Sejauhmana Migrasi Internasional Menciptakan Problem Brain Drain di Negara Asal:
Sejauhmana Migrasi Internasional Menciptakan Problem Brain Drain di Negara
Asal:
studi komparasi masalah-masalah kependudukan di negara berkembang
I.1. Latar
Belakang
Sejak tahun 1970, bahkan sejak
perekonomian diikuti oleh kenaikan harga minyak dunia pada 1973, banyak
pemerintah Eropa Barat tidak bisa menghalangi datangnya pekerja asing kendati
mereka memiliki hak untuk melakukannya. Arus perpindahan penduduk melewati batas
negara ini dipahami sebagai isu utama yang berdampingan sebagai dampak dari
fenomena integrasi dimensi perdagangan, makroekonomi, pertumbuhan, dan
kesehatan yang terjadi berdampingan karena proses globalisasi. Fenomena,
penyebab, dan konsekuensi perpindahan melewati batas negara tersebut saat ini
tidak dikesampingkan dalam berbagai studi akademis ilmu sosial terkait dengan
ekonomi, ilmu politik, hubungan internasional dan studi lain yang melibatkan
serangkaian etika dan teori.
Terkait dengan “apakah arus migrasi merupakan sebab
proses globalisasi?” Arus migrasi pada era “saat ini” tidak lebih besar
daripada arus migrasi di era-era sebelumnya. Migrasi yang terjadi saat ini
hanya sebesar 175 juta orang saja, artinya jumlah ini hanya berkisar 3 persen
dari total penduduk dunia (Bhagwati, 2004: 209). Bhagwati menyebutkan banyak
pengamat menilai arus migrasi saat ini lebih kecil disebabkan hambatan seperti
kontrol perbatasan yang ketat dan migrasi bukan hal yang cuma-cuma. Ahli sejarah
banyak yang setuju bahwa migrasi yang paling fenomenal hingga mencapai 10
persen jumlah penduduk dunia terjadi di abad kesembilan belas. Perbedaan migrasi
era lalu dengan saat ini terletak pada perpindahan penduduk dari negara miskin
ke negara kaya daripada perpindahan penduduk dari Old World (Eropa) ke New
World (Amerika Serikat), merujuk pada perpindahan penduduk atau migrasi
sebelum dan pasca Perang Dunia. Pernyataan Bhagwati ini juga didukung oleh
Martin Wolf, Jeffrey William, dan Timothy Hutton yang menyatakan “Empat puluh
tahun sebelum PD I, migrasi meningkatkan daya kerja Dunia Baru (Amerika
Serikat) sebanyak 1/3 jumlah populasi dunia dan mengurangi daya kerja Eropa
sebanyak 1/8, merupakan gambaran yang tidak terlampaui oleh migrasi California
dan Meksiko yang terjadi empat puluh tahun yang lalu”. Perpindahan atau migrasi
saat ini diyakini merupakan suatu hal yang membawa pertentangan dan menimbulkan
anggapan bahwa mesti dikonfrontasi (Bhagwati, 2004: 209).
Arus perpindahan manusia (migrasi) terjadi
dalam banyak cara sehingga mengundang diterapkannya suatu kebijakan sebagai
respon terhadap fenomena tersebut. Bhagwati dalam tulisannya berjudul “International
Flows of Humanity” meyakini analisis arus perpindahan tersebut dikelompokkan
menjadi tiga tipe yang dapat membantu dalam mengenali problem migrasi saat ini
dan metode untuk mengatasinya antara lain (1) arus migrasi dari negara miskin
ke negara kaya dengan perbedaan implikasinya apabila arus tersebut berjalan
sebaliknya, (2) arus migrasi pekerja ahli dan pekerja non-ahli, pada awalnya
dapat dianggap menyebabkan problema brain-drain
di negara yang ditinggalkan biasanya terjadi di negara miskin dan berkembang
atau opportunity bagi para migran
sendiri, (4) arus migrasi secara ilegal dan legal, dan yang mana dipicu kondisi
dan situasi misalnya akibat perselisihan dan tekanan migrasi yang bersifat
karena dorongan (voluntary) atau
paksaan (involuntary) seperti arus
pengungsi.
Persoalan yang muncul terletak pada
asimetri kepentingan negara kurang maju (miskin) dan negara maju terkait dengan
migrasi. Misalnya, terkait dengan arus migrasi tenaga ahli dan tenaga non-ahli:
negara maju cenderung menginginkan imigran yang masuk adalah tenaga-tenaga ahli
yang kompeten dan sibuk untuk menerapkan berbagai kebijakan yang mencegah
tenaga non-ahli memasuki batas negara mereka. Sedangkan negara kurang maju
(negara asal miskin) memiliki kepentingan untuk membiarkan/ mengijinkan tenaga
kerja non-ahli keluar dari wilayahnya, dan menahan tenaga ahli untuk tetap
tinggal di negaranya. Fenomena perpindahan tenaga ahli ke negara maju inilah
yang sering dirujuk sebagai fenomena “brain drain” atau “human capital flight”.
