GEOPOLITIK ARAB SPRING



Pertemuan kesebelas, 30 Mei 2011
Pendahuluan:
Konstelasi geopolitik Timur Tengah selama ini selalu dikaitkan dengan sumber daya energi yang menjadi tulang punggung perekonomian Barat. Kandungan sumber daya alam yang melimpah tersebut menjadi obyek pengaruh dan intervensi Barat di kawasan tersebut baik secara politik, ekonomi, maupun keamanan, terkait dengan isu terorisme dan nuklir, dan instabilitas regional. Kekuatan Barat yang memiliki kepentingan nasional di kawasan tersebut yaitu Perancis, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet (sekarang Rusia). Secara politik kawasan Timur Tengah masih erat dengan rezim otoritarianisme yang pada 2011 lalu mendapat tantangan yang menuntut keterbukaan politis sekaligus apa yang disebut oleh banyak analis “gelombang demokrasi”. Patut dicatat bahwa arus demokrasi ini digerakkan oleh salah satunya oleh kemajuan informasi melalui jaringan sosial yang mengakibatkan turunnya rezim yang berkuasa saat itu, seperti di Rezim Ben Ali di Tunisia, Hosni Mobarak di Mesir, kekacauan di Lybia, dan Bahrain. Tulisan di bawah ini akan membicarakan secara singkat hasil diskusi terkait dengan perubahan geopolitik di Tunisia, Mesir, Lybia, dan Bahrain serta strategi kekuatan eksternal dalam menanamkan kepentingannya di wilayah tersebut.
Tujuan:
Mahasiswa mampu menganalisis interaksi konsep geopolitik dan geostrategi dalam dinamika politik di Tunisia, Mesir, Lybia dan Bahrain dan arti strategis negara-negara tersebut bagi kawasan Timur Tengah dan kekuatan Barat (China, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat)
Pembahasan Materi
Wilayah Timur Tengah telah menjadi subyek perebutan kekuatan eksternal sejak jatuhnya Dinasti Ottoman pasca Perang Dunia I. Pasca Perang Dingin II, wilayah Timur Tengah menjadi mandat Inggris dan Perancis pada waktu bersamaan untuk mengelola wilayah
44
tersebut. Berakhirnya mandat Inggris dan Perancis di wilayah tersebut menghasilkan rezim otoritarian dan monarki yang menguasai daerah tersebut.
Rezim di Tunisia, Lybia, Tunisia, dan Bahrain secara politis selalu menguntungkan kepentingan eksternal terkait sumber daya alam. Rezim-rezim tersebut juga menjadi sumber korupsi, nepotisme, yang merugikan warganegaranya. Oleh karena itu, pada 2010-2011 muncl arus protes yang menuntut perbaikan sosial terkait penyediaan lapangan kerja dan biaya hidup yang terjangkau. Hal ini kemudian menjadi latar belakang tuntutan demokrasi.
Topografi Timur Tengah yang gersang, bergurun, terdiri dari banyak etnis yang menjadi sumber konflik. Penemuan sumber minyak yang besar di bawah tanah yang gersang tersebut menarik banyak negara Barat kemudian mulai menganggap krusial wilayah ini. Walaupun demikian, wilayah Timur Tengah selalu dijadikan sasaran stereotype seperti sumber ancaman terorisme. Timur Tengah juga merupakan sumber berbagai sentimen negatif anti-Barat, anti-Amerika, dan sumber resurgensi militan Islam terhadap pengaruh Barat di wilayah tersebut. Secara singkat, wilayah ini merupakan sumber konflik baik regional, bilateral terkait dengan kultur “Syiah vis a vis Sunni”, dan internasional.
