulatan negara sehingga benturan politik dengan
instrumen militer pun tidak bisa dihindari. Penjelasan kedua, berasal dari
aspek keilmuan hubungan internasional, menggunakan perspektif geopolitik
minyak.[6]
Bagan 1Provinsi
Xin Jiang dalam Kedaulatan China Daratan
Salah satu contoh fenomenal yang
mengundang perhatian internasional ialah kerusuhan yang terjadi di Xinjiang
salah satu provinsi sebelah Barat Laut China yang berbenturan dengan
kepentingan politik pemerintah Beijing yang mayoritas China Han.[7]
Kerusuhan ini memiliki akar permasalahan panjang secara historis sebagaimana
banyak tulisan telah disusun untuk meneliti penyebab-penyebabnya dan
faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi.
Diyakini
konflik di Xinjiang (antara etnis Uygur dan China Han) yang berujung pada
tindakan represi militer pemerintahan Beijing baik secara kultural
maupun politik muncul karena banyak sebab, baik internal maupun eksternal.
Penyebab internal antaralain pencarian China akan kebutuhan permintaan energi
domestik seiring dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi yang pesat. [8]
Persengketaan akan sumber daya alam energi yang terkandung di provinsi Xinjiang
hanyalah permasalahan makro (terkait sektor energi global) di luar permasalahan
mikro yang ada (terkait dengan pertentangan etnis dan dugaan invasi China Han
di wilayah tersebut).
Etnis
Uyghur menilai China Han sebagai penjajah dan bukti represi militernya sangat
nyata. Berulang kali benturan antara penduduk sipil dan militer terjadi yang
menghasilkan penindasan hak-hak asasi manusia, bahkan pada era revolusi
kebudayaan pada masa Mao Zedong terjadi genosida dan pembersihan etnis
besar-besaran guna mendukung kebijkan China Han. Salah satu korbannya ialah
etnis Uygur. Sulit sekali menemukan permulaan konflik karena persengketaan dua
etnis tersebut telah terjadi bertahun-tahun, bahkan mungkin sejak era dinasti
China.
China merupakan negara yang memiliki
beragam etnis di luar 56 etnis yang diakui pemerintah Beijing. Di antara ke 56
etnis tersebut, etnis terbesar ialah Han, sedangkan etnis Uyghur hanya
berjumlah ± 8.399.393 berdasarkan sensus pada 2010.[9]
Jumlah tersebut tersusun atas orang keturunan China, Kazakhstan (berjumlah
223.100 pada tahun 2009), dan Kirgiztan (berjumlah 49.000 pada tahun 2009). Etnis
Uygur memiliki bahasa dan tulisan sendiri yang masuk dalam kelompokTurkish dari
Filum Altaic. Nama Uygur sendiri berasal dari bahasa Turkis yang artinya
“sekutu” atau “asisten”.[10]
Pada abad kesebelas, komunitas etnis Uygur memeluk agama Islam.[11]
Secara historis etnis Uyghur memiliki catatan panjang sebagai komunitas yang
memiliki hubungan dagang dan komunikasi dengan serangkaian wilayah lain di Asia
Tengah. Penemuan ladang minyak di wilayah tinggal etnis Uigur yakni Xin Jiang,
mengakibatkan arus China Han mulai membanjiri wilayah tersebut. Kekhawatiran
arus masuk China Han (dalam represi pemerintah dan kolonialisasi) memaksa etnis
Uygur menggalakkan kampanye (bahkan sampai menarik simpati internasional) untuk
mengklaim kembali tanah mereka, menghentikan tekanan poliis dan keagamaan, hingga
pada taraf tertentu muncul separatisme mendukung independensi Uygur menjadi
negara berdaulat.[12]
Mengingat populasi China Han yang
komposisinya ±98% dari total penduduk China, maka terdapat perbedaan besar yang
meletakkan norma, standar, dan keyakinan etnis Uyghur termarginalisasi. Bahkan
pemerintah Beijing beranggapan agar persoalan etnis minoritas di Xin Jiang itu
dieliminasi secara agresif melalui agresi militer. Berbagai realisasi kebijakan[13]
tersebut antara lain terjadinya genosida, “ethnic cleansing”, bahkan wanita dan
anak-anak menjadi korban.[14]
Di luar penjelasan yang di kemukakan
di atas yakni dari perspektif geopolitik,
sistem energi global, dan sistem internasional; perspektif politik
multikulturalisme menjelaskan aspek-aspek lain yang belum dirangkum dalam
penjelasan keilmuan hubungan internasional. aspek-aspek tersebut antar lain,
berupa sejumlah fakta tekanan sosial etnis China Han didukung oleh pemerintah
Beijing yang memarginalkan etnis Uyghur. Menggunakan konseptualisasi oleh
Kymlicka (2001), maka diperoleh wacana bahwa, daripada multikulturalis, China
merupakan negara yang bersifat monokulturalis yang tidak menerima perbedaan
kultur maupun norma di luar etnis mayoritas.[15]
Hal ini yang menyebabkan pemerintah Beijing sangat berambisi menciptakan “One
Han”. Ambisi tersebut diwujudkan melalui orang-orang Han berbondong-bondong
datang ke Xin Jiang. Kebijakan ini kemudian ditafsirkan sebagai suatu bentuk
kolonialisasi.
