Dinamika Kebijakan Publik
1. Dinamika Kebijakan Publik
Memahami dinamika kebijakan publik berarti memahami
perubahannya. Fokus tersebut terletak pada perumusan kebijakan dan proses
implementasi kebijakan. Apakah memahami dinamika kebijakan publik itu penting?
Tidak semua sistem itu dinamis, tapi dinamika bisa
terjadi dalam suatu sistem. Robert Jervis mendefinisikan sistem sebagai
serangkaian unit elemen yang saling berhubungan sehingga perubahan dalam satu
elemen akan merubah keseluruhan sistem tersebut (Jervis, 1997: 6). Terkait
dengan dinamika, terdapat sistem yang terbuka sistem yang tertutup. Sistem yang
tertutup yakni sistem yang responsif terhadap perubahan yang diawali dari dalam
sistem itu sendiri. Sistem yang terbuka ialah sistem yang reponsif tidak hanya
dari dalam tetapi juga dari lingkungan di sekitarnya.
Struktur suatu sistem terdiri dari: (1) konstituennya,
(2) peraturan yang mengatur masukan tertentu ke dalam sistem, dan (3) informasi
yang dibutuhkan sistem untuk menerapkan peraturan-peraturan. Penyelenggaraan
sistem menciptakan ‘feedback’ yang mungkin mengubah struktur pada sistem
tersebut.
2. Keseimbangan Monopoli dan Keseimbangan yang terputus
Frank R. Baumgartner dan Bryan D.
Jones telah mengambil langkah penting di luar pencitraan dan teori keseimbangan
berosilasi (Baumgartner dan Jones 1993). Mereka memberi patokan kondisi kontrol
monopoli agenda di daerah yang diterbitkan oleh didirikannya kepentingan.
Sebuah pencitraan yang lebih tua menggambarkan hal yang sama adalah ‘‘iron
triangle’’ dari kelompok kepentingan, (birokrat) lembaga eksekutif, dan alokasi
kongres dan kebijakan komite. Jika ketiganya ini sepakat pada kebijakan, tidak
ada orang lain yang bisa masuk ke dalam permainan. Dan bahkan jika mereka tidak
setuju, mereka punya kepentingan dalam menjaga orang lain yang keluar saat
mereka menetapkan masalah di antara mereka sendiri. Mengetahui hal ini,
beberapa bahkan mencoba. Baumgartner dan Jones menyebut kondisi keseimbangan, meskipun
sebenarnya tidak menyeimbangkan apapun. Ini adalah “keseimbangan” hanya dalam
arti yang sama bahwa kematian adalah negara yang “damai”. Menolak kedua teori
yang salah tentang budaya dan korporasi, David Vogel berpendapat bahwa reformis
gerakan Xourish ketika ekonomi berkinerja relatif baik dan menjadi lebih diam
saat itu mulai memburuk (Vogel 1989).