Secara demografi, negara-negara (Tunisia, Lybia, Bahrain, dan Mesir) sedang mencapai transisi demografi yang identik dengan populasi yang terdidik. Secara intern, terdapat ketimpangan antara diplomasi dan dukungan internasional atas nama kepentingan ekonomi serta aspirasi populasi dalam negara (Oliver Roy dalam Guttinger, 2011: 5). Di kawasan ini juga terjadi perubahan geopolitik pasca runtuhnya rezim Hosni Mobarak di Mesir, yang memungkinkan munculnya aktor geopolitik baru di kawasan tersebut, yakni Turki. Turki pada 2011 berperan untuk menjamu percakapan perdamaian antara negara yang berselisih di Timur Tengah. Turki menjaid mediator antara Israel dan Syria, berperan dalam mediasi terkait isu nuklir Iran dan Amerika Serikat; sehingga tidak menutup kemungkinan Turki suatu saat menggantikan peran Mesir menjadi mediator yang lebih luas terkait konflik politik antarnegara di Timur Tengah (Guttinger, 2011: 5).
Beragam metode dilakukan untuk mengumpulkan massa dan melakukan gerakan sosial dengan karakter sebagai berikut: (1) tanpa kekerasan, (2) tidak ada kepemimpinan, (3) menggunakan internet dan jaringan sosial seperti Facebook dan Twitter, (4) efek Domino, dan (5) mencerminkan perubahan geopolitik peran besar Timur Tengah (Mesir utamanya) terkait dengan isu pembebasan Palestina. Di luar tersebut di atas, variabel determinan yang ikut mempengaruhi perubahan geopolitik di nagara-negarat tersebut ialah kestabilan perekonomian serta sumber daya minyak (Guttinger, 2011: 4).
45
Tunisia. Tunisia secara politik sedang mengalami transisi sejak pemerintahan Xine Al-Abidine Ben Ali melarikan diri pada bulan Januai 2011 lalu. Sejak itu, kerusuhan meningkat dan gerakan sosial meluas sehingga arus demonstrasipun terjadi di seluruh negara. Secara ekonomi, Tunisia dikenal sebagai negara dengan perekonomian paling maju di antara ketiga negara lainnya (Bahrain, Lybia, dan Mesir). Bahkan pendidikan di Tunisia ialah yang paling modern di antara lainnya.
Komoditas utama Tunisia ialah pariwisata. Bahkan Tunisia di bawah Ben Ali, berdasarkan data dari laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2009-2010, disebut sebagai negara paling kompetitif secara ekonomi di Afrika. Secara politik Tunisia disinyalir memiliki ikatan diplomasi kuat dengan Perancis. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi Tunisia seakan-akan mengalami stagnasi pasca resesi dunia pada 2008 lalu dan telah meningkatkan angka pengangguran yang tinggi. Sementara pengangguran meningkat, keluarga dan kolega Ben Ali terus bertambah makmur. Ketimpangan inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong gerakan sosial yang menuntut Ben Ali untuk mundur karena pemerintahannya dinilai tidak demokratis, nepotisme, dan korup.
Pergerakan sosial yang terjadi Tunisia berkembang menjadi revolusi (14 Januari 2011) yang kemudian disebut-sebut sebagai Revolusi Melati yang berhasil menumbangkan rezim Ben Ali (Guttinger, 2011:4).
Mengapa gerakan sosial di Tunisia dianggap penting? Hal ini dikarenakan proses demokratisasi dan tuntutan sosial untuk menggulingkan rezim otoritarinisme dan monarki ternyata mungkin dilakukan. Sehingga hal ini kemudian ditiru oleh warganegara di rezim otoritarianisme lainnya untuk menuntut reformasi politik yang lebih terbuka, tidak korup, dan tidak nepotisme. Muncullah gerakan-gerakan serupa di negara-negara perbatasan dan negara lainnya dengan rezim otoriter seperti Yaman, Lybia, Mesir, Bahrain, Syria yang berujung pada perubahan geopolitik global yang bergerak cepat (Guttinger, 2011: 5).