Norma yang dianut oleh China Han ialah
Konfuciusme dan pemerintahan Beijing sendiri menegakkan nilai-nilai komunis dan
sosialis yang bertentangan dengan nilai-nilai etnis Uyghur. Diyakini
permasalahan di Provinsi Xin Jiang antara etnis marginal Uyghur dan China Han
merupakan sebab dari penolakan pemerintah China sebagai negara multikultural.
Penerimaan perbedaan hanyalah berada dalam tataran “hitam di atas putih” semata
tanpa adanya kesetaraan dalam aspek nasionalisme. Padahal berdasarkan tulisan
Kymlicka (2001) terdapat dua elemen utama politik multikulturalisme yakni acceptance dan allowance.[16]
Konflik etnis di Xinjiang, dari
perspektif multikulturalisme[17]
dapat dipahami melalui dua kerangka penjelasan. Pertama, adanya rasa etnis minoritas dan marginal Uyghur yang
merasa dikolonolisasi (melalui represi-represi militer) oleh China Han. Bentuk
represi tersebut bermacam-macam, utamanya ialah fakta bahwa sebagian besar elit
birokrasi dan politis di Xin Jiang diduduki oleh orang-orang Han.
Kedua,
kegagalan model
multikulturalisme Kymlicka, yakni kegagalan menciptakan conformity sebagai resolusi konflik.[18]
Model Conformity memberikan
solusi terhadap konflik yang terjadi melalui penjelasan yang menempatkan etnis
Uyghur sebagai pihak “imigran” yang masuk ke dalam wilayah China. Model ini
menjelaskan bahwa pihak imigran dianjurkan untuk beradaptasi dan mengadopsi
kultur dan standar negara natif (host
country). Kegagalan yang terjadi ialah, benturan nilai yang sangat
paradoksial antara nilai-nilai Islamis (dalam ajaran Islam, ialah nilai
Ketauhidan) dengan paham komunis yang tidak mengenal Tuhan. Model ini mengalami
jalan buntu karena keyakinan akan ke-Esaan Tuhan merupakan harga mati bagi
etnis Uyghur.[19]
Konflik antaretnis di Xin Jiang ini
masih menemui kebuntuan. Pemerintah Beijing sendiri mendapat sejumlah kritik
dari internasional. Namun di berbagai pemberitaan lokal China, pemerintah
Beijing selalu mengklaim bahwa situasi di Xinjiang berada di bawah kontrol.
Namun di sisi lain, pihak internasional melalui lembaga hak asasi manusia dan
pihak lain mengakui bahwa kompleksitas konflik di Xinjiang semakin meningkat
dan tekanan militer tetap ada. Bentrokan antaretnis pun masih terus terjadi
seiring dengan semakin intensifnya cadangan minyak di wilayah tersebut.
Sebagaimana konflik lain yang
menyinggung kepentingan nasional pemerintah Beijing di dalam wilayah
pengaruhnya,[20] pemerintah Beijing sangat
resisten dalam merespon himbauan internasional. Bahkan baru-baru ini pemerintah
Beijing mengumumkan kebijakan lebih ketat pada pupulasi etnis Uyghur. Salah
satunya kebijakan pengendalian dan atau pengetatan kelahiran warga Uyghur yang
disinyalir digunakan sebagai strategi membendung populasi Uyghur.[21]
Oleh karena itu, konflik di Xinjiang ini mengundang protes internasional
terhadap aksi sepihak pemerintah Beijing karena pelanggaran-pelanggaran ham yang
terjadi.