Persoalan kedua terletak pada
ketidakseimbangan kesempatan di negara kurang maju (asal) dan negara maju
(negara tujuan) dalam menyediakan hiburan, fasilitas-fasilitas yang mendukung
karir profesional tenaga ahli, pengalaman pekerjaan yang lebih baik, dan pendidikan
untuk anak-anak mereka. Akan lebih tidak masuk akal jika negara asal menerapkan
kebijakan untuk membatasi imigran menetap di negara tujuan. Oleh karena itu
terdapat beberapa kondisi yang ditawarkan oleh Bhagwati dalam melihat fenomena “brain
drain” ini dari dua dimensi, negara asal dan negara tujuan.
Tulisan ini bertujuan mendapatkan
gambaran umum secara deskriptif tingkat migrasi internasional menciptakan
problem “brain drain” di negara asal beserta alternatif kebijakan migrasi di
beberapa negara di berbagai kawasan.
I.2. Rumusan
Masalah
Sejauhmana Migrasi Internasional Menciptakan Problem “Brain Drain” di negara
asal menggunakan studi komparasi masalah-masalah kependudukan di negara
berkembang
I.3. Analisa
Teoritis
I.3.1. Definisi Konseptual “Migrasi”
Migrasi didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau
kelompok orang dari satu unit wilayah geografis menyebrangi perbatasan politik
atau administrasi dengan keinginan untuk tinggal dalam tempo waktu yang tidak
terbatas atau untuk sementara di suatu tempat yang bukan daerah asal.[1]
Sedangkan migrasi tenaga kerja biasanya didefinisakan sebagai perpindahan
manusia yang melintasi perbatasan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan di negara
asing (IOM, 2009).
I.3.2. Jagdish Bhagwati (2006): Migrasi Internasional
Bhagwati menyebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi fenomena migrasi: faktor
pendorong dan penarik. Faktor pendorong ialah sejumlah faktor
yang mempengaruhi keputusan emigran untuk meninggalkan negara asal, sedangkan faktor penarik ialah sejumlah faktor
yang mempengaruhi arus masuk migrasi. Sejumlah faktor tersebut tidak hanya
beroperasi dalam ruang lingkup mekanisme pasar (penawaran dan permintaan) tetapi
juga konstruksi sosial yang mendorong “brain drain”.
Supply Factors: Peningkatan
kualitas standar hidup, kemajuan pendidikan dan kesempatan bagi anak-anak,
serta ketertarikan adanya fasilitas profesional lebih baik terkait dengan
migran tenaga ahli adalah sejumlah dorongan ekonomi utama emigrasi. Variabel
tersebut menjelaskan dorongan emigrasi, perpindahan dari negara kurang maju ke
negara maju, perpindahan tersebut dapat juga terjadi antarnegara maju. Akan
tetapi arus pengungsi ke satu wilayah tidak menjelaskan adanya penyebab atau
ketertarikan dorongan ekonomi di atas.
Meningkatnya ketimpangan (inequality) antarnegara yang dilihat
sebagai insentif yang menambah keinginan emigran untuk keluar dari negara
asalnya. Tetapi, Bhagwati menyebutkan bahwa seiring ketimpangan ini berkurang,
turut menjelaskan (meskipun tidak secara dramatis) menekan arus migrasi begitu
pesat.
Salah satu faktor yang menekan arus migrasi
saat ini ialah faktor finansial untuk melakukan perjalanan, khususnya bagi
negara kurang maju (miskin) yang kemudian cenderung untuk menempuh jalur
ilegal.
Migrasi biasanya dipicu oleh emigrasi
sebelumnya yang membangun momentum untuk tumbuh migrasi yang lebih besar.
Ditambah lagi biaya migrasi menjadi semakin rendah karena faktor kemudahan
teknologi, travel, dana
telekomunikasi yang mudah diakses.
Faktor Permintaan. Faktor permintaan
emigrasi meningkat di negara-negara maju, dan akan terus bertambah untuk dua
alasan: demografi dan bertambahnya permintaan terhadap tenaga kerja ahli yang
terspesialisasi. Pertama, faktor yang
membuat permintaan migrasi menguat dikarenakan oleh kondisi demografi negara
maju yang menunjukkan penurunan angka kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang
rendah. Kedua, karena adanya
permintaan terhadap pekerja ahli di negara kaya. Proses perkembangan informasi
dan teknologi yang kompleks telah mendatangkan kebutuhan pasar untuk ahli
komputer, programer, dan lainnnya. Ketiga, meningkatnya rekrutmen tenaga kerja
kontrak di berbagai pelayanan jasa yang ditampung oleh pihak-pihak asing
seperti perusahaan asing yang memiliki cabang di luar negeri (Bhagwati, 2004: 212).