Namun demikian, istilah ini berguna
diterapkan di sini karena meruntuhkan sistem dominasi, tidak seperti yang
dibangkitkan dari kematian, sebenarnya mungkin. Mengadopsi bahasa biologi
evolusi, yang mereka sebut proses meruntuhkan sebuah “tanda baca” dari
keseimbangan yang ada. Dalam keberangkatan yang berguna dari pencitraan
osilasi, mereka menganggap bahwa kekuatan yang disebabkan oleh tanda baca dapat
dimulai pada hampir setiap saat dan pergi dalam banyak arah. Setelah
penyalahgunaan alkohol, misalnya, mendapatkan masalah dalam agenda sosial yang
entah bagaimana pemerintah harus memperhatikan berbagai solusi dalam berbagai
tempat. Bir dan lobi penyuling tidak dapat menekan semua pembicaraan di
mana-mana. Kebijakan pendekatan menjalankan gamut dari pendukung dalam
penelitian pengemudi yang sedang mabuk untuk mendapatkan pendidikan terhadap
penyalahgunaan alkohol. Selain itu, lembaga yang ditetapkan, seperti National Institute on Alcohol Abuse dan Alkoholisme, yang menjamin
untuk terus meningkatkan perhatian untuk
menerbitkan bahkan setelah kepopuleran mungkin telah surut (Baumgartner dan
Jones 1993, 161-4, 84). Baumgartner dan Jones menjelaskan “models of issue expansion”. Dalam satu kasus antusiasme yang populer untuk
menangani masalah novel atau kesempatan menyebabkan penciptaan kebijakan baru
dan lembaga baru. Dalam kasus lain, ada
“mobilization of criticism” yang menyerang gambut yang
teradapat monopoli dan merebut kendali agenda. Dalam kedua kasus tersebut,
media perhatian adalah perkembangan katalis pusat dan awal, diikuti dengan
perhatian terpilih. Meskipun Baumgartner dan menghitung Jones kedua kasus sebagai
”pattern[s] of
punctuated change’’ (1993, 244) yang
seharusnya tidak dianggap sebagai sebuah instance dari ‘‘punctuated equilibrium”. Jika memang ada kebaruan, tidak ada
yang substantif untuk menekankan. Perubahan terputus hanya sehubungan dengan laju
perubahan itu sendiri.
3. Sistem Osilasi
Istilah osilasi seringkali digunakan
dalam ranah ilmu pengetahuan alam, khususnya fisika, untuk menjelaskan adanya
gerakan periodik di sekitar titik keseimbangan. Akan tetapi, dalam kaitannya
dengan ilmu perpolitikan, istilah sistem osilasi berarti keseimbangan
kekuasaan politik di arena internasional (Bardach 2006,
354). Sejumlah fitur yang penting dalam sistem osilasi yakni
mencakup: (1) munculnya koalisi
pengimbang sebagai penantang bagi
setiap koalisi negara yang muncul
dan (2) adanya xuidity dalam pembentukan
koalisi, atau dengan kata lain musuh kita hari ini
bisa jadi akan beraliansi atau bersekutu dengan kita suatu hari nanti. Sistem ini senantiasa berosilasi antara
perdamaian relatif dan perang. Perang akan terjadi apabila
kekuatan penyeimbang (countervailing
threats) gagal untuk mengimbangi kekuatan pihak lainnya.
Keseimbangan kekuasaan (balance of power) dalam beberapa kondisi
memang telah berhasil mencegah terjadinya perang seperti misalnya yang terjadi
di era Renaissance
Eropa hingga era Perang Dunia II. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa sistem keseimbangan kekuasaan tersebut dapat mencegah terjadinya perang sepanjang masa. Perang akan meletus dan sistem keseimbangan akan runtuh khususnya apabila penguasa (rulers) bersifat sangat ambisius atau salah perhitungan, ataupun ketika kekuatan pengimbang (countervailing power) lambat dalam memobilisasi kekuatan sehingga sistem keseimbangan runtuh dan terjadilah perang. Kegagalan sistem lebih sering terjadi karena dipengaruhi oleh faktor eksogen seperti misalnya faktor psikologi pemimpin maupun pengaruh dari kondisi perpolitikan domestik (Bardach 2006, 355).
Eropa hingga era Perang Dunia II. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa sistem keseimbangan kekuasaan tersebut dapat mencegah terjadinya perang sepanjang masa. Perang akan meletus dan sistem keseimbangan akan runtuh khususnya apabila penguasa (rulers) bersifat sangat ambisius atau salah perhitungan, ataupun ketika kekuatan pengimbang (countervailing power) lambat dalam memobilisasi kekuatan sehingga sistem keseimbangan runtuh dan terjadilah perang. Kegagalan sistem lebih sering terjadi karena dipengaruhi oleh faktor eksogen seperti misalnya faktor psikologi pemimpin maupun pengaruh dari kondisi perpolitikan domestik (Bardach 2006, 355).