Solusi riil yang ditawarkan untuk
mengurangi konflik multikulturalisme ialah mempekerjakan manajer senior yang
lebih lokal sebagai representatif lokal. Sebagaimana diuraikan dalam penjelasan
sebelumnya mengenai letak-letak sumber konflik antara lain (1) perbedaan
pemahaman kepercayaan agama etnis Uigur dengan paham Komunisme China, (2) ketimpangan
perekonomian, (3) penindasaan terhadap hak-hak asasi manusia suku Uyghur
sebagai marginal dan minoritas, (5) invasi Han ke wilayah etnis suku Uyghur
tanpa mem (politik apa gitu ini yah); maka solusi yang ditawarkan harus sangat
representatif dan mengatasi setiap problem secara spesifik. Misalnya terkait
dengan ketimpangan perekonomian, maka daerah Uyghur mesti didorong, dididik,
dan dikembangkan secara lebih seimbang. Artinya masyarakat lokal juga harus
mendapatkan sebagian porsi potensi ekonomi yang dieksplor dari wilayah
tersebut. Mereka perlu disejahterakan secara langsung dan kepemilikan tanah dan
wilayah mereka mesti diakui tanpa lepas dari administrasi pemerintah Beijing.
Kedua, terkait dengan problem superioritas etnis Han, maka terciptanya model
multikulturalisme “salad bowl” atau “cultural mosaic” mesti diselenggarakan
secara damai tanpa adanya paksaan maupun kekerasan terutama dari kekuatan militer.
Keterlibatan militer Beijing setidaknya dikurangi dalam batas-batas yang hanya
menjamin keamanan dan kestabilan dalam masyarakat, bukan dalam kegiatan suatu
agresi militer yang hanya akan menghasilkan genosida.[22]
Solusi kedua ialah jika kepentingan nasional
China ialah mengamankan suplai cadangan energi dari Asia Tengah (Kazakhstan,
Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kirgiztan) dan Laut Kaspia, maka pemerintah
Beijing seharusnya menerapkan kebijakan yang mengikuti model multikulturalisme.
Model multikulturalisme diperoleh dengan adanya toleransi terhadap etnis-etnis
minoritas yang ada.[23]
Referensi
Willet, C. (1998). Theorizing Multiculturalism, A guide to the
Current Debate. Oxford: Blackwell Publishers
Geuijen, C H M dan G Wekker, et al. (1998). Multiculturalism. Utrecht: Lemma B.V.
Kymlicka, Will. (2001). Politics in the Vernacular: Nationalism,
Multiculturalism, and Citizenship. New York: Oxford Press University
Ernste, H. (2006). Geographical Approaches of Multiculturalism
and Kymlicka, h. 7
Christopher Booden (2006), More Birth Control Sought in China Region”,
dalam “The Wasington Post Online”, edisi 17 February 2006
Sumber
Internet
“List of ethnic Groups in china and
their population sizes” dalam http://www.paulnoll.com/China/Minorities/China-Nationalities.html, diakses pada 3
November 2011
“Uygur Nationality” dalam http://www.travelchinaguide.com/intro/nationality/uigur/, diakses pada 3
November 2011
“Ethnic Conflict and Natural
Resources, Xinjiang, China” dalam http://www1.american.edu/ted/ice/xinjiang.htm, diakses pada 3
November 2011
China’s Minority Ethnic, Racism, and
Sensibility Issues”, dalam http://www.china-briefing.com/news/2009/07/08/chinas-minority-ethnic-racism-and-sensibility-issues.html, diakses pada 3
November 2011
[1] Tulisan
ini disusun untuk memenuhi tugas tengah semester mata kuliah Politik
Multikulturalisme, Dosen PJMK Haryadi, Ph.D; pada Jumat 4 November 2011 pukl
09.30-11.00
[2] C Willet
(1998), Theorizing Multiculturalism, A
guide to the Current Debate, Oxford, Blackwell Publishers
[3] C H M
Geuijen, G Wekker, et al. (1998), Multiculturalism, Utrecht, Lemma B.V.
[4] W
Kymlicka (2001), Politics in the
Vernacular: Nationalism, Multiculturalism, and Citizenship, New York,
Oxford Press University
[5] Berasal
bahwa sampai sekarang bahkan dalam sejarah China, tidak ada catatan yang
menguatkan etnis Uyghur sebagai imigran yang datang ke China. maka analisisnya
jatuh pada aspek kedua dalam konsep teoritis politik multikulturalisme.
[6]
Pendekatan geopolitik minyak digunakan untuk menjelaskan signifikasi potensi
sumber daya energi, yakni minyak yang diperebutkan oleh banyak aktor yang
berkepentingan. Adapun aktor yang berkepentingan ialah, beberapa negara Asia
Tengah di sekitar perbatasan China yang ikut menyumbang komposisi kultural
etnis Uyghur di Xinjiang, pemerintah Beijing yang kepentingan nasionalnya
sedang dalam usaha mencari sumber strategis minyak yang baru dan mengamankan
sumber-sumber tersebut (eksplorasi minyak di Xinjiang masih terhambat karena
konflik etnis tersebut), dan aktor terakhirialah Uyghur yang juga secara
parsial ingin mengklaim wilayah dan sumber daya energiyang ada di Xinjiang.
