Penerapan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Pencemaran Air di Kabupaten Gresik
Perda No. 32 tahun 2001 dan Keputusan Bupati No.
33 Tahun 2003
BAB I
Gresik sebagai kota yang menaungi berbagai macam industri
dari industri kecil, menengah, dan industri besar yang mayoritas kegiatan
operasionalnya menggunakan bahan-bahan kimia. Kehadiran industri ini selain
meningkatkan pendapatan daerah secara positif, di sisi lain juga berdampak
negatif yaitu pencemaran yang seharusnya diatasi oleh pemerintah setempat.
Tingkat pencemaran udara misalnya, telah berada pada
tingkat yang mengkhawtirkan. Ribuan indsutri berat dan ringan memberi andil
besar dalam mencemari lungkungan udara kota gresik. Tetapi sampai sekarang
belum ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten. Penilaian ini disampaikan oleh
Ketua Divisi Hukum Lingkungan Walhi Jawa Timur, Susilaningsih kepada media di
Surabaya. Misalnya pada 2001, PT Petrokimia pernah mengalami peristiwa
meledaknya tabung amoniak sehingga ratusan orang dievakuasi ke rumah sakit (www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=200412700204911).
Tidak hanya industri besar, industri kecil juga membuang
limbah seenaknya tanpa kepedulian terhadap masyarakat sekitar, misalnya jarang
sekali ditemukan sumur yang airnya masih bersih. Semua sumur milik warga
tercemar. Walhi dan LSM Ecoton menyayangkan pengawasan dari Pemkab setempat
terhadap kondisi lingkungan di Gresik. Padahal hampir semua industri besar di
Gresik menggunakan bahan-bahan kimia dan mencemari lingkungan.
Menindaklanjuti persoalan tersebut, seharusnya Pemkab
Gresik bisa menggunakan Undang-Undang
Normor 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup bahwa bagi pencemar lingkungan
bisa dikenakan pidana hukuman tiga tahun penjara dan denda 100 juta rupiah.
Perda No. 32 28 Februari 2001 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
mengatur tentang Pengendalian Pencemaran Air, Keputusan Bupati No. 33 26 Maret
2003 tentang Retribusi Ijin pembuangan limbah cair untuk menjerat pelaku
industri yang melakukan pencemaran limbah sewenang-wenang.
Ironisnya, Pemkab Grseik hingga saat tidak melalukan
tindakan yang semestinya secara hukum menindak pelaku pencemaran lingkungan.
Efektivitas dua perda tersebut sangat jauh dari harapan untuk menekan
pencemaran di Gresik. Berdasarkan tahap
proses kebijakan Dunn, efektivitas Perda mengenai Pengendalian Pencemaran Air
di sungai-sungai Gresik dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah gagal di tahap
implementasi kebijakan (Dunn, 1994). Tulisan ini akan membahas kebijakan publik
mengenai pengelolaan lingkungan hidup tekrait pencemaran air yang terjadi di
Kabupaten Gresik. Di akhir tulisan, penulis berharap menghasilkan umpan balik
terhadap kebijakan lingkungan di Kabupaten Gresik sebagai alternatif kebijakan
sehingga efektivitas implementasinya dapat ditingkatkan.
II.
Langkah-Langkah
Penerapan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pengendalian Pencemaran
Air di Kabupaten Gresik
Sebelum penetapan Perda No. 32/2000, kebijakan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup dan pencemaran iar telah melalui berbagai proses pertimbangan.
Kualitas sumber-sumber air di Kabupaten Gresik yang kualitasnya cenderung
semakin menurun akibat pencemaran yang terjadi karena kegitan manusi anda
industri sehingga pada tingkat tertentu menyebabkan air tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Peraturan daerah ini merupakan perpanjangan dari
undang-Undang no. 12 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di
Lingkungan Propinsi JWAwa Timur, UU Nomor/ 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 34/2000 tentang Retribusi Daerah dan
Pajak, dan UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan No.
32/2000 ini mendefinisikan pencemaran sebagai masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup zat energi dan/ atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
manusia sehingga kualitasnya turu sampai pada ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Sayangnya
peraturan daerah tersebut tidak mengatur perihal pengelolaan limbah B3 yang
selama ini selalu dibuang langsung ke laut tanpa melalui pengelolaan terlebih
dahulu. Cela inilah yang kemudian digunakan oleh industri untuk lari dari
tanggung jawab pengelolaan limbah dan perlindungan lingkungan yang selama ini
diatur oleh Perda No. 32/2000.
