Review: “Regionalism in the Asia Pacific: Is Geography Destiny?”, Area, Vol. 33, No. 3, pp. 252-260.
Review: “Regionalism in the Asia Pacific:
Is Geography Destiny?”, Area, Vol. 33, No. 3, pp. 252-260.
GQ: Is Asia relatively rising? Why is Asia relatively rising? If not, what is happening? Where is Asia’s
geopolitical ascendancy going? Tulisan ini bermaksud untuk memproyeksikan
kemajuan Asia dengan menekankan pada aspek regionalisme sebagai indikator
“kebangkitan Asia”.
Regionalisme merupakan salah satu
sub konteks dalam organisasi internasional yang menekankan adanya suatu
tindakan kolektif terkait dengan isu tertentu. Berbeda dengan organisasi
internasional yang umumnya beranggotakan banyak negara di dunia, keanggotaan
negara dalam suatu regionalisme terikat dengan batas-batas geografis. Akan
tetapi, prinsip geografis ini makin kehilangan esensinya sejak semakin banyak
bentuk regionalisme yang anggotanya di luar batas-batas geografi yang telah
ditetapkan. Beberapa contoh regionalisme tanpa ikatan geografi ialah
regionalisme di kawasan Asia Tenggara misalnya ARF (Asian Regional Forum) dan APEC (ASEAN
Pacific Economic Cooperation) perdagangan pertama kali diinisiasi oleh
NAFTA (North American Free Trade
Agreement). Partisipan ARF tidak hanya mencakup negara-negara anggota ASEAN
(Association of Southeast Asian Nations).[1]
Keanggotaan APEC tidak hanya mencakup beberapa negara di Asia Pasifik, Chile,
Russia, Peru, Meksiko, China-Taipei, China, Amerika Serikat, Kanada, Korea
Selatan, dan Jepang.
Jessie Poon (2001) menyebutkan terdapat
dua model yang populer regionalisme. NAFTA beranggotakan negara-negara yang
sepakat untuk menjalin perdagangan bebas di kawasan Amerika Utara, Meksiko,
Kanada, dan Amerika Serikat. Model kedua regionalisme ialah Uni Eropa. Jessie
Poon menganggap keduanya sebagai bentuk model neofungsionalisme.[2]
Model neofungsionalisme ini pertama kali dicetuskan oleh Ernst B Haas dan Leon Lindberg (1961) yang
mendukung adanya integrasi sektor-sektor penting (utamanya ekonomi dan
perdagangan) demi menciptakan kerjasama yang saling menguntungkan. Harapannya
bentuk integrasi ekonomi dan perdagangan ini kemudian meluas ke sektor-sektor
lainnya.[3]
Prinsip neofungsionalisme ini berasal dari tiga hal utama, (1) pertumbuhan
ekonomi yang meningkatkan interdependensi antarnegara, (2) urgensi untuk
mengatasi persengketaan antarnegara, dan (3) regulasi global.[4]
Sebagai pembanding, Jessie Poon
(2001) secara spesifik mengulas signifikasi APEC sebagai bentuk regionalisme
yang mencerminkan nilai-nilai Asia dalam mencapai suatu keputusan. Jessie Poon
menilai APEC menggunakan model institusionalisme yang baru, tidak sama dengan
neofungsionalisme di atas. APEC mengkritisi cara-cara Barat (NAFTA dan UE) yang
dinilai terlalu liberal dan demokratis. Kritik APEC tersebut tertuang dalam
tiga hal utama: (1) individual bukan representasi demokrasi dan komunitas, (2)
kesadaran terhadap adanya toleransi tatanan setiap negara, otoritas, dan
prinsip, dan (3) penerimaan terhadap adanya pihak dominan secara politis.[5]
Maka dari itu APEC tidak sepakat dalam metode pengambilan keputusan NAFTA dan
UE.[6]
Hal ini menyebabkan APEC muncul sebagai bentuk regionalisme yang khas.
Berdasarkan tiga prinsip di atas, maka proses pengambilan keputusan pun mengedepankan
gagasan konsultasi (musyawarah) dan
konsesi (mufakat).[7]
Dengan demikian, bagaimanakah
prospek Asia jika dilihat dari binokular regionalisme? Terdapat tiga variasi
jawaban yang bisa diturunkan.
Pertama,
regionalisme di Asia tidak mengedepankan ikatan geografis sebagaimana Uni Eropa
saat ini maupun NAFTA. Dua model regionalisme (selebihnya menggunakan frasa
“Barat”) yang mengusung ide “liberalisasi ekonomi”, “integrasi ekonomi”, dan
“demokrasi” yang mana ketiganya merupakan praktik “openness”; ternyata tidak
cukup fleksibel dalam menerima anggota di luar ikatan geografis mereka.
Sebaliknya, negara-negara Asia yang banyak disebut sebagai rezim otoriter,
selalu bersengketa dalam hal perbatasan, dan non-demokratis,[8]
di luar dugaan terbuka terhadap partisipan negara lain. partisipan APEC
meliputi beberapa negara yang tidak memiliki kedekatan geografis seperti
Russia, China, China-Taipei, Chile, Peru, dan lainnya. Terlepas adanya
kepentingan politis menjadi partisipan regionalisme di Asia, kedekatan geografi
tidak menjadi faktor determinan utama. Uraian pertama ini menegaskan bahwa Asia
“is relatively rising”.
