Nasionalisme, Solidaritas dan Demokrasi: Supranasional


Nasionalisme, Solidaritas dan Demokrasi: Supranasional

Tulisan ini mengkaji: (1) nasionalisme dalam hubungan internasional dalam tulisan Robert Dahl “Can international organizations be democratic: a sceptic view”, (2) nasionalisme dan migrasi, “Muscle: Planet on the Move”, dan (3) Uni Eropa (UE) dan kultur lokal: sebagai ancaman atau menguatkan, identitas “On European”.
Dalam hubungan internasional terdapat aktor organisasi internasional yang juga turut berkontribusi mempengaruhi nasionalisme suatu negara. Organisasi internasional selaku institusi supranasional diyakini sebagai wujud pendukung terciptanya masyarakat kosmos yang menganut ide-ide “global citizen” (masyarakat global). Muncul sejumlah pertanyaan yang seakan menyangsikan fungsionalisme organisasi internasional sebagai badan yang mendukung terciptanya ide-ide masayarakat global: pertama, dapatkan organisasi internasional menjadi regulator negara-negara di dunia? Kedua, adakah demokrasi dalam organisasi internasional? Ketiga, apakah organisasi internasional menjadi ancaman terhadap nasionalisme negara-negara dalam hubungan internasional? dalam tulisannya, Robert Dahl, menyangsikan organisasi internasional sebagai badan yang demokratis, karena itulah malah berpotensi membangkitkan sentimen nasionalisme negara-bangsa di dunia.

Domain Demokrasi organisasi internasional dan demokrasi dalam pemerintahan negara.
 Demokrasi secara ideasional manusia yang menyakini dan menerima prinsip perbedaan-perbedaan yang mengakui kebebasan dan hak individu-individunya. Akan tetapi, demokrasi dalam organisasi internasional dipandang sebagai suatu sistem kontrol populer atas kebijakan pemerintah dalam organisasi internasional, institusi internasional, maupun rezim internasional. Demokrasi dipandang sebagai suatu fundamen dasar merupakan suatu kumpulan unit yang mengakui kemerdekaan individu, kebebasan individu, dan pengakuan terhadap hak-hak individu.
Pemahaman umum tentang demokrasi dalam politik ialah suatu sistem yang sumber kekuatannya terletak dari legitimasi yang berasal karena perwakilan dalam proses pemilihan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik garis besar bahwa faktanya domain demokrasi dalam organisasi internasional berbeda dengan domain demorkasi dalam pemahaman umum. Hal ini disebabkan terkadang organisasi internasional tidak bersifat demokratis sama sekali. Misalnya tidak terdapat pemilihan pengurus dalam organisasi internasional.

Prospek Demokrasi dalam organisasi internasional dan Nasionalisme Negara-Bangsa
Pada level yang bagaimana ide dan praktik demokrasi pemerintahan dapat diterapkan dalam organisasi internasional? Apa gagasan optimistik di belakangnya? Terdapat dua jawaban terkait pertanyaan di atas.
Bagi yang menjawab “YA” merupakan jawaban yang berasal dari para optimis. Artinya, jika demokrasi dikembangkan hingga sebagai suatu “popular control” terhadap negara-negara, maka partisipasi warganegara malah berkurang; yang mana delegasi kekuatan untuk mengatur (governing) akan makin terdistribusi secara tidak seimbang. Contohnya, unit demokrasi yang terdiri 20 orang saja, masih mampu menyediakan kesempatan tidak terbatas bagi anggotanya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Akan tetapi, apabila unit demokrasi tersebut diperluas misal Uni Eropa yang beranggotakan 27 negara, makan sulit untuk memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggotanya terlibat langsung dalam perumusan keputusan kebijakan. Akibatnya, power terkonsentrasi pada beberapa negara saja. Hal inilah yangmembuat organisasi internasional kemudian menjadi tidak demokratis.
Sedangkan pandangan mengenai demokrasi dalam organisasi internasional disikapi secara skeptis. Argumen skeptis yang mana berkaitan bahwa hal tersebut malah akan menyulut kebangkitan nasionalisme.
Nasionalisme dalam organisasi internasional yang tidak demokratis dilihat dengan cara bervariasi: Pertama, organisasi internasional tidak dapat memberikan/ menjamin pengaruh kontrol penuh atas keputusan yang diambil, maka negara akan cenderung mengandalkan dirinya sendiri dengan munculnya mekanisme “self-help” dan “self-regulated”. Sehingga, hal ini akan menjadi celah proses sentral tumbuhnya atau bangkitnya nasionalisme.

Nasionalisme dan Migrasi
Migrasi sudah terjadi sejak dulu pada 100,000 sebelum masehi dengan beragam alasan, utamanya yang mendominasi ialah perbudakan. Migrasi terbesar terjadi pada masa Revolusi Industri (1820-1920) yakni perpidahan pekerja dan perpindahan karena pengungsi akibat perang dunia. Seringkali arus migrasi besar tersebut identik dengan perpindahan dari “Old World” ke “New World” untuk mengejar kehidupan yang lebih baik di negara tujuan. Migrasi di era kini yaitu 1950-sekarang, akibat fenomena perdagangan internasional dan keunggulan-keunggulan komparatif yang memungkinkan orang berpindah tempat, seperti ekspatriat. Berbeda dengan arus migrasi yang terjadi di masa-masa sebelumnya, perpindahan orang di era kini berkaitan dengan perpindaan pekerja ahli dan tidak ahli, dari negara miskin ke negara kaya, negara kaya-kaya, dan negara kaya ke negara miskin (Bhagwati, 2003).
Migrasi seringkali dianggap sebagai suatu persoalan yang mesti dihalangi oleh negara tujuan karena dapat menimbulkan persoalan-persoalan sosial, utamanya berkaitan dengan arus pengungsi dan tenaga  kerja ilegal dan tenaga kerja kurang ahli. Negara-negara tujuan akhirnya mengeluarkan strategi salah satunya regulasi ketat imigrasi dengan tujuan mengendalikan arus imigrasi sehingga mengurangi persoalan-persoalan sosial yang kemungkinan muncul akibat benturan budaya, ekonomis dan politik. Sedangkan orang-orang di negara asal melihat migrasi sebagai solusi terhadap kebutuhan ekonomi maupun akademis mereka yang mana negara tujuan biasanya memiliki fasiilitas pendidikan dan pekerjaan yang lebih menguntungkan daripada negara asal. Negara asal sendir menghadapi persoalan ancaman “Brain Drain” yang mana orang-orang terbaik mereka memilih untuk bekerja dan menetap di luar negeri karena negara tujuan memiliki fasilitas penelitian, teknologi, dan hiburan yang lebih baik (Bhagwati, 2003).
Di luar dimensi negara, para migran ini sendiri menghadapi persoalan yakni asimilasi, penerimaan (acceptance) perbedaan dan penolakan (rejection). Persoalan pertama, Asimilasi memungkinkan terjadinya perpaduan budaya sebagai strategi rekonsiliasi antara kultur asing yang dibawa oleh imigiran dan kultur lokal milik negara tujuan. Persoalan kedua, penerimaan oleh kultur lokal, memungkinkan terbentuknya masyarakat yang heterogen. Sedangkan penolakan terhadap kultur asing yang dibawa oleh migran dapat menciptakan perasaan nasionalisme ketika buruh migran termarginalisasi, maupun nasionalisme lokal ketika berhadapan dengan pengaruh budaya asing yang menguat di wilayah mereka. Nasionalisme dalam bentuk seperti inilah yang kemudian bertentangan dengna prinsip masyarakat homogen (unviersalisme) maupu heterogen (masyarakat kosmos).
Uraian di atas dapat diilustrasikan pada studi kasus identitas Uni Eropa yang semakin menguat atau semakin terancam. Uni Eropa merupakan identitas yang terbentuk secara kultural. Terdapat perubahan dramatis di Eropa utamanya setelah Perang Dingin yang mana batas Eropa Timur melilputi seluruh bekas wilayah Uni Soviet melebur dalam suatu wilayah geopolitik Eropa. Negara-negara Eropa Timur identik dengan negara yang masih belum stabil dalam hal politik dan ekonomi sehingga bergabungnya kelompok negara tersebut dalam negara Eropa mendatangkan sejumlah persoalan dan benturan sosial. Di sisi lain Uni Eropa mesti bekerja sama negara tersebut dan menanggulangi arus imigran yang hendak mencari pekerjaan di Eropa (Barat dan Tengah) yang identik lebih maju dan lebih mapan daripada negara-negara Eropa Timur lainnya. Masuknya negara Eropa Timur juga menantang konteks identitas Eropa yang mayoritas terbentuk dari beberapa negara besar pemenang perang seperti Perancis, Inggris, dan Belanda. Mau tidak mau, proses redefinisi identitas Eropa diperlukan.
Adapun definisi kultural konteks identitas Eropa ditentukan dalam beberapa komponen penting. Pertama, komponen yang membentuk identias Eropa antara lain ialah budaya yang terbentuk dari adanya solidaritas yang muncul akibat persepsi memiliki musuh yang sama dan sistem politik yang monarki. Komponen kedua ialah kesamaan sejarah dari pengalaman Perang Dunia I dan II dan revolusi Industri. Komponen ketiga pengalaman sekularisme. Negara-negara di Eropa merupakan negara sekuler akibat dari masyarakat yang sekuler pula.
 Faktor yang menyusun redefinisi identitas negara-negara Eropa sebagian besar berasal dari strategi mengatasi persoalan migrasi arus masuk orang-orang antarnegara di Eropa. Eropa menyelenggarakan kebijakan ketat terkait migrasi orang-orang dari luar Eropa yang menginginkan masuk dalam wilayah Eropa. Hal ini mengakibatkan masyarakat Eropa memiliki xenophobia terhadap orang asing. Salah satu strategi menghadapi pengaruh luar tersebut, seringkali negara-negara Eropa. Pertanyaannya ialah mampukan Uni Eropa sebagai entitas supranasional menyediakan solusi terkait konflik sosial yang terjadi antara lokal dan orang asing yang masuk dalam wilayahnya? Adapun sebagai strategi, negara-negara Eropa kini mendukung konstruksi satu identitas yakni “Europeans” sebagai wujud nasionalisme yang berhadapan dengan pengaruh yang dibawa oleh kultur asing.

Referensi
Bhagwati, Jagdish. 2003. The Flow of International Humanity, dalam “In Defense of Globalization”. London: Routledge Publishing
Dahl, Robert. 2011. Can international organizations be democratic: a sceptic view.
Anonim. 2011. Muscle: Planet on the Move
Anonim. 2011. On Europeans.

Comments

Popular posts from this blog

GEOSTRATEGI AMERIKA SERIKAT

Problem Multikultural di Negara Monokultural: kasus Uyghur di Provinsi Xin Jiang terhadap mayoritas China Han, RRC

TEORI-TEORI GEOPOLITIK