Pembudayaan Geopolitik atau Politisasi Budaya Kawasan
Pembudayaan Geopolitik atau Politisasi Budaya Kawasan: Studi Kasus Sistem Dunia Kapitalis
dan Regionalisme Kawasan
Pendahuluan
Apakah yang terjadi sekarang
ialah pembudayaan geopolitik atau politisasi budaya kawasan dalam perspektif
global? Jawaban
dari pertanyaan tersebut sangat bervariasi tergantung dari konsep dan topik
yang menjadi fokus pembahasan. Bagian terbesar dari pertanyaan di atas ialah “budaya”.
Sayangnya, sampai sekarang pendefinisian budaya masih belum menemukan
kesepakatan diantara para teoritis ilmu sosial. Konteks budaya ini sangat luas
dan multidisipliner, sebagian besar literatur budaya dikaji dalam studi
antropologi dan sosiologi. Dalam ilmu hubungan internasional, budaya ini
dibahas lebih spesifik. Sejak muncul tulisan fenomenal Samuel Huntington (1993)
konteks kultur seringkali dikaitkan dengan wacana geopolitik. Tulisan ini
menekankan pada studi kasus “Perekonomian Kapitalis”. Oleh karena itu, konsep
dan definisi kultur dalam geopolitik menggunakan ide Wallerstein.
Wallerstein menggunakan kultur sebagai entitas atau
karakteristik yang membedakan atau yang menyamakan.[1]Bagian
awal tulisan ini menyebutkan konsep penting yang mengkontruksi karakteristik “persamaan”
dan “perbedaan” tersebut yang dikorelasikan masing-masing dengan “pembudayaan
geopolitik” dan “politisasi budaya”. Konsep penting yang dimiliki keduanya (persamaan)
yakni power.[2]
Penjelasan untuk mengkorelasikan power
dimaksud dengan “politisasi budaya” menggunakan teori kultur dan praktik
Wallerstein (1990). Adapun tujuan dari analisis persamaan dan perbedaan yang
dimiliki oleh kedua topik di atas, ialah untuk mendapatkan gambaran utuh:
apakah salah satu lebih relevan daripada yang lain? ataukah salah satu
mengalami kemunduran dan yang lainnya mengalami kebangkitan?
I.
Power
dalam “Pembudayaan Geopolitik” dan “Politisasi Kawasan”
Konsep power dalam
geopolitik dekat dengan premis neorealisme yang mana kekuatan politik suatu
negara sangat ditentukan oleh tingkat power yang dimiliki, baik dalam akumulasi
militer, proyeksi diplomasi, kapabilitas ekonomi dan sumber daya alam, akumulasi
aset dan kapital, dan lainnya. Dalam hubungan internasional seringkali power direpresentasikan oleh atribut tangible dan intangible power.[3]
Tangible power meliputi atribut negara seperti teritori, sumber alam, kapasistas
industri, ekonomi, militer, dan mobilitas.[4]
Sedangkan komponen intangible power mencakup
konsep power dalam perspektif pengaruh kepemimpinan,
kepribadian, efisiensi organisasi biroraksi, tipe pemerintahan, reputasi,
dukungan luar negeri dan lainnya. Baik dalam “pembudayaan geopolitik” dan “politisasi
budaya kawasan”, kehadiran power
menjadi faktor determinan utama.
Pemahaman power
seringkali didefinisikan dengan siapa yang memiliki kontrol atas atribut tersbut.
Bentuk kontrol ini bisa bermacam-macam. Jika Robert A Dahl menyebut power dan
kontrol ini dalam kemampuan untuk membuat A bertindak B atau bertindak yang
bertentangan dengan keinginan A,[5]
maka Wallerstein (1990) mengkaitkan kontrol dengan pemilikan
kapital dan siapa yang tidak memiliki kapital.[6]
Individu dengan kapital lebih banyak, berpotensi menciptakan lingkungan kondusif
bagi dirinya sendiri. Sedangkan individu tanpa kapital, harus termarjinalkan
oleh sistem tersebut.[7]
Menurut Paul Kivel (2008), individu dengan atribut power lebih, memungkinkan untuk mewarisi
otoritas, kredibilitas, legitimasi, dan memutuskan apa yang mesti diterima dan apa
yang tidak. Karena legitimasi melekat dalam individu tersebut, maka
mereka dapat memutuskan norma atau kebiasaan apa yang mesti dipelihara dalam
sistem yang dibuat.
a.