Ketiga, meningkatnya tren outsourcing,
perekrutan tenaga kerja kontraktual di suatu perusahaan.
I.3.4. Teori Globalisasi dalam Migrasi Internasional (Bhagwati, 2006)
Menurut Bhagwati, proses migrasi
internasional ini tidak terlepas dari fenomena globalisasi yang membuat negara
seakin terintegrasi. Prospek Globalisasi
terhadap arus migrasi secara global: Globalisasi menciptakan peluang adanya
perdagangan dan interaksi internasional menguat. Globalisasi mendorong
kompetisi pasar dengan menciptakan dan menarik perhatian tenaga-tenaga ahli dan
profesional. Pemerintah melihat kualitas pekerja yang demikian akan cenderung
lebih mudah berasimilasi dengan lingkungan masyarakat baru.
Hal ini meningkatkan permintaan yang
sesuai dengan penawaran yang ada. Misalnya negara yang kurang berkembang tidak
mampu menyediakan imbalan ekonomi atau kondisi sosial yang diperlukan oleh
kelompok tenaga kerja ahli dan profesional. Akan tetapi, Eropa dan Amerika
serikat mampu memberikan kesempatan pendidikan anak-anak tenaga ahli dan
prospek karir yang tidak tersedia di negara asal mereka.
I.3.3. Analisa Teoritis:
“Fenomena Brain Drain” di Negara Berkembang
Brain Drain adalah keadaan di suatu negara yang mengalami
migrasi kaum intelektual ke luar negeri. Fenomena Brain Drain pertama kali diperkenalkan oleh Royal Society untuk menggambarkan fenomena migrasi kaum teknokrat
Inggris ke Amerika Utara pada era tahun 1950an. Saat ini, China, India, Pakistan,
dan Iran terkenal sebagai negara pengekspor kaum intelektual ke negara – negara
maju di AS maupun Eropa Barat. Tulisan ini akan mengulas lebih lanjut dampak
dari Brain Drain dan cara
penanggulangnya.
Umumnya, brain drain memberikan
tiga bentuk kerugian bagi negara pengekspor (negara asal). Pertama, brain drain menyebabkan kelangkaan SDM ahli. Hijrahnya
kaum intelektual ke luar negeri menyebabkan kurangnya tenaga ahli di dalam
negeri. Untuk mengatasi jurang antara kebutuhan industri dan kelangkaan SDM ahli,
negara yang terkena brain drain harus
merogoh kocek sangat dalam untuk membayar ekspatriat. Tentu saja, membayar para
ekspatriat juga akan berimbas pada lemahnya produk domestik bruto negara.
Negara – negara Afrika mengalami kerugian hingga sekitar 38 trilyun rupiah
setiap tahun akibat brain drain. Negara jazirah Arab harus merogoh kocek hingga
200 milyar dolar juga akibat brain drain.
Yuan (1992) menyatakan ada 5 faktor utama penyebab dari brain drain, yakni:
keunggulan fasilitas belajar dan riset di luar negeri, prospek karir yang lebih
cerah di luar negeri, tingkat pendapatan dan penghargaan yang lebih tinggi,
kepuasaan dalam pekerjaan, dan desakan dari keluarga inti. Lebih lanjut lagi,
Yuan (1992) memberikan 5 faktor utama yang memotivasi intelektual untuk pulang
ke negara asal, yakni: patriotisme, perasaan bersalah, rindu terhadap keluarga,
tersedianya pekerjaan yang sesuai, dan rasa nasionalisme.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi dapat dilihat melalui kerangka
teoritis oleh Bhagwati (2006). Dampak lebih jauh brain drain ialah kondisi dimana berkurangnya tenaga ahli dan terdidik
suatu negara. Kedua, rendahnya
kesejahteraan terhadap lingkungan di negara asal. Ketiga, pengembangan sumber daya manusia negara asal yang semakin
tertinggal. Dampak ketiga ini dialami oleh negara Indonesia. berdasarkan
laporan yang dikeluarkan oleh UNDP (United Nations Development Program) pada
2005, menyebutkan Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia.
Pada tahun sebelumnya, yakni 1997 peringkat Indonesia naik dari 99, ke 102 pada
2002 dan merosot pada peringkat 111 pada tahun 2004.[2]
A. Dilema “Brain Drain”
Indonesia
Dilema brain drain di Indonesia berasal dari tiga hal utama. Pertama,
tingkat angkatan kerja Indonesia yang masih sangat rendah. Pada tahun 2005,
dari 107 juta angkatan kerja Indonesia, persentase lulusan S1, D3, dan D1
secara berturut-turut hanya sebesar 3,13%, 1,26%, dan 1,03%. Untuk lulusan SMP
dan SMA masing-masing sebesar 19,55% dan 18,8%. Sedangkan untuk mereka yang
tamat maupun tidak tamat Sekolah Dasar (SD) masing-masing sebesar 37,3%. Hal ini diperparah oleh jumlah angka putus
sekolah yang demikian besarnya, yaitu mencapai 334.000 siswa setiap tahunnya.