Osilasi kekuatan politik bahkan kerapkali juga terjadi dalam
perpolitikan domestik suatu negara khususnya di antara para pembuat keputusan atau
aturan (regulatory agencies). Osilasi
terjadi antara partai-partai maupun antar kelompok kepentingan. Untuk mencapai
kondisi ini dibutuhkan seorang regulator yang baik yang dapat membuat kebijakan
publik secara bijak serta dapat memperkirakan segala kondisi ketidakpastian
yang mungkin terjadi. Bendor, sebagaimana dikutip dalam Bardach (2006, 355),
mengatakan bahwa “jika regulasi yang lama berhasil menciptakan suatu keadaan
osilasi maka regulasi itu dapat dipertahankan, namun apabila regulasi yang lama
tidak berhasil maka seorang regulator yang baik haruslah mengencangkan (tighten) ataupun mengendurkan (loosen) aturan tersebut menyesuaikan
dengan kondisi yang terjadi.
Selain para pembuat aturan (regulatory agencies), masyarakat juga berperan penting dalam
mempengaruhi sistem osilasi politik. Bardach mengasumsikan masyarakat sebagai
sebuah ‘thermostat’ dimana masyarakat
akan memberikan respon ‘naik’ atau ‘turun’ terhadap setiap kebijakan publik
yang dibuat oleh para pembuat aturan. Respon ini akan menyesuaikan dengan
kebutuhan belanja (spending) dari
mayoritas masyarakat. Tidak hanya itu,
sistem osilasi juga dipengaruhi oleh partai-partai (parties) yang terdapat di suatu negara dan sistem pemilihan umum (elections) yang dianut oleh negara
tersebut. Huntington,
dalam Bardach (2006), menambahkan bahwa siklus reformasi (reformation cycle) politik juga akan berpengaruh terhadap sistem
osilasi. Para
pengamat mencatat bahwa terdapat sejumlah episode reformasi tertentu dalam sejarah politik Amerika dari masa ke masa seperti
misalnya reformasi anti korupsi, anti-bisnis, dan bahkan juga anti-pemerintah yang mana kesemua hal ini
berpengaruh terhadap system osilasi.
Dengan demikian, dari keseluruhan penjelasan di
atas terdapat sejumlah hal yang dapat mempengaruhi sistem osilasi, diantaranya:
(1) para pembuat aturan (regulatory agencies); (2) kebutuhan (spending) masyarakat; (3) partai-partai
dan pemilihan umum (parties and elections);
dan (4) siklus reformasi (reformation
cycle).
4. Momentum
Momentum mempengaruhi berbagai proses politik, contohnya
adalah pemilu. Fakta struktural utama dari proses momentum yaitu bahwa setiap
langkah-langkah proses memiliki dua aspek. Dengan kata lain, momentum merupakan
pergerakan dalam mencapai tujuan, yang mampu memberi dorongan kepada yang lain
untuk sama-sama maju pada tujuan tersebut. Dinamika yang lebih rumit tidak
hanya melibatkan pemberian isyarat namun juga berinteraksi, sebagai contoh,
proses pembangunan konsensus komunitas, stiap rekrut baru berperan sebagai
pembangun kepercayaan diri pada sebuah broadcast
channel, sebagai seorang pembicara dan sebagai pembujuk bagi mereka yang
berkomunikasi dengannya pada jaringan narrowcast.
Dinamika momentum adalah jantung dari fenomena kompleks sebuah revolusi.
Susanne Lohmann telah mendalilkan model “informational
cascades” untuk menerangi kegiatan protes masa yang mengarah pada runtuhnya
rezim dan menerapkannya secara persuasif terhadap Jerman Timur di tahun
1989-1991.
5.