Pembudayaan Geopolitik dalam Kapitalisme Amerika
Serikat
Apabila budaya itu merupakan serangkaian fenomena dan atau
karakteristik yang diwariskan—sesuai dengan konseptualisasi budaya versi
Wallerstein,[8] maka “pembudayaan
geopolitik” terjadi ketika kelompok besar dengan akumulasi atribut power tertentu menentukan ide-ide atau
kebiasaan dalam sistem. Di sisi lain, kelompok marjinal yang menjadi bagian
dari sistem pada akhirnya harus mengikuti ide-ide dan kebiasaan tersebut—baik secara
sukarela maupun terpaksa.
Untuk memperjelas maksud di atas, berikut satu contoh “pembudayaan
geopolitik” yang terjadi pasca Perang Dunia II dan pada era Perang Dingin. Perlu
diingat, konteks geopolitik ini erat kaitannya dengan kecenderungan politik
luar negeri ekspansionis (suatu negara) ke luar sistemnya geografinya sendiri.
Teoritisi geopolitik 21th Century Alfred
T Mayhan, misalnya mengemukakan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada era
PD harus mengembangkan kekuatan seapower-nya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Seversky yang mengungkap esensi penting
strategi geopolitik Amerika Serikat mendatang untuk mengembangkan kapabilitas airpowernya.[9]
Kerangka analisis yang digunakan oleh ialah konteks sejarah
pada masa kapitalisme dalam suatu sistem yang disebut A Capitalist World Economy. A
Capitalist World Economy ialah sistem perekonomian yang identik dengan akumulasi
kapital[10]
terus menerus.[11] Pertanyaannya,
dalam “pembudayaan geopolitik”, satu negara berperan sebagai episentrum
geopolitik terhadap wilayah-wilayah di sekitarnya yang terikat geografi.
Dalam perekonomian kapitalis, negara yang menjadi episentrum
sistem kapitalis ialah Amerika Serikat, bukan Inggris. Meskipun
kapitalisme pertama kali tumbuh di Inggris yang dirintis oleh Adam Smith,
tetapi perkembangannya yang pesat terjadi di Amerika Serikat yang diperkuat
dengan kontrol institusi keuangan internasional dan tatanan ekonomi yang
diinisiasi oleh Amerika Serikat pula (dalam neoliberalisme, tatanan ekonomi
Bretton Woods).
(i)
Konsolidasi
Kapitalisme dan Kultur (Wallerstein, 1990)
Pengertian awam akan mempertanyakan kesetaraan konseptual
“kapitalisme” dan “kultur”. Perekonomian kapitalis menyebar keluar dari sistem
dimana ia tumbuh. Ide dan gagasan kapitalis berasal dari Eropa sejak
berakhirnya era feodalisme dan pengakuan terhadap hak-hak dan properti
individu.[12].
Sistem perekonomian pasca Perang Dunia I cenderung tertutup
yang mana banyak negara-negara perekonomian besar seperti negara di Eropa dan
Amerika Serikat menerapkan kebijakan proteksionisme ketat dengan harapan untuk
melindungi perekonomian domestik. kelesuan ekonomi ini berakhir pada saat PD II
berlangsung yang diikuti oleh “booming economy”. Akantetapi, berakhirnya PD II
menuju Perang Dingin mengarahkan pada iklim politik yang didominasi oleh kompetisi
dua superpower untuk mendapatkan “pengikut” sebanyak-banyaknya. Sementara Uni
Soviet berlomba dalam hard power melalui
peningkatan kapabilitas militer, Amerika Serikat justru mengoptimalkan
kapabilitas ekonominya.