Ini belum termasuk sekitar 14,6 juta penduduk Indonesia yang masih buta aksara
untuk golongan umur 15 tahun ke atas.[3]
Meskipun belum terdapat terdapat data
empiris, diperkirakan telah mencapai angka 5%. Jumlah ini dapat kita katakan
cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia yang disertai dengan
kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya menyisihkan sebesar 11,8 persen
dari APBN.
Kedua, penyebab brain drain dari dimensi struktural seperti beberapa kondisi riil
di dalam negeri menjadi pertimbangan penting bagi mereka untuk tetap menetap di
luar negeri. Misalnya, ketiadaan fasilitas dan dana untuk melakukan riset;
kurangnya jaminan sosial dan kenyamanan hidup, baik bagi sang tenaga ahli
maupun keluarganya; kurangnya prospek dan kesempatan berkarir; masih terjadinya
konsep senioritas yang kaku, lemahnya institusi, panjangnya birokrasi; hingga
terjadinya pendeskriditan pendapatan dan fasilitas antara tenaga ahli asing
dengan Indonesia walaupun berkualifikasi keahlian yang sama.
Ketiga, problem brain drain berasal dari
rendahnya kompetisi. Di sisi lain, universitas unggulan di dalam negeri sebagai
produsen utama tenaga ahli juga masih sangat minim, sehingga menyebabkan
terjadinya kekeringan dalam rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi di tanah air.
Padahal berdasarkan UNESCO Science Report 2005, pengembangan perguruan tinggi
di negeri asal menjadi magnet yang paling efektif untuk menarik para peneliti
kembali ke negara tempat kelahirannya. Secara kasat mata, salah satunya dapat
kita nilai dari tidak masuknya universitas-universitas terbaik di Indonesia
untuk 100 besar Asia Pasifik atau hanya menempatkan tiga universitas di urutan
akhir dari 500 universitas di dunia.[4]
B. Dilema “Brain Drain’ di Malaysia
Telah
terjadi fenomena brain drain yang serius di Malaysia. Faktor-faktor yang
mendukung diantaranya adalah kesempatan karir yang lebih baik diluar negeri,
adanya ketidakpuasan di negara sendiri seperti korupsi, ketidaksetaraan sosial,
sedikitnya kemerdekaan beragama, kesempatan pendidikan yang lebih luas dan
ketidakpuasan terhadap kebijakan Bumiputera. Pada tahun 2011, Bernama telah
melaporkan ada lebih dari 1 juta warga Malaysia yang bekerja diluar negeri.
Akhir-akhir ini fenomena brain drain telah meningkat: sebanyak 305.000 warga
Malaysia bermigrasi ke luar negeri antara Maret 2008 dan Agustus 2009
dibandingkan dengan ‘hanya’ 140.000 warga Malaysia bermigrasi pada 2007.
Destinasi yang popular antara lain Singapura, Australia, Amerika Serikat dan
Inggris. Fenomena ini telah menyebabkan rata-rata pertumbuhan ekonomi Malaysia
jatuh ke 4,6 persen per annum pada tahun 2000an dibandingkan pada tahun 1990an
yakni mencapai 7,2 persen.
Brain drain atau perpindahan tenaga ahli
adalah sebuah kemestian sekaligus merupakan fenomena global. Sebuah negara
tidak mungkin melakukan pelarangan atas terjadinya fenomena brain drain karena
brain drain merupakan dampak langsung dari globaisasi.
Hal yang harus dilakukan adalah
penyikapan, bukan pelarangan. Brain drain akan bernilai positif jika kita
cerdas menyikapi. Namun hal yang perlu dipahami adalah keuntungan atas
penyikapan fenomena brain drain bukan merupakan sesuatu yang instan. Jadi,
penyikapan atas fenomena brain drain membutuhkan kematangan, gradualitas, dan
ketepatan perencanaan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan
pemerintah Indonesia dalam rangka meraih sisi positif dari fenomena brain drain
adalah dengan cara mengimplentasikan desain sistem pendidikan yang efektif dan
measurable, membangun kepemimpinan nasional yang tercerahkan, menciptakan pola
transfer ilmu para pelaku brain drain. Untuk tahapan jangka panjang, pemerintah
perlu segera membentuk suatu program atau badan khusus untuk mengantisipasi
negative snowball effect dari brain drain.
C. Dilema “Brain Drain” di Taiwan
Taiwan menjadi contoh istimewa dari parahnya
mereka mengalami brain drain, sekaligus betapa suksesnya mereka menggaet para
brain drainernya untuk kembali atau berkontribusi positif terhadap negaranya.