III.
Alternatif
Kebijakan
Kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan
pencegahan pencemaran air yang mengatur pengelolaan limbah B3 tidak hanya
diorientasikan pada penetapan ketentuan yang mengatur konservasi sumber-sumber
air di Gresik. Lebih luas lagi, mengatur tentang bagaimana semestinya limbah
dikelola dengan tetap mengedepankan azas-azas perlindungan lingkungan dan
sumber-sumber air di dalamnya. Alternatif kebijakan yang demikian dirasa sangat
diperlukan mengingat karakter industrialisasi di Gresik yagn sebagian besar
merupakan industri besar yang menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya. Apabila
bahan-bahan kimia tersebut dibuang begitu saja tanpa melewati proses yang lebih
selefktif misalnya melalui manajemen pengelolaan limbah B3 yang langsung
dibawah pengawasan dan pemantauan Pemerintah Kabupaten, maka akan sangat
membahwayakan bagi lingkungan di sekitar, ekosistem laut, mata pencaharian
nelayan, hingga kesehatan penduduk yang tinggal di sekitar kompleks industri.
Dengan peraturan daerah yang lebih memfokuskan pada pengelolaan limbah yang
lebih selektif tersebut, harapannya pencemaran air hasil dari industrialisasi
dapat ditekan seminimal mungkin sehingga lingkungan hidup dapat terjaga.
BAB II
ISI
Berdasarkan
gambaran yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah mengenai kegagalan
kebijakan Perda No.32/2000 di Kabupaten Gresik dan alternatif kebijakan yang mengimplementasikan
Pengelolaan Limbah B3, rumusan masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini
adalah “bagaimana solusi yang tepat
untuk mengatasi kegagalan kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pencemaran
Air di Kabupaten GresikJenis kebijakan tersebut adalah gabungan kebijakan
regulatif dan substantif yang bertujuan untuk membatasi perbuatan seseorang
dengan menyesuaikannya dengan substansi masalah yang dihadapi para pembuat
kebijakan di Indonesia.
I.
Landasan
Teori
Rumusan masalah dalam tulisan ini mengenai kebijakan yang tepat untuk mengatasi permasalahan
regulasi pengelolaan limbah di Kabupaten Gresik yang tidak efektif mengacu pada
beberapa teori. Teori yang relevan digunakan diantaranya: (1) society-based theories yang
diklasifikasikan ke dalam tiga sub teori yaitu neo-marxist, elite, politik
identitas; opini publik dan pluralisme; dan budaya politik. Dalam kaitannya
dengan permasalahan tentang rokok, sub teori kedua yaitu opini publik dan
pluralisme akan menjadi teori yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah
(Smith & Larimer 2009: 242). Opini publik yang dimaksud dalam hal ini
adalah aksi keberatan yang ditunjukkan oleh publik secara umum dan perokok
pasif secara khusus.
Teori kedua berdasarkan pada aspek ekonomi yang fokus
pada public choice theory (Smith
& Larimer 2009: 23). Dalam teori
tersebut, individu mengambil pilihan rasional dalam menyikapi suatu kebijakan
untuk memaksimalkan keuntungan yang sesuai dengan preferensi masing-masing.
Namun terkadang pilihan rasional individu tersebut dapat berdampak negatif pada
individu lainnya secara kolektif. Hal inilah yang terjadi dalam fenomena
kebijakan larangan merokok yang implementasinya tidak efektif di Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan baru yang mengusung asumsi yang sesuai
dan tidak memberikan dampak negatif secara kolektif.
Teori terakhir yang akan digunakan adalah komunitas
kebijakan atau network theory yang
mengasumsikan bahwa kebijakan ditentukan oleh komunitas kebijakan, entah itu
agen pemerintahan, pressure groups, media,
dan individu yang secara bervariasi memiliki berbagai kepentingan dalam
kebijakan tertentu dan berusaha mempengaruhi suatu kebijakan. Siapa yang lebih
berpengaruh ditentukan oleh kekuatan network
dalam suatu komunitas.
Ketiga teori tersebut dapat digunakan sebagai landasan
teori dalam menjawab rumusan masalah mengenai solusi yang tepat untuk mengatasi
kegagalan kebijakan dan urgensi untuk mengatur pengelolaan limbah B3
industri-industri di Kabupaten Gresik.
Policy goal yang