Selective
Retention
Menurut evolusi biologi,
ingatan selektif biasa dikenal sebagai sebuah proses kompetitif. Pada
kenyataannya, model ini berlaku pada hasil dari kompetisi elektoral. Aplikasi
nyata lainnya adalah penentuan agenda. John Kingdon telah menerapkan model
tersebut, yang menghasilkan eVect
yang luar biasa (Kingdon 1995). Pemisahan arus menyebabkan munculnya beberapa
permasalahan kebijakan, seperti kursus politik melalui komunitas elit politik,
pemotongan secara sembrono apabila tidak dilakukan secara acak. Elemen-elemen
dari masing-masing arus dapat dikombinasikan dengan satu sama lain dan Xourish (“penggabungan” menurut Kingdon)
dapat mendatangkan keuntungan melalui sebuah “window of oppurtunity”, hal tersebut terbentuk dari peristiwa mikro
dan makro. Hasilnya adalah bahwasanya di dalam subset relevan para aktor
politik, suatu masalah tertentu, atau suatu kebijakan pencalonan tertentu,
harus didiskusikan terlebih dahulu, dan hal itulah yang disebut dengan suatu
agenda permasalahan.
6. Path-Dependency Shaping of Policy Options
Dalam proses pemberian kritik dan saran terhadap sebuah
kebijakan terdapat dua cara, yaotu positif dan negatif. Kritik yang positif
memiliki sifat yang lebih rumit dan berlawanan dari tujuan kritik. Namun, pada
dasarnya kritik yang positif merupakan dasar dari perkembangan dan pertumbuhan
sebuah kebijakan.
Kebijakan-kebijakan yang diciptakan di jaman sekarang
dapat dikatakan merupakan pengulangan dari kebijakan-kebijakan yang pernah
diciptakan sebelumnya. Konsep
pengulangan ini dalam perkembangannya dapat menghambat proses pembuatan
kebijakan (lock-in) atau dapat
mempercepat (opportunity-enhancing).
Contoh kasus untuk konsep ini
adalah wacana kebijakan kesehatan di Amerika Serikat. Para pemilik perusahaan
akan terpaksa membayar pekerjanya lebih tinggi sebagai kompensasi bagi mereka
karena pendapatan mereka akan dipotong oleh pajak kesehatan yang lebih tinggi
dari sebelumnya untuk keperluan jaminan kesehatan. Hal tersebut akan memberikan
biaya pengeluaran lebih kepada atasan dibandingkan apabila mereka membayar
asuransi premium. Dalam konsep pengulangan diatas, kasus diatas akan
menimbulkan dua sisi yaitu dari segi pembayar pajak kesehatan, pekerja atau
subsidi pajak kesehatan oleh pemilik perusahaan.
7.
Dinamik tanpa
Putaran Arus Balik (Feedback Loops)
Tidak semua
proses di dalamnya terkait putaran arus balik. Beberapa di antaranya hanya satu
arah.
8.
Retensi (hak
kepemilikan) Selektif dan Penyaringan (Filtering)
Dalam model kerajaan, agenda berasal dari perpaduan
kebijakan, politik, dan masalah sebagaimana mereka diinterseksi dan
dipertahankan sebuah proses kompetitif yang untung-untungan. Seseorang dapat
melihat keseluruhan proses sebagai pembuatan secara esensial dari sebua retensi
subsistem dan perpaduan susbsistem. Perpaduan susbsistem tersebut didominasi
oleh srus balik positif dan memberinya karakter bagi seluruh sistem.
Bagaimanapun, sangat mungkin melihat retensi selektif sebagai sebuah proses
yang bekerja, pada batasan tertentu, tanpa manfaat putaran arus balik sama
sekali.
Evolusi aturan hukum kebiasaan misalnya terkait property,
kerugian, dan kontrak, yang mana bukan “kebijakan” dalam tradisional, namun
merupakan fungsi ekuivalen “kebijakan” dalam lingkungan mereka sendiri. Yang
mana sering salah pengertian dengan kebijakan. Kemudian secara singkatnya, bagi
hukum yang tidak efisien akan diajukan ke tingkat yang lebih tinggi daripada
hukum efektif. Hal karena hukum tersebut tidak mampu memberi kontribusi yang
cukup bagi memajukan kemakmuran masyarakat.
Dalam proses
ini terjadi pula penyaringann, sebuah motif dibalik pengajuan perkara, semacam
proses evolusioner. Beberapa aturan hukum kebiasaan yang mana dianggap cukup
efesien untuk diperkaran dan diklaim, ditambahkan dalam kebijakan, namun yang
lain (yang dianggap kurang efisien) akan tersapu sejarah.