Tahun 1970-an, posisi Taiwan adalah layaknya Indonesia saat ini. Saat itu,
Taiwan adalah tipikal negara berkembang yang hanya bisa menyuplai banyak tenaga
kerja murah bagi negara maju. Hubungan dengan negara-negara maju dalam ekonomi
maupun Iptek selayaknya Indonesia sekarang. Bukan berdiri sama tinggi ataupun
duduk sama rendah. Sementara itu, banyak dari kalangan cerdas atau intelektual
Taiwan bersekolah lalu bekerja di Negara maju, seperti Amerika Serikat.
Tahun 1980-an, Pemerintah Taiwan mengubah arah
kebijakan yang membuat iklim ekonomi dan pengembangan Iptek Taiwan lebih
kondusif. Mulailah Pemerintah Taiwan mendekati para brain drainer yang berdiam
di LN dan sudah banyak mempunyai modal. Mereka di harapkan dapat berkontribusi
modal untuk pembangunan negaranya. Pendekatan simpatik dari pemerintah
bersambut. Para warga negara Taiwan yang tingal di LN berbondong berbalik ke
Taiwan dan menjadi reversed brain drain. Para SDM unggul ini, tidak hanya
menyumbangkan modalnya, bahkan pikiran dan karyanya pada negaranya.
Contohnya, Miin Wu, “braindrainer” yang lulus PhD
dari Stanford tahun 1976. Lalu dia bekerja sebagai profesional di Silicon
Valley dan kembali ke Taiwan 1989. Setelah kembali ke Taiwan, Wu mendirikan
perusahaan Macronix Co. Perusahaan ini kini menjadi salah satu perusahaan
semikonduktor terbesar di Taiwan dengan omset $ 300 juta/tahun dan menyerap 2
800 tenaga kerja.
Dengan iklim yang sehat dan kondusif ini, sekarang
Taiwan tidaklah menjadi negara yang takut kehilangan orang-orang pintarnya.
Sebagaimana dilaporkan dalam Financial Development tahun 1999, hanya kurang
dari 10% warga negara Taiwan yang lulus PhD di tahun 1990 yang tetap tinggal di
US sampai tahun 1996. Atau, hampir sebagian besar mereka kembali ke negaranya.
Sejak tahun 1990 ini, Taiwan diakui sebagai negara yang leading dalam bidang
ekonomi dan teknologi informasinya. Semua berkat reversed brain drain.
Langkah Taiwan, nampaknya sedang diikuti oleh
India saat ini. India juga merupakan negara yang sangat menderita karena brain
drain. Menurut data, di tahun 1996 kurang dari 25 % warga negara India yang
kembali ke negaranya setelah selesai PhD di Amerika tahun 1990-1991. Berarti
pada tahun tersebut, sebagian besar orang-orang terpilih ini memilih tetap
tinggal di AS.
Prestasi penduduk Amerika asal India di dream
land tersebut memang tidak main-main. Tahun
1970-1990-an SDM India dengan kualitas tinggi brain drain ke USA. Di tahun 1998
profesional asal India menguasai 775 perusahaan teknologi di Silicon Valley
dengan omset $3.6 milyar dan penyediaan 16 600 lapangan kerja!
Akan tetapi, ternyata trend brain drain ini mulai
berubah sejak akhir tahun 1999. Sejak awal tahun 2000 sampai kini diperkirakan,
terjadi reversed brain drain besar-besaran
ke India. Sekitar 35 000 warga negara India kembali ke negaranya, baik untuk
tinggal permanent ataupun sementara.
Kembalinya WN India ke negaranya, sebenarnya tak
lepas dari kondisi perekonomian di US sendiri, yang sejak tahun 1999 tidak
sekondusif sebelumnya. Kondisi resesi di US, menyebabkan banyak perusahaan yang
menutup perusahaanya dan mem-PHK para tenaga ahlinya. Kesempatan bekerja dan
iming-iming insentif bagi para orang cerdas ini tidaklah segemerlap sebelumnya.
Amerikapun mulai menerapkan kebijakan outsourcing,
khususnya dalam bidang teknologi informasi seperti penyediaan software. Mereka
memesan ke negara-negara seperti Taiwan dan India yang dipandang punya
kemampuan karena lebih murah secara biaya. Para WN India yang telah mengenyam
pendidikan dan pengalaman berprofesi dan berbisnis menangkap peluang ini. Maka,
mereka berlomba pulang ke negaranya, dan menjadi jembatan penghubung antara
para tenaga trampil yang menetap di India dan jaringan pasar di LN dengan
menjadi pengusaha ataupun konsultan di negaranya.