[7] Istilah
Pemerintah Beijing digunakan untuk menggantikan pemerintahan pusat China.
Namun, tetap tidak mengurangi arti sebenarnya yang merujuk pada pemerintahan
Partai Komunis China. Hal ini juga sering dilakukan di berbagai literatur
misalnya untuk menyebut pemerintahan di Rusia atau Moskow dengan sebutan Kremlin.
[8] Tulisan hubungan
tingkat pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat permintaan kebutuhan energi
domestik China dapat dilihat pada tulisan Daojiong (2005) China’s Energy
Security: Domestic and International Issues., vol 48, no. 1. Spring 2006., h.
185
[9] Etnis
China dapat diketahui berdasarkan jumlahnya dalam “List of ethnic Groups in
china and their population sizes” dalam http://www.paulnoll.com/China/Minorities/China-Nationalities.html,
diakses pada 3 November 2011
[10] “Uygur
Nationality” dalam http://www.travelchinaguide.com/intro/nationality/uigur/,
diakses pada 3 November 2011
[11] “Ethnic
Conflict and Natural Resources, Xinjiang, China” dalam http://www1.american.edu/ted/ice/xinjiang.htm,
diakses pada 3 November 2011
[12] Ibid., h. 1
[13]
Kebijakan ini juga seringkali disebut-sebut sebagai “Go West Policy”, yang
dinisiasi sejak January 2000.
[14] Secara
geopolitik, wilayah ini menjadi semakin penting karena berdekatan dengan Asia
Tengah. Asia Tengah merupakan sumber cadangan energi dan suplai energi
terpenting China saat ini setelah Sudan dan Timur Tengah. Selain itu minyak
menambah posisi Xin Jiang secara geoekonomi lebih penting dan merupakan wilayah
paling krusial bagi China. Wilayah ini juga masih sangat kental dengan tindakan
separatis melawan pemerintah Beijing. Bahkan muncul banyak tuduhan bahwa
gerakan tersebut mendapat pengaruh dan sumbangan dari negara-negara di Timur
Tengah dan Asia Tengah
[15] Negara
dikatakan memeluk politik multikultur apabila kebijakan pemerintahan ditujukan
pada perumusan hubungan atau menjembatani hubungan antara kultur yang berbeda
dalam batas negaranya
[16] H
Ernste (2006), Geographical Approaches of
Multiculturalism and Kymlicka, h. 7
[17]
Perspektif multikulturalisme meyakini bahwa penyebab multikulturalisme ialah karena
kolonialisasi, globalisasi, dan migrasi (Ernst, 2006: 13)
[18]
Kymlicka (2001) menggagasi dua model untuk membantu menjembatani persoalan
multikulturalisme, pertama “anglo-conformity”—nama “anglo” diperoleh dari studi
kasus multikulturalisme di Kanada dan Amerika Serikat sebagai negara tujuan
imigran dunia; dan “multicultural-model”.
[19] Menurut
kepercayaan Agama Islam, seseorang tidak akan diterima segala amalnya di dunia
apabila menyekutukan Allah dan tidak mengenal ke-Esaan Allah (Surat Al Kautsar,
dalam Al Quran)
[20]
Pemerintah China vs Filipina, Brunei, Thailand, Taiwan dan Jepang terkait kasus
pengelolaan maritim di Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Kepulauan
Spratly menemui jalan yang buntu karena resistensi pemerintah China terhadap
himbauan-himbauan internasional.
[21]Christopher
Booden (2006), More Birth Control Sought
in China Region”, dalam “The Wasington Post Online”, edisi 17 February 2006
[22]
“China’s Minority Ethnic, Racism, and Sensibility Issues”, dalam http://www.china-briefing.com/news/2009/07/08/chinas-minority-ethnic-racism-and-sensibility-issues.html,
diakses pada 3 November 2011
[23] Model
Multikulturalisme pertama kali diciptakan pada awal 1970-an yang diperoleh dari
tekanan dan represi yang dialami oleh para immigran di Kanada, Australia, dan
Amerika Serikat (Kymlicka, 2001). Negara pertama yang menerapkan model
kebijakan tersebut ialah pemerintahan Kanada pada 1971 (H Ernst, 2006).
Comments
Post a Comment