Ekspansi ekonomi kapitalis telah mencakup pada serangkaian
penggunaan tekanan militer, diplomasi, softpower,
dan politik.[13] Amerika Serikat juga
mempromosikan kebijakan luar negeri yang mengedepankan kerjasama internasional
demi menghindari perang di masa mendatang. Kerjasama internasional menjadi
lebih intensif dengan perdagangan internasional yang makin terbuka. Satu persatu negara menerima nilai kapitalis ini dan
mengijinkan arus kapital masuk dalam bentuk investasi dan Foreign Direct Investment (FDI).
Beberapa kelompok negara enggan mengikuti nilai-nilai yang
dilekati oleh sistem ekonomi kapitalis, sementara beberapa negara lain
mengikuti arus yang memungkinkan terjadinya transisi dalam sistemnya. Penerimaan suatu atau beberapa negara terhadap salah satu
nilai—misalnya perdagangan yang terbuka, mau tidak mau telah menarik negara
tersebut dalam sistem kapitalisme.
Bagaimana caranya? Teori investasi milik Quan Li dan Adam Resnick (2003)
menyatakan investasi yang masuk akan menciptakan restriksi bagi rezim yang
menerima investasi.[14]
Restriksi yang dimaksud ialah rezim harus menerima prasyarat yang datang
bersamaan dengan janji investasi.
Masuknya negara-negara dalam lingkaran sistem yang dibuat
oleh kapitaismemtelah mengakibatkan
transisi perekonomian; mengikuti arus sistem kapitalisme. Transisi ekonomi yang
terjadi di negara-negara baru tersebut menandakan kesukarelaan mereka
meninggalkan kultur dan mengadopsi gaya ekonomi kapitalis Amerika Serikat. Dengan demikian, dapat ditelusuri di negara berkembang
bahwa sistem perekonomian yang mereka anut merupakan kultur perekonomian yang
berasal dari kapitalisme milik Barat, dengan kiblat Amerika Serikat. Hal
ini selaras dengan teorisasi kultur usage II milik Wallerstein. Wallerstein
menyebut kultur sebagai seperangkat fenomena yang mengkontruksi persamaan dalam
kelompok yang dapat ditelusurusi “siapa yang memiliki kultur tersebut”.[15]
II.
Politisasi Budaya Kawasan:
a.
UE
Penjelasan sebelumnya telah menguraikan
“Pembudayaan Geopolitik” yang masih tetap relevan dalam perspektif global, lalu bagaimana dengan
“Politisasi Budaya Kawasan”? Contoh berikut yakni krisis yang melanda Uni Eropa
menjadi bukti bahwa politisasi budaya kawasan sedang terancam “fading”.
Jessie Poon (2001) menyebutkan terdapat dua model populer
regionalisme. NAFTA beranggotakan negara-negara yang sepakat untuk menjalin
perdagangan bebas di kawasan Amerika Utara: Meksiko, Kanada, dan Amerika
Serikat. Model kedua regionalisme ialah Uni Eropa. Politisasi budaya kawasan
versi Uni Eropa ini sangat terikat dengan “geography destiny”.
Dalam perspektif global dan, politisasi budaya kawasan ini
sudah agak memudar. Hal ini diilustrasikan melaui dua peristiwa utama yang
terjadi di Uni Eropa. Di awal tahun 2010, salah satu anggota Uni Eropa yakni
Yunani dilanda krisis yang berdampak pada kestabilan sosial, politik, dan
utamanya perekonomian. Krisis ekonomi domestik yang dialami Yunani ini kemudian
menyebar ke negara-negara Uni Eropa lainnya seperti Irlandia, Portugal, dan
Italia.