Misalnya kisah Nagarajan, seorang “braindrainer”
alumni Silicon Valley yang kembali ke India. Tahun 2000 dia mendirikan
perusahaan teknologi informasi dengan cuma 20 pekerja. Pada tahun 2004
perusahaannya mempunya 3 600 pekerja dengan laba $ 30 juta. Maka tak heran,
jika pemerintah India dengan optimis meramalkan bahwa lewat kehadiran industri
teknologi informasi ini India secara keseluruhan akan mendapat laba $ 87 milyar
dengan omset pasar $ 225 milyar dan akan mampu menyediakan 2,2 juta lowongan
pekerjaan di tahun 2008. Beberapa intelektual India dengan bangganya
menunjukkan beberapa WN Inggris yang saat ini brain drain ke perusahaan India,
karena perusahaan tersebut mampu membayar ahli dari Inggris tersebut lebih
daripada Inggris sendiri.
I.4. Tawaran Kebijakan
Kebijakan migrasi membentuk pola-pola migrasi, dimana sebagai akibatnya
berdampak pada demografi, budaya, ekonomi dan politik suatu negara. Migrasi
juga memiliki andil terhadap stabilitas populasi atau pertumbuhan masyarakat di
suatu wilayah. Kebijakan pengendalian migrasi merupakan suatu elemen yang
krusial dalam menentukan pola-pola migrasi: dengan melihat besarnya jumlah
orang yang ingin beremigrasi ke negara-negara industri untuk alasan-alasan
ekonomi maupun politik, dan terbatasnya kesempatan untuk melakukannya, maka
kebijakan migrasilah yang utama menentukan ruang lingkup migrasi global
(termasuk migrasi ilegal).
Berdasarkan penelitian ini, penulis mengajukan 5 langkah penanggulangan brain drain yakni: penempatan kerja,
asistensi kewirausahaan, program visiting professor, asistensi rekrutmen, dan
penumbuhan rasa nasionalisme.
I.4.1.
Macam-Macam Kebijakan Migrasi Internasional di beberapa negara berkembang
A.
Penempatan kerja.
Pemerintah di Meksiko, Kuba, dan Taiwan, menerapkan program penempatan
kerja untuk mencegah brain drain. Meksiko misalnya, pemerintahnya menggunakan
anggaran khusus untuk membangun labotarium canggih sehingga ilmuwan Meksiko mau
pulang ke tanah air mereka. Pemerintah Kuba menyediakan pekerjaan bagi dokter –
dokter Kuba yang berada di AS agar mau pulang ke tanah air. Para dokter ini
tidak hanya bekerja di RS ataupun mengajar di universitas, juga dikirim kembali
ke RS luar negeri atas nama pemerintah Kuba.
B.
Asistensi
kewirausahaan.
Kredit lunak kepada para ilmuwan untuk mengembangkan industri juga
diperlukan. Pemerintah India memberikan kredit lunak untuk mendorong para
ilmuwan membangun silicon valley tandingan di Banglore. Pemerintah Taiwan juga
memberikan dana kewirausahaan hingga USD 300 ribu untuk menarik para ilmuwan.
Hal ini lebih merangsang perekonomian daripada menerima ekses negative Brain
Drain.
C.
Program “visiting professor”
Jika banyak
ilmuwan Indonesia di luar negeri, pemerintah melalui universitas dapat
menjalankan program visiting professor. Para ilmuwan di luar negeri digaji
ekuivalen dengan gaji di luar untuk mengajar dan mengadakan riset di dalam
negeri. Hal ini dilakukan oleh pemerintah China, Iran, dan India sebagai
transfer ilmu dan juga proses adaptasi di negara asal. Bahkan di tahun 2000,
pemerintah China berhasil mencapai angka 5,000 ilmuwan pulang ke tanah air
sebagai visiting professor dan hal ini berdampak terhadap jumlah publikasi dan
kemajuan penelitian di China.
D.
Asistensi
Rekrutmen
Beberapa ilmuwan yang berada di luar negeri tidak pulang karena masalah
ketiadaan pekerjaan di tanah air. Pemerintah harusnya membantu para kaum
intelektual dalam hal rekrutmen. Pemerintah Afsel dan Malaysia memberikan
jaringan lapangan pekerjaan secara online untuk para ilmuwannya. Di Indonesia,
British Council membantu WNI lulusan Inggris untuk mendapatkan pekerjaan dengan
mengadakan Job Fair tahunan. Hal ini haruslah dicontoh oleh pemerintah
Indonesia.
E.