9.
Kejadian Riam
(Event Cascade)
Event
Cascade adalah kelas signifikan dalam proses dinamika satu arah
sebagaimana kejadian sebuah batu yang lonsor dari atas dan mencabut batu-batu
yang lebih bawah atau sebagaimaan cara kerja mesin Rube Goldberg. Satu kejadian
yang berlangsung akan memancing kejadian-kejadian lainnya dan berlangsung tak
terelakkan melalui medium yang menghubungkan mereka
10.
Sistem Kompleks
Sistem kompleks sulit untuk dipahami,
sehingga ia pun sulit untuk diprediksi. Kompleksitas itu sendiri bersumber pada
banyaknya interaksi di dalam sistem, yang oleh Jervis disebut sebagai
'interkoneksi' (Eugene Bardach, :352). Sedangkan menurut Jay W. Forrester
(1968) dan George P. Richardson (1991), sistem yang kompleks adalah sistem
dengan feedback loops yang multiple, non-linear, dan high-order.
Sistem ini sangat mudah terpengaruh pada perubahan, dikarenakan perilaku sistem
yang didominasi oleh struktur interkoneksi baik antar komponen maupun antara
komponen dengan sistem itu sendiri.
Forrester (1968) juga menambahkan bahwa
terdapat suatu mekanisme “compensating feedback” di dalam sistem
kompleks, yang nantinya akan menggagalkan intervensi kebijakan. Misalnya ketika
pemerintah menyediakan perumahan bagi warga berpenghasilan rendah dan program
lapangan kerja bagi pengangguran, maka kebijakan ini justru menambah tingkat
ketergantungan masyarakat, menjadi 'jebakan' kemiskinan, dan mengurangi prospek
kota. Sebaliknya ketika pemerintah tidak memberikan kebijakan-kebijakan
intervensi seperti itu, maka akan terjadi peningkatan jumlah lapangan pekerjaan
dan perekonomian kota secara keseluruhan. Sehingga, meskipun kasus seperti ini
menunjukkan proyeksi yang baik, tetapi ia juga bisa memberikan sisi proyeksi
yang buruk. Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan bahwa sistem yang
kompleks memang sulit diprediksi.
Jika kasus di atas mencerminkan model “top-down”,
maka di sisi lain Robert Axelrod (1984, 1997) mengembangkan suatu model “bottom-up”
dalam sistem, di mana ia menjadikan agen-agen independen sebagai unit yang
berinteraksi berdasarkan strategi tertentu. Dalam model berbasis agen ini,
rata-rata kepadatan penduduk mengalami perubahan diakibatkan oleh perbedaan
strategi yang digunakan. Dari sini kemudian adanya pemilihan aturan menjadikan
perubahan kepadatan tersebut sebagai suatu cara untuk menyebarkan perubahan
yang lebih jauh lagi dalam populasi. Sedangkan di dalam bukunya, Axelrod dan
Cohen (1999) memberikan saran kepada para manajer organisasi tentang bagaimana
memanfaatkan kompleksitas. Caranya yaitu merasa nyaman dengan ide-ide baru,
adaptasi sebagai salah satu bagian dari populasi, nilai varietas dan
eksperimen, serta potensi desentralisasi dan tumpang tindih kekuasaan.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa hampir setiap kebijakan yang mencakup hal-hal penting akan
dikaitkan dengan suatu sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang
kompleks. Dan dalam hal ini, simulasi komputer dianggap sebagai alat bantu yang
tepat dalam memproyeksikan desain kebijakan alternatif (Bardach, 2005 :353).
11. CHAOS THEORY
Jika sistem kompleks dikatakan tidak sensitif
terhadap parameternya, maka tidak semuanya adalah benar (Eugene Bardach, :354).