Di luar dampak mikroekonomi, krisis tersebut mengancam
akuntabilitas Uni Eropa dan utamanya Euro. Sepanjang tahun 2011 kemarin, Komisi
Uni Eropa pun telah mengeluarkan beberapa kebijakan perbankan. Salah satu
kebijaka terbaru komisi Uni Eropa ialah Bank Uni Eropa meminjamkan sejumlah
dana talangan untuk bank-bank yang terancam krisis.
Di tingkat makro, Komisi Uni Eropa sedang berdebat terkait
dengan perlu tidaknya pencairan dana talangan. Apa yang terjadi sekarang ialah
negara-negara anggota Uni Eropa mulai meragukan akuntabilitas Euro. Salah
satunya Italia yang tidak ragu untuk meninggalkan Euro guna kembali ke Lyra.
Keputusan Italia mencerminkan bahwa setiap negara akhirnya harus mengandalkan
dirinya sendiri. Dampaknya, satu persatu negara besar di Eropa mulai menetapkan
kebijakan pengetatan anggaran. Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman
krisis Uni Eropa yang belum usai tersebut ialah tidak semua politisasi budaya
kawasan berdampak positif. Uni Eropa sebagai salah
satu bentuk politisasi budaya kawasan paling modern yang masih terikat dengan
“geografi politik”, tidak luput
dari ancaman krisis.
III. POSISI
Dalam perspektif global sistem perekonomian kapitalis saat
ini, manakah yang sedang terjadi sekarang “pembudayaan geopolitik” ataukah
“politisasi budaya kawasan”? “Pembudayaan
geopolitik” masih berlaku karena sistem perekonomian kapitalisme yang
memungkinkan arus kapital berpindah dari satu negara ke negara lain, masih
relevan saat ini. “Politisasi budaya kawasan” masih terjadi karena NAFTA masih
relevan mempengaruhi visi dan misi AFTA.
Berdasarkan ilustrasi “Power” di atas, terdapat gambaran
utuh perbedaan keduanya. Gambaran utuh “politisasi budaya kawasan” berkaitan
dengan kelompok—menurut hierarki Wallerstein bagian terendah dari kultur ialah
kelompok atau “grup”—negara yang memiliki kapabilitas power yang melegitimasi peraturan, ide, dan normanya juga diadopsi/
dianut/ oleh beberapa negara lain. Gambaran utuh “pembudayaan geopolitik” ialah
bagaimana suatu negara sebagai individu mampu menyebarkan ide, gagasan,
normanya, peraturannya lebih luas di luar lingkaran
sistem asalnya.
Lalu, apabila “politisasi budaya kawasan” (sebagaimana
dicontohkan oleh negara-negara kawasan Uni Eropa dan negara-negara anggota
NAFTA) sedang fading, apakah artinya tren
“pembudayaan geopolitik” sedang rising?
Barangkali benar apabila politisasi budaya kawasan dalam
bentuk paling modern sedang mengalami fading,
tetapi terlalu cepat beralih menjustifikasi premis sebaliknya tanpa penjelasan
yang memadai. Fakta bahwa Uni Eropa sebagai bentuk politisasi budaya kawasan
paling modern sedang terancam, memang tidak dapat dipungkiri. Penulis masih
berpegang kuat pada kenyataan bahwa berdirinya Uni Eropa dan NAFTA yang memicu
pengikut-pengikut politisasi budaya kawasan. Krisis di Eropa tidak akan
menyebabkan kebubaran Uni Eropa, salah satu hal yang terancam bukanlah
“politisasi budaya kawasan” Eropa, tapi Euro.
Berpendapat mengenai “pembudayaan geopolitik”, kapitalisme
Amerika Serikat masih belum tergantikan oleh pembudayaan geopolitik yang baru.
Bahkan pembudayaan geopolitik oleh Amerika Serikat belum diikuti oleh
pembudayaan geoplitik oleh negara lain. Apabila China muncul dalam nominasi
“pembudayaan geopolitik” baru yang mengimbangi Amerika Serikat, rasanya “tidak
mungkin” karena China masih jauh dari supremasi kontrol yang dimiliki Amerika
Serikat.