Implikasi perubahan internal politik Tunisia terhadap aktor eksternal di negara tersebut antara lain: (1) harga minyak meninggi menjadi 147 dolar AS per barel di pasar internasional, (2) tumbangnya Ben Ali mengirim rasa takut pada diktator lainnya, yang terdekat, Mesir melakukan antispasi dan strategi yang lebih agresif menghalau gelombang protes di negaranya, dan (3) Tunisia mengalami transisi geopolitik yang berubah sebagai penghubung Eropa dengan Afrika Utara (Guttinger, 2011: 7).
46
Mesir. Negara berbentuk republik ini merdeka pada 1953 dan beribukota di Kairo. Camp David ialah kesepakatan mengenai sengketa bukit Sinai pada 1979. Dengan demikian, Mesir menjadi satu-satunya negara Arab yang menjalin kesepakatan damai dengan Israel. Patut dicatat, Mesir memainkan peran penting dan dominan dalam Liga Arab yang selama ini selalu antogonis dengan Israel dan kepentingan Barat di konflik Palestina-Israel. Walalupun demikian, hubungan Mesir dan Amerika Serikat selama ini selalu dekat. Mesir memiliki hubungan diplomatik dekat dengan Iran. Mesir juga pernah menjadi pemain penting dalam mediasi pembebasan Palestina, menjadi jalur masuk paling penting di Gaza, serta penyusunan perdamaian di Camp David (Guttinger, 2011: 7). Meskipun Mesir lebih tidak otoriter, diyakini pergerakan sosial yang berhasil membuat Mobarak mundur dikarenakan penolakan warganegara terhadap skenario politik yang direncakan mengangkat putra Mobarak sebagai presiden selanjutnya (Guttinger, 2011: 7). Pemerintahan sementara kemudian diserahkan pada militer, Mohammed Husein Tantawi untuk menjaga stabilitas internal Mesir. Perubahan geopolitik di Mesir tercermin pada perubahan internal yang mengakibatkan peran penting Mesir di kawasan digantikan oleh aktor baru, Turki. Instabilitas internal politik Mesir yang dipicu oleh gelombang demokrasi, menjadi bukti kedua adanya Efek Domino yang sedang melanda negara Arab (Guttinger, 2011: 5).
Lybia. Lybia merupakan negara bekas mandat dua negara yaitu Perancis dan Inggris (1942). Lybia merdeka pada 1951 dipimpin oleh Raja Idris al-Sanusi. Minyak menjadi sumber ekonomi utama negara ini sejak tahun 1956-1961 dibukanya kerjasama pertambangan minyak dengan Amerika Serikat dan pipa gas di Laut Mediterania. Rezim yang sedang berkonfrontasi dengan pemberontak (gerakan sosial yang menuntut demokrasi dan keterbukaan politis) yakni Qadaffi, telah memerintah sejak 1969 melalui aksi militer yang menggantikan pemerintahan Raja Idris.
Geopolitik dan Geostrategi Lybia terkait dengan krisis Libya (2011) yang mengakibatkan dinamika geopolitik di negara tersebut berasal dari arus demonstrasi dan
47
protes yang berujung pada intensifikasi kekerasan berbenturan dengan militer. Pemerintah Lybia memerintahkan aprat keamanan untu menumpas perlawanan, demonstrasi, dan protes anti-pemerintah Qadaffi. Hal ini berasal dari kekhawatiran Qadaffi terhadap potensi pengambil alihan Lybia oleh militan Islam, salah satunya mengantisipasi kebangkitan Moslem Brotherhood (pendirinya ialah Al Banna) yang selama ini dicap sebagai gerakan anti-pemerintah.
Situasi dan kondisi di Lybia saat ini: tentara pemberontak (demonstran) bersitegang dengan tentara Qadaffi. Kondisi ini mencerminkan bahwa terdapat dua kubu yang sampai saat ini masih bersiteru kuat yakni “anti-pemerintah” dan “pro-Qadaffi”. Patut dicatat, bahwa tentara Qadaffi ini adalah tentara bayaran yang disewa untuk memerangi pemberontak, mengingat militer menolak memerangi pemberontak karena hal tersebut bisa memicu perang saudara meluas. Dari pihak eksternal yang ikut berkepentingan di Lybia antara lain: Amerika Serikat (melalui NATO), Inggris, dan Perancis. Strategi Amerika Serikat di Lybia, ialah berpartisipasi dalam memborbardir kekuatan militer Qadaffi. Strategi Inggris dan Perancis di Lybia: mengirim senior militer masing-masing untuk melatih tentara pemberontak dalam menggunakan senjata, strategi melawan tentara Qadaffi.