Nasionalisme
Faktor lain yang harus ditumbuhkembangkan adalah nasionalisme. Berdasarkan
Yuan (1992), nasionalisme adalah faktor terpenting dalam menarik ilmuwan
kembali ke tanah air. Pemerintah Taiwan dan China menggunakan program
keteladanan untuk menarik para ilmuwan. Promosi tentang pentingnya keberadaan
ilmuwan untuk memajukan bangsa menjadi cara untuk menumbuhkembangkan rasa
nasionalisme. Di dalam program keteladanan, para birokrat dan pemimpin negara
memberikan sosok keteladanan yang nantinya akan menyentuh sense of belonging
para ilmuwan di luar negeri.Tidak dapat dipungkiri, telah banyak studi
dilakukan yang mengidentifikasi fenomena brain
drain umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Banyak faktor yang
menginisiasi imigran ahli untk menjadikan suatu negara sebagai pelabuhan ilmu
sekaligus perbaikan kualitas hidup. Misalnya kemenangan Sekutu pada Perang
Dingin dua menjadikan para imigran ahli menimbang ilmu di negara-negara seperti
Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan pada Perang Dingin, kompetisi pengaruh dua
superpower semakin luas dalam menarik banyak pelajar asing untuk belajar ilmu
mereka. Sedangkan berkisar pada tahun 1960-an dan awal 1970-an, migrasi para
ilmuwan, dokter, dan teknisi dari negara berkembang seperti China, India, dan
Korea Selatan ke negara maju semakin meningkat.[5] Hal ini diutamakan karena negara tujuan memiliki
banyak keunggulan dan kesempatan. Fenomena migrasinya tenaga terdidik dan
terlatih tersebut biasa dikenal dengan istilah brain drain.[6]
I.4.2. Strategi Bhagwati dalam Mengatasi Problem “Brain Drain”
Strategi yang ditawarkan oleh Bhagwati,
ialah melakukan mengatasi dengan migrasi daripada mencoba untuk membatasinya.
Pemerintahan negara berkembang mesti menerapkan kebijakan yang bisa mengikat
migran dengan negara asal mereka sehingga dapat mengurangi biaya sosial dan
meningkatkan keuntungan ekonomis di negara asalnya. Kebijakan tersebut dapat
berupa memasukkan pendidikan anak dan jaminan hak-hak sipil seperti partisipasi
dalam organisasi internal sekolah dan komite guru dan wali murid di sekolah.
Pemerintah juga bisa membantu tempat tinggal imigran di seluruh negara, untuk
menghindari penekanan upah di salah satu wilayahnya. Contoh operasional
bagaimana negara kurang maju menerapkan kebijakan tersebut, Bhagwati memberikan
beberapa contoh negara yang berhasil seperti India, China, Taiwan dan Korea
Selatan. Solusi ketiga, Bhagwati menawarkan wacana adanya organisasi yang
mengelola migrasi dunia, World Migration
Organization yang berperan untuk membenarkan arus masuk dan keluar migrasi
suatu negara, menetapkan kebijakan residensi migran apakah legal atau
sebaliknya yang berfungsi secara ekonomi, politik, baik terhadap tenaga kerja
ahli maupun non-ahli.
I.5. Kesimpulan
dan Posisi
Migrasi internasional yang terjadi saat
ini tidak semata-mata akibat globalisasi. penjelasan berikut membantah teori
globalisasi, dan sebagian besar merupakan pemikiran dari antiglobalis. Globalisasi
tidak bisa dikatakan sebagai sebab utuh migrasi atau arus perpindahan penduduk
lintas batas negara. Pada kenyataannya orang-orang telah hidup berpindah-pindah
dari satu tempat ke tempat lain sejak berabad-abad lalu karena alasan yang
makin beragam, bahkan sebelum fenomena globalisasi diwacanakan. Misalnya
perpindahan pengungsi dari satu tempat ke tempat yang lebih kondusif tidak
memiliki keterkaitan dengan adanya globalisasi. Pengungsi berpindah begitu saja
tanpa menggunakan transportasi yang accessible,
informasi internet, atau kesempatan kerja yang lebih baik. Aspek penting yang
dilihat dalam perpindahan pengungsi ialah persoalan keamanan untuk lepas dari
represi, opresi, penyiksaan dan lainnya (http://www.uiowa.edu/ifdebook/issues/globalization/readingtable/immigration.shtml). Contoh
kedua ialah, orang berpindah karena ingin menikmati pemandangan alam. Proses
globalisasi tidak mengakibatkan, secara langsung, alam tumbuh indah, maksudnya
keindahan pegunungan Alpen, padang rumput Mediterania, Danau Toba bahkan ada
bahkan sebelum globalisasi muncul. Barangkali penting untuk tidak
mengeneralisasi bahwa proses globalisasi menginisiasi perpindahan penduduk.
Sekiranya penting untuk melihat tipe-tipe migrasi kemudian mengkaitkannya satu
persatu dengan proses globalisasi, sehingga dapat menjawab apakah globalisasi
benar-benar sebagai katalisator arus migrasi.
Kedua, “globalisasi meningkatkan arus migrasi
lintas batas negara”? pernyataan ini patut mendapat sanggahan, seperti yang
diungkapkan oleh Bhagwati (2004) bahwa arus migrasi malahan berkurang seketika
globalisasi makin intensif. Hal ini terjadi karena makin banyak dikeluarkannya
regulasi sebagai counterpart diaspora
akibat proses globalisasi.