Kedua,
regionalisme Barat mengedepankan prinsip-prinsip dan nilai
neofungsionalisme dan neoliberalisme dalam regionalisme mereka. Hal ini sama
dengan regionalisme Asia yang mengedepankan toleransi, penerimaan terhadap
pihak politik dominan di masing-masing negaranya. Pihak politik dominan yang
dimaksud ialah menerima perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing partisipan
negara. Apabila regionalisme Barat cenderung beranggotakan negara yang secara
politik sehaluan, berbeda dengan keduanya APEC (dan banyak bentuk insititusi
regionalisme di Asia) menerima negara yang haluan politiknya berbeda-beda.
Prinsip menerima perbedaan-perbedaan khas masing-masing negara ini selaras
dengan pemahaman “geokultur” yang dimaksud oleh beberapa penulis seperti Immanuel
Wallerstein (1990),[9] Salle
Marston (2004),[10] dan
Samuel Huntington (2004).[11]
Uraian kedua ini menegaskan bahwa Asia masih “is relatively rising”.
Ketiga,
uraian ketiga menitikberatkan pada kapabilitas dan dinamika regionalisme.
Kapabilitas regionalisme model neofungsionalisme (UE dan NAFTA—regionalisme
Barat), masih belum berkurang. Terlepas dari hambatan yang ditimbulkan oleh
krisis finansial global pada 2008 yang menurunkan neraca perdagangan
negara-negara besar seperti Kanada dan Amerika Serikat (dua negara tujuan
eskpor utamanya China dan Meksiko) dan Meksiko (sebagai pengekspor) dan krisis
Uni Eropa (dipicu oleh krisis pertama kali di Yunani, Irlandia, Portugal, dan
akhirnya mengancam Italia), kedua regionalisme ini masih tetap unggul secara
ekonomis. Negara-negara anggota regionalisme tersebut masih memiliki kekuatan
politis dan ekonomis besar dalam mempengaruhi pengambilan keputusan di
organisasi internasional di tingkat lebih tinggi (atau di tingkat global)
seperti WTO (World Trader Organization)
dan institusi keuangan dunia—IMF (International
Monetary Fund). Dari segi, “Collective action”, negara anggota maupun
bentuk regionalismenya sendiri tersebut masih tetap unggul dan kuat daripada
Asia.
Dampaknya terhadap dinamika
regionalisme, kedua regionalisme (UE dan NAFTA) telah melalui proses maturisasi
institusi yang lebih panjang dan kompleks daripada regionalisme di Asia.
Regionalisme di Asia cenderung becermin pada dinamika kebijakan dan
standarisasi yang ditetapkan oleh UE dan NAFTA. Bagi regionalisme Asia untuk
benar-benar independen dari pengaruh regionalisme UE dan NAFTA, masih jauh dan
mungkin mustahil. Walaupun tidak menutup kemungkinan, dinamika ini berangsur
bergeser dari Barat ke Asia apabila dilihat dari banyak disiplin (utamanya
disiplin ekonomi baik mikro maupun makro), regionalisme Barat masih lebih
unggul daripada Asia. Salah satu faktor determinannya ialah negara-negara Barat
masih memiliki supremasi di beberapa organisasi dan institusi perdagangan
internasional. Misalnya, apabila Amerika Serikat[12]
memperketat kebijakan migrasi yang masuk ke perbatasan mereka, maka dampaknya
pasti meluas pada negara-negara partisipan regionalisme Asia. Bagaimanapun
juga, tenaga ahli Asia masih mengandalkan pengetahuan dari Barat.[13]
Pendekatan ketiga ini menyimpulkan bahwa regionalisme Barat masih lebih unggul
daripada Asia.
Referensi
Lingle, Christopher. (1997). “The
Geopolitcs and the ‘Asian Country’: political Hazards and Strategic
uncertainty”.
Poon, Jessie PH (2001), “Regionalism in
the Asia Pacific: Is Geography Destiny?”, Area, Vol. 33, No. 3, pp. 252-260.
[1]
“ Official Website of Australian Department of Foreign Affairs and Trade”,
dalam http://www.dfat.gov.au/arf/,
diakses pada 30 Desember 2011
[2]
Jessie PH Poon (2001), Regionalism in the
Asia Pacific: Is Geography Destiny?, h. 252
[3]
Ernst Haast (1961), International
Integration: The European and the Universal Process, International
Organization 15 (1961), 366-92
[4]
Ibid.
[5]
Chan, 1994; Rodan dan Hewison, 1961 dalam Jessie PH Poon, Op. Cit., h. 257
[6]
Jessie PH Poon, Op. Cit.., h. 254
[7]
Ibid.
[8]
Chrsitopher Lingle (1997), The Geopolitcs
and the ‘Asian Country’: political Hazards and Strategic uncertainty, h.
[9]
Lebih lanjut liat Immanuel Wallerstein (1990), Culture as the Ideological Battleground of the Modern World System,
dalam Mike Featherstone, (ed), Global Culture: Nationalism, Globalization,
and Modernty, London, SAGE Publication, h. 31-55
[10]
Salle Marston (1996), Space, Culture,
State: Uneven Development in Political Geography, “Political Geogrpahy”,
No. 23, h. 1-16
[11]
Samuel Huntington (1996), The Cultural
Reconfiguratioin of World Order, London, Touchstone Books, h. 125-154
[12]
Contoh ini menerapkan pemahaman “individual action” (aksi individual negara)
yang diikuti oleh negara-negara anggota NAFTA dan UE
[13] Dari
sisi migrasi, banyak tenaga ahli yang mendulang ilmu dan latihan dari Barat.
Comments
Post a Comment