Kehadiran kekuatan eksternal yang berusaha untuk mengamankan kepentingan mereka di Lybia terutama terkait ladang minyak, ikatan perekonomian Lybia dan Amerika Serikat, dan Perancis yang menjadi penyuplai senjata, mengakibatkan intensifikasi konflik sampai pada tingkat mengkhawatirkan dan makin anarkis. Strategi dunia internasional melalui PBB ialah dengan mengeluarkan : (1) sanksi perekonomian: pembekuan seluruh aset finansial milik Qadaffi dan keluarga di Perancis dan Eropa, (2) mengeluarkan resolusi yang menuntut adanya gencatan senjata, (3) mengecam Qadaffi sebagai penjahat kemanusiaan yang harus dituntut dan diadili di Mahkamah Internasioanl, (4) menumbuhkan adanya urgensi misi diplomatis adanya tentara untuk human rights intervention mengingat jumlah korban yang semakin bertambah.
Adapun ikatan dengan internasional yang membuat Lybia pentinga bagi aktor internasional lain antara lain: (1) Lybia-AS: sejak 2005 dibuka kerjasama terkait sumber ekonomi minyak; dan 2006, hubungan diplomatik Lybia-AS dibuka; (2) Lybia-Inggris, pada 1984 hubungan diplomatik putus karena kasus Scotist Lockerbie, tetapi pada 1999 hubungan diplomatik dibuka kembali; (3) Lybia-Timur Tengah: Lybia masuk dalam Republik Federasi Arab (Mesir, Syria, dan Lybia), dan (4) bersama dengan Algeria, Moroko, Mauritania, dan Tunisia bersama-sama membentuka Uni Arab Maghreb.
48
Adapun arena geopolitik Lybia secara spesifik meliputi: (1) potensi Lybia sebagai penghasil minyak sebesar 4.5 juta barrel setiapharinya, (2) eksplorasi minyak yang didominasi oleh BP (British Petroleum), Exon, Total, Occidental Petroleum, Marathon Oil, dan Oil and Amerada Hess, (3) Qadaffi melakukan nasionalisasi seluruh industri, (4) kekuatan rezim militer Qadaffi dalam berkonfrontasi dengan kepentingan Barat (di era 1969) dan mendukung menjaga eksplorasi minyak.
Konsekuensi logis perubahan geopolitik dan geostrategi Lybia di dunia Arab: (1) perbuahan geopolitik berupa instabilitas politik memicu intervensi Barat, (2) berawal dari Tunisia dan Mesir yang mana gerakan sosial dan gelombang demonstran berhasil meruntuhkan rezim otoriter yang lebih dari dua dekade berkuasa, Qadaffi berniat untuk terus menerus melakukan konfrontasi terhadap pasukan anti-pemerintah sehingga sampai saat ini kekacauan di Lybia terus menerus berlangsung dan korban meningkat, (3) intervensi barat (Amerika Serikat dalam NATO, Inggris, Perancis, dan PBB) masuk demi intervensi kemanusiaan, walaupun sebenarnya kepentingan nasional dan minyak ialah tujuan strategis kekuatan-kekuatan eksternal tersebut.
Secara ringkas, Lybia sedang menghadapi persoalan tidak hanya politik yang saat ini gencar diberitakan di media dan dirangkum dalam berbagai analisis internasional seperti Foreign Policy. Lybia sedang menghadapi persoalan migrasi dan sanksi keuangan terhadap rezim yang berkuasa (Guttinger, 2011: 6).
