GLOBALISASI DAN LINGKUNGAN MENURUT JAGDISH BHAGWATI DALAM “ENVIRONMENT IN PERIL”
RENNY CANDRADEWI 070810532
Situasi dan kondisi yang menggarisbawahi hubungan antara
dua argumen yakni environmentalis dan ekonomis terletak pada pandangan landasan
mereka. Environentalis meletakkan nilai-nilai lingkungan hidup dan aspek
pemeliharaan lingkungan di atas aspek perdagangan, laba, pendapatan, dan
ekonomi. Sedangkan ekonomis meletakkan nilai-nilai perdagangan, laba,
pendapatan dan ekonomi di atas nilai-nilai pemeliharaan lingkungan hidup. Pihak
environmentalis mementingkan adanya harmonisasi aktivitas manusia dengan
lingkungan hidup karena lingkungan hidup. Sementara itu, pihak ekonomis menilai
lingkungan dan segala yang ada di sekitarnya merupakan subordinat manusia, dan
dianugerahkan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya kegiatan manusia sehingga
sudah sewajarnya apabila manusia mengeksploitasi lingkungan (Bhagwati, 2004:
136).
Secara umum tulisan Bhagwati berisi sejumlah pembelaannya
bahwa perdagangan tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Ia memberikan
pilihan-pilihan, dimana kombinasi perdagangan dan kebijakan lingkungan yang
tepat akan mengarah pada kontribusi yang positif bagi dua hal tersebut yang
selama ini selalu berada pada jalan yang berseberangan satu sama lain.
Pembelaannya disampaikan dalam beberapa poin berikut:
Pertama, anggapan
keliru bahwa perdagangan yang lebih bebas tanpa kebijakan lingkungan di tempat,
ialah berbahaya. Kerusakan lingkungan akibat perdagangan yang lebih bebas ialah
sesuatu yang ”mungkin” tapi bukan sesuatu yang “pasti” terjadi. Sebaliknya,
perdagangan tanpa kebijakan lingkungan di tempat tetap membawa perbaikan
lingkungan. Sebagaiama penetapan ketentuan GATT dalam Putaran Uruguay yang
mendorong “polluter” untuk membayar sejumlah denda pada lingkungan tempat ia
beroperasi (Bhagwati, 2004: 140).
Kedua, menurut
Jagdish Bhagwati, perdagangan bebas tidak bisa disalahkan menyebabkan kerusakan
lingkungan. Perdagangan bebas tidak akan merusak lingkungan apabila
aktivitasnya dikombinasikan dengan kebijakan yang tepat. Artinya tanpa
kebijakan yang tepatlah yang menyebabkan perdagangan bebas berpotensi merusak
lingkungan. Untuk itu, Bhagwati mengusulkan kebijakan terbaik apabila
perdagangan bebas dikombinasikan dengan kebijakan yang tepat lingkungan.
Kebijakan yang dimaksud ialah kebijakan yang difungsikan untuk memelihara
lingkungan sekaligus meneruskan perdagangan bebas guna memperoleh keuntungan
dari perdagangan. Kebijakan yang tepat mesti meregulasi dan menyesuaikan
pertumbuhan perdagangan dengan dampak kerusakan lingkungan (Bhagwati, 2004:
141).
Ketiga, lingkungan sendiri perlu dikalkulasi.
Kalkulasi dampak kerusakan lingkungan akibat perdagangan dapat diperoleh
melalui sejumlah penelitian lebih banyak yang mengikutsertakan kelompok
organisasi pecinta lingkungan. Terkadang, beberapa kalkulasi yang dilakukan
oleh organisasi tersebut ditujukan pada tempat yang salah, untuk itu mereka
selalu menyalahkan perdagangan sebagai penyebab utamanya. Padahal kerusakan
lingkungan terletak pada pengelolaan, bukannya pada mekanisme perdagangan yang
lebih bebas.
Keempat, Bhagwati
mengutarakan bahwa negara yang memiliki pendapatan lebih tinggi sebagai akibat
terlibat dalam perdagangan yang lebih intensif, justru memiliki sejumlah dana
yang kemudian dapat diinvestasikan pada pemeliharaan lingkungan akibat polusi
yang disebabkan oleh aktivitas industrinya. Akan tetapi, lebih lanjut
dikhawatirkan bahwa peningkatan pendapatan malah menyebabkan beberapa industri
justru menghasilkan polusi yang lebih spefisik yang tidak mudah diatasi oleh
negara berkembang (yang mengalami kenaikan pendapatan dari aktivitas
perdagangan bebas). Sementara itu, negara maju selalu memiliki restriksi yang
lebih ketat atas hasil produksi negara berkembang dan kompensasi polusi yang
dihasilkan. Hal ini cukup merugikan negara berkembang pada level domestik yang
memiliki standar di bawah ketetapan negara maju. Akhirnya malah menghasilkan
kompetisi perdagangan dan produksi yang tidak seimbang.