Terkait dengan “globalisasi dan arus migrasi”
terdapat dua pandangan utama: (1) pendukung globalisasi memegang proposisi
bahwa terdapat bentuk baru globalisasi akibat integrasi global yang
memungkinkan terciptanya beragam keuntungan dan kesempatan ekonomi bagi
orang-orang untuk kemudian berpindah ke satu tempat (Sanchez, 1999), salah satu
pendukung globalis yang memberikan penjelasan bagaimana hal tersebut mungkin
terjadi ialah Bhagwati (2004) sedangkan pemikir anti-globalis.[7]
Tawaran kebijakan yang mungkin ialah
perbaikan struktural yang menjamin keahlian para tenaga ahli yang bekerja di host country terfasilitasi. Secara
khusus kebijakan ini disebut “reversed brain drain” yang telah
diimplementasikan oleh India dalam sektor IT (Information Technology) yang memicu India sebagai “leading sector”
dalam IT.
Daftar Pustaka
Bhagwati, Jagdish. 2004. International Flow of Humanity, dalam “in Defense of
Globalization”. Chapter 3. London: Oxford University Press., pp. 209-218.
Globerman, Steven, GLOBALIZATION AND IMMIGRATION
(2001), available athttp://www.riim.metropolis.net/events/Roundtable%20-%20%20May%202001/globalization%20and%20immigration.pdf
Sanchez, Arturo, Transnationalism and Assimilation, in PLANNERS
NETWORK ONLINE (July/Aug. 1999), available at Alex Nowrasteh. Open Market.org. 2008. Globalization
and Immigration. [online] available http://www.openmarket.org/2008/05/15/does-economic-development-cause-immigration/
Latin America in 2010: Migration Policies for
Development. OECD. November 2009. http://www.oecd.org/dataoecd/13/17/44091346.pdf diakses
pada Senin, 5 Desember 2011 pukul 12.36am
Migrasi Tenaga Kerja Dari Indonesia: Gambaran Umum
Migrasi TKI di Beberapa Negara Tujuan di Asia dan Timur Tengah. IOM. 2010.
Organisasi Internasional untuk Migrasi. http://www.iom.int/jahia/webdav/shared/shared/mainsite/published_docs/Final-LM-Report-Bahasa-Indonesia.pdf diakses
pada Senin, 5 Desember 2011 pukul 12.41am
Theories of International Immigration Policy – A
comparative Analysis. Eytan Meyers. 2000. The Hebrew University of Jerusalem. http://www.cpcs.umb.edu/~uriarte/Courses/Practicum%2007-08/Resources/Immigran%20Integration%20in%20Western%20Countries/Theories%20of%20International%20Immigration%20Policy.pdf diakses
pada Minggu, 4 Desember 2011 pukul 11.11pm
Malaysia at Economic Crossroads as It Fights the
Great Brain Drain. 2011-04-21. The Guardian. http://www.guardian.co.uk/world/2011/apr/21/malaysia-fights-brain-drain diakses pada Senin, 5 Desember 2011
pukul 5.39pm
Malaysian Diaspora Reach One Million in 2010 - World Bank
Official. Bernama.
2011-04-28. http://www.bernama.com/bernama/v5/newsbusiness.php?id=582698 diakses pada Senin, 5 Desember 2011 pukul 5.57pm
Malaysia’s Brain Drain. Asia Sentinel. 2010-02-18.
http://www.asiasentinel.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2308&Itemid=199 diakses pada Senin, 5 Desember 2011 pukul 6.09pm
Malaysia's brain
drain getting worse, says World Bank. Malaysian Insider. 2011-04-28. http://www.themalaysianinsider.com/malaysia/article/malaysias-brain-drain-getting-worse-says-world-bank/ diakses pada Senin, 5 Desember 2011 pukul 6.29pm
Social injustice main cause of country's brain drain.
Malaysian Insider. 2011-04-28. http://www.themalaysianinsider.com/malaysia/article/social-injustice-main-cause-of-countrys-brain-drain-says-world-bank/ diakses pada Senin, 5 Desember 2011 pukul 6.39pm
[1] (http://www.iom.int/jahia/Jahia/about-migration/migration-management-foundation/terminology/migration-typologies/)
[2] Ibid.,
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Pan M
Faiz (2007) dalam http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/09/brain-drain-di-indonesia.html,
diakses pada 5 Desember 2011
[6]
Ibid.
[7] Teori
antiglobalis mengungkapkan
bahwa arus migrasi orang-orang dengan keahlian tertentu malah akan
mengakibatkan komunitas terpecah menjadi dua karena ketidakinginan mereka untuk
berasimilasi dengan kultur negara “host”. Dua proposisi tersebut memiliki beban
penjelasan (kelebihan dan kelemahan) masing-masing yang berdampak pada dua
keadaan: (1) wacana globalisasi sebagai fenomena kultural dan (2) wacana
perbedaan. Lebih jauh diperpanjang pada prospek terciptanya (1) homogenization: melting pot, (2) Heterogenization:
salad bowl, atau (3) hybridization (Wardhani, 2011).
Comments
Post a Comment