Bahrain. Kerajaan Bahrain adalah sebuah negara kepulauan di Teluk Persia. Teluk Bahrain memisahkan negara ini dengan Qatar dan Arab Saudi, membuatnya dikelilingi oleh laut dan tidak berbatasan langsung dengan daratan manapun. Konflik yang muncul di Bahrain berkaitan dengan dua hal utama, yaitu struktur masyarakat dan sistem politik yang tidak demokratis.
Struktur masyarakat di Bahrain terdiri dari dua etnis besar yakni Syiah dan Sunni dan konstelasi politik keduanya yang cenderung antagonis. Selain struktur masyarakat tersebut, variabel determinan yang turut mempengaruhi ialah sistem politik di Bahrain yang diskriminatif, yakni sistem politik yang memungkinkan elit politik terdiri dari kelompok minoritas (Sunni) yang terkenal korup, nepotis, dan tidak demokratis. Pemerintah Bahrain selama bertahun-tahun selalu dilanda protes demonstran dari mayoritas Syiah, diskriminasi merupakan strategi pemerintah untuk menghalangi Syiah mendapatkan kebebasan politik yang sama, salah satunya orang-orang Syiah selalu dihalangi untuk mendapatkan pekerjaan di sektor strategis birokrasi dan pemerintahan.
49
Perseteruan antara Sunni dan Syiah ini menjadi poin intervensi aktor eksternal yang mana elit pemerintahan dan monarki Bahrain mendapat dukungan politis dan kedekatan hubungan dengan negara GCC (Gulf Cooperation Council) yang mayoritas ialah Sunni seperti Arab Saudi, Qatar, Oman yang tidak menginginkan Bahrain jatuh pada pengaruh Syiah. Sedangkan di kubu Syiah, mendapat dukungan baik dana dan politik dari Iran yang mayoritas ialah Syiah.
Arena geopolitik Bahrain yang lain ialah: (1) fakta bahwa Bahrain sebagai pemasok minyak dunia dan terdapat banyak ekspatriat di Bahrain (Inggris dan Amerika Serikat), (2) arus demonstrasi dan gerakan sosial di Bahrain menyebabkan harga minyak meningkat di pasar dunia. Sedangkan peran geopolitik yang dimainkan oleh Bahrain, ialah geopolitik pulau yang mana negara kecil di kawasan tetapi memainkan peran dekat dengan kekuatan negara-negara besar seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Lebih jauh, Bahrain merupakan sekutu dekat Ameirka Serikat. Bahrain menjadi home base angkatan laut Amerika Serikat dan tentara Inggris pada waktu bersamaan. Setelah perang teluk pada 1992, Bahrain menjalin kesepakatan korporasi pertahanan dengan Amerika Serikat melalui Inggris sebagai mediator.
Hubungan Bahrain dengan Iran. Iran beberapa kali mengklaim atas wilayah Bahrain sebagai bagian dari kedaulatannya. Klaim ini diyakini berasal dari struktur sosial Syiah yang memiliki hubungan dekat dengan Syiah di Iran.
Arab Saudi di Bahrain. Kepentingan Arab Saudi di Bahrain salah satunya ialah menjaga agar pemerintahan dan elit politik Bahrain tetap dipegang oleh Sunni. Arab Saudi menganggap bahwa apabila Bahrain jatuh pada kelompok Syiah merupakan ancaman bagi Arab Saudi. Dengan kata lain, Bahrain menjadi kosntelasi konflik kepentingan Iran sekaligus Arab Saudi yang antagonis.
Konsekuensi logis apabila revolusi di Bahrain brehasil. Kejatuhan Bahrain akan mempunya “efek domino” bagi politik Qatar, Kuwait, Emirat, Oman dan semua negara Teluk di masa mendatang jatuh ke tangan Syiah. Hal ini menjadi problematis manakala kekuatan Syiah ini dikontrol oleh Iran seutuhnya akan muncul kebangkitan Syiah Empire. Apabila di Afrika Utara, dikhawatirkan akan adanya kebangkitan Moslem Brotherhood sebagai inisiator revolusi dan pergerakan sosial di Tunisia, Mesir, dan Lybia, maka di jazirah arab akan terdapat kebangkitan Syiah Empire sebagai hegemon di Timur Tengah.