Output sistem yang meningkat merupakan hasil perkalian antara
pertumbuhan dengan perbedaan antara actual growth dan potential
growth. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sejumah jenis perilaku
bergantung pada bagaimana mereka bereaksi secara intensif terhadap produk. Pada
tingkat reaktivitas rendah, mereka mendekati titik keseimbangan; pada tingkat
yang lebih tinggi, mereka terombang-ambing; pada tingkat yang lebih tinggi lagi
mereka goyah dan meledak, dan pada level tertinggi, mereka terurai dan acak
(disebut sebagai 'chaotic'). Hal ini terjadi meskipun perilaku mereka
sebenarnya sudah ditentukan. Himpunan titik yang menuju ke mana sistem bergerak
sepanjang waktu, itulah yang disebut sebagai attractor. Dalam suatu
waktu, profil suatu sistem bisa berubah sebagaimana perkembangan perilakunya.
Hal inilah yang menyebabkan perilaku sistem berbeda-beda. Di sini, sistem
dikatakan sensitif terhadap “initial condition” (Eugene Bardach, :354)
Ketika mempelajari kebijakan, maka kita akan
mengalami kesulitan saat harus memilih antara model perubahan chaotic
yang diinduksi secara endogen dengan multivariat yang diinduksi secara eksogen.
Model chaos hanya dapat diterapkan untuk sistem yang tertutup secara
substansial dengan sejarah yang cukup panjang, dan tidak jelas apakah fenomena
tersebut eksis dalam jumlah yang besar. Sistem makroekonomi adalah yang paling
jelas dalam hal ini. Sayangnya karena chaos sering digunakan secara
longgar, mengakibatkan chaos justru menggambarkan tiap proses kompleks
yang non linier.
Sistem desentralisasi dengan rangkaian
interaksinya dan arus informasi yang kuat di antara para komponennya, dianggap
mampu mengembangkan koordinasi dan produktivitas internal. Mereka bersifat “self-organizing”.
Kemungkinan terbesar mereka dalam mencapai self-organization terjadi
ketika interaksi mereka telah menyentuh tepi dari chaos (Kauffman,
1995). Proposisi ini mungkin berlaku paling efektif untuk sistem non-manusia.
Manusia dapat secara purposif menciptakan interaksi, varietas, dan komunikasi
yang dibutuhkan dalam suatu sistem yang kompleks tanpa harus mendorong mereka
ke titik berbahaya. Yang perlu diperhatikan yaitu bahwa Axelrod dan Cohen
(1999, 72) memanfaatkan kompleksitas hampir tanpa mengacu pada chaos.
KESIMPULAN
Dinamika
pasti terjadi dalam suatu sistem, dinamika dipengaruhi baik baik dari internal
maupun eksternal suatu sistem. Pada sistem terbuka, dinamika terjadi secara
fleksibel. Dalam kebijakan publik, dinamika terjadi dalam usaha melakukan
kesetimbangan di dalam elemennya. Salah satu dinamika demi kesetimbangan
diproyeksikan dalam skema ‘iron triangle’. Suatu kebijakan publik pasti
memiliki momentum sebgai pergerakan dalam mencapai tujuan, sekaligus memberi
dorongan pada pemangku kepentingannya. Kebijakan publik itu harus didiskusikan
terlebih dahulu karena kebijakan publik itu terkait dengan agenda perumusan
permasalahan. Akan tetapi tidak menutup kepentingan bahwa kebijakan publik juga
mengalami pengulangan (repetisi) yang berpotensi menghambat atau mempercepat
perumusan agenda permasalahan. hampir setiap kebijakan yang mencakup hal-hal
penting akan dikaitkan dengan suatu sistem sosial, ekonomi, politik, dan budaya
yang kompleks. Dan dalam hal ini, simulasi komputer dianggap sebagai alat bantu
yang tepat dalam memproyeksikan desain kebijakan alternatif
Direview dari:
Eugene Bardach. 2005. Policy Dynamics dalam Michael Moran, Martin Rein, Robert Gooding,
“Handbook of Foreign Policy”., hlm. 336
Comments
Post a Comment