Dengan kata lain, dalam perspektif global saat ini terjadi
dua hal dengan karakteristik kultur masing-masing: “pembudayaan geopolitik”
masih menghasilkan satu sistem yang powernya
masih dimiliki oleh supremasi tunggal Amerika Serikat (no single adopter), dan “politisasi budaya kawasan” yang memiliki
banyak adopters (MERCOSUR, APEC,
AFTA, AFRICAN UNION, ARAB LEAGUE, GULF COOPERATION, SCO, dan lainnya). Intinya,
dalam kajian “pembudayaan geopolitik” dan “politisasi budaya kawasan” ialah
adanya kontrol dan supremasi global yang dimiliki oleh kelompok negara maupun
suatu negara.
REFERENSI
Wallerstein,
Immanuel (1990), Culture as the
Ideological Battleground of the Modern World System, dalam Mike Featherstone
(ed,), “Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernty”, London,
SAGE Publication, h. 32
Flint, Colin,
(2007), Introduction to Geopolitics, London,
Routledge Publishing Francis & Taylor Group
Dahl, Robert
(2001), The Concept of Power
Kivel, Paul (2004),
The Culture Power, h. 1
Poon,
Jessie PH (2001), “Regionalism in the Asia Pacific: Is Geography Destiny?”,
Area, Vol. 33, No. 3, pp. 252-260.
Li, Quan dan
Adam Resnick (2003), Reversal of
Fortunes: Democratic Institution and Foreign Direct Investment, International
Organization, h. 175-211
Zhu Majie
(2002), Contemporary Culture and International Relations, h.23
Wordcounts: 2083
[1]
Prinsip kultur Wallerstein
tentang hal ini ialah dalam kultur terdapat nilai universal yang dimiliki oleh
bagian besar masyarakat dan idiosinkretik. Immanuel Wallerstein (1990),
Culture as the Ideological Battleground of the Modern World System, dalam Mike
Featherstone (ed,), “Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernty”,
London, SAGE Publication, h. 32;
[2]
Konsep power ini muncul karena keduanya memiliki persamaan literer “politik”
[3]
Anonim. 2008. Power dan Kapabilitas Negara-Bangsa dalam Pengantar Hubungan
Internasional. Surabaya: Universitas Airlangga
[4] Ibid.
[5]
Robert A Dahl (2001), The Concept of
Power
[6]
Immanuel Wallerstein, Op.Cit., h.
31-55
[7]
Paul Kivel (2004), The Culture Power, h.
1
[8]
Immanuel Wallerstein, Op.Cit., h.
31-55
[9]
Kedua preskripsi teoritisi geopolitik modern di atas didasarkan pada premis
penguasaan teknologi untuk mengunci geopolitik Uni Soviet yang terkurung
daratan; dalam Colin Flint (2007), Introduction
to Geopolitics, London, Routledge Publishing Francis & Taylor Group
[10]
Modal dalam perekonomian terdiri dari aset dan kapital. Aset ialah modal kaku
yang sifatnya statis dan tidak mudah dipindahtangankan. Sedangkan Kapital ialah
modal cair yang sifatnya sangat fleksibel dan dinamis, bahkan arus perpindahannya
terjadi sesuai dengan kepentingan pemilik atau suplai dan permintaan terhadap
sesuatu.
[11]
Wallerstein, Op.Cit., h. 32
[12]
Pemikir awal sistem perekonomian yang mengakui hak dan properti individu dapat
ditelusuri dalam tulisannya Adam Smith dan David Ricardo.
[13]
Amerika Serikat memberi beberapa bantuan ekonomi, pinjaman, hutang kepada
negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara korban.
[14]
Quan Li dan Adam Resnick (2003), Reversal
of Fortunes: Democratic Institution and Foreign Direct Investment, International
Organization, h. 175-211,
[15] Ibid., h. 32
Comments
Post a Comment