50
Kesimpulan
Konstelasi geopolitik Timur Tengah selama ini selalu dikaitkan dengan sumber daya energi yang menjadi tulang punggung perekonomian Barat dan negara-negara di Timur Tengah. Kandungan sumber daya alam yang melimpah tersebut menjadi obyek pengaruh dan intervensi Barat di kawasan tersebut baik secara politik, ekonomi, maupun keamanan, terkait dengan isu terorisme dan nuklir, dan instabilitas regional. Selain itu, kandungan alam ini juga memunculkan ketimpangan ekonomi antara negara-negara Timur Tengah sendiri. Disamping itu arena geopolitik yang sangat berpengaruh di Timur Tengah antara lain struktur masyarakat yang dibagi dalam dua kelompok besar “Sunni” dan “Syiah”, rezim otoriter yagn korup dan nepotisme, serta transisi politik. Secara politik kawasan Timur Tengah masih erat dengan rezim otoritarianisme yang pada 2011 lalu mendapat tantangan yang menuntut keterbukaan politis sekaligus apa yang disebut oleh banyak analis “gelombang demokrasi”. Terdapat perbedaan signifikan dan strategi masing-masing negara, Tunisia, Lybia, Mesir, dan Bahrain dalam menghadapi pergerakan sosial dalam negerinya.
Kata Kunci : geopolitik Arab Spring, Tunisia, Mesir, Libya, Bahrain
Guiding Question:
1. Bagaimana interaksi konsep geopolitik dan geostrategi dalam dinamika arti strategis Tunisia bagi kepentingan eksternal (China, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat)?
Bagaimana perubahan geopolitik di wilayah tersebut dan implikasinya terhadap geopolitik dan geostrategi di kawasan Timur Tengah pada umumnya?
2. Bagaimana interaksi konsep geopolitik dan geostrategi dalam dinamika arti strategis Mesir bagi kepentingan eksternal (China, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat)?
Bagaimana perubahan geopolitik di wilayah tersebut dan implikasinya terhadap geopolitik dan geostrategi di kawasan Timur Tengah pada umumnya?
3. Bagaimana interaksi konsep geopolitik dan geostrategi dalam dinamika arti strategis Lybia bagi kepentingan eksternal (China, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat)?
Bagaimana perubahan geopolitik di wilayah tersebut dan implikasinya terhadap geopolitik dan geostrategi di kawasan Timur Tengah pada umumnya?
4. Bagaimana interaksi konsep geopolitik dan geostrategi dalam dinamika arti strategis Bahrain bagi kepentingan eksternal (China, Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat)?
Bagaimana perubahan geopolitik di wilayah tersebut dan implikasinya terhadap geopolitik dan geostrategi di kawasan Timur Tengah pada umumnya?
51
Referensi
Guttinger, Anne F. 2011. Arab Spring-ppt. Surabaya : Universitas Airlangga, 2011.
Rubin, Barry. 1998. The Geopolitics of Middle East Conflict and Crisis. Meri: Middle East Review of International Affairs. [Online] MERIA JOURNAL, September 1998. [Dikutip: 17 Juni 2011.] http://meria.idc.ac.il/journal/1998/issue3/jv2n3a7.html. Volume 2, No. 3-September 1998.
Shah, Anup. 2011. Middle East. Global Issues: Social, Political, Economic and Envirionmental Issues That Affect Us All. [Online] Globalissues.org, 15 Mei 2011. [Dikutip: 17 Mei 2011.] http://www.globalissues.org/issue/103/middle-east.

Comments

Popular posts from this blog

GEOSTRATEGI AMERIKA SERIKAT

Problem Multikultural di Negara Monokultural: kasus Uyghur di Provinsi Xin Jiang terhadap mayoritas China Han, RRC

TEORI-TEORI GEOPOLITIK