Kelima, lalu
dimanakah posisi WTO dalam persoalan lingkungan terkait dengan polusi global
yang dihasilkan sebagai efek samping industri besar-besaran? Persoalan polusi
global terkait kerusakan lingkungan telah banyak dibicarakan dalam berbagai
pertemuan multilateral, sebagaimana Multilateral Environmental Agreements
(MEAs). Mekanisme sanksi yang dikenakan
ialah mengijinkan adanya sanksi dan restriksi terhadap “bukan anggota” yang
terbukti menyumbang kerusakan lingkungan. Salah satu contohnya ialah restriksi
terhadap negara yang mengijinkan produksi barang yang menghasilkan
CFC—substansi yang dilarang dalam Protokol Montreal. Sanksi yang diberikan
dalam MEAs semata-mata ialah untuk menghalau “free-riders” dalam perdagangan
yang ramah lingkungan. Akan tetapi, ketentuan MEAs ini barangkali akan
bertabrakan dengan ketentuan WTO—dengan jumlah anggota yang lebih besar,
meskipun persengkataan bisa diselesaikan melalui mekanismu “Dispute
Settelement”. Hal serupa juga terjadi pada ketentuan yang diselenggarakan oleh
negara-negara yang meratifikasi Protokol Kyoto. Dengan demikian, peran WTO
tidak benar-benar memihak pemeliharaan lingkungan hidup meskipun juga tidak
benar-benar menolak. Peran WTO ialah hanya sebagai penengah dan media solusi
apabila dua negara mengajukan persengketaan terkait benturan perdagangan dengan
institusi lingkungan ke meja WTO.
KESIMPULAN
Perbedaan nilai perdagangan atas lingkungan bagi
kelompok-kelompok ekonomis dan environmentalis ialah hal krusial yang mendasari
perdebatan apakah perdagangan menghasilkan kerusakan lingkungan atau
sebaliknya, memberi kesempatan perbaikan lingkungan. Perbedaan tersebut
terletak pada pendapat mengenai harmonisasi hidup dengan lingkungan dan
memanfaatkan lingkungan untuk sebaik-baiknya kesejahteraan negara. Bhagwati
secara terang-terangan mendukung bahwa dalam banyak hal perdagangan tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan meskipun kerusakan lingkungan mungkin terjadi,
tetapi tidak terjadi hampir secara pasti di setiap tempat. Solusi yang
diberikan oleh Bhagwati terkait persoalan lingkungan sebagai dampak perdagangan
bebas ialah: Pertama, adanya
kebijakan yang mesti meregulasi agar pertumbuhan perdangan tidak meng-overlimit dampak terhadap lingkungan. Kedua, kerusakan lingkungan perlu mendapat
kalkulasi sehingga dampaknya bisa diukur dan perdagangan dapat diarahkan agar
tetap menghasilkan keuntungan untuk perbaikan lingkungan tadi. Ketiga, aktivitas perdagangan dapat
menambah pendapatan. Jika pendapatan tersebut naik, maka terdapat sejumlah
alokasi tambahan untuk mengatasi persoalan dampak kerusakan lingkungan. Keempat, peran WTO sebagai agen
perdagangan di dunia diharapkan bisa mengatasi persengkataan apabila beberapa
negara bersengketa terkait tabrakan ketentuan perdagangan dengan ketentuan
protokol lingkungan seperti Montreal dan Protokol Kyoto. Globalisasi dilihat
dari aspek adanya integrasi perdagangan besar-besaran dan perdagangan yang
bebas tidak sepenuhnya berdampak buruk terhadap lingkungan. Dalam beberapa
kesempatan, menyediakan peluang untuk penyesuaian agar globalisasi tidak
mengeksploitasi lingkungan secara berlebihan.
Direview dari
Bhagwati, Jagdish. 2004. In
Defense of Globalization. London:
Oxford University Press., pp. 135-161
Comments
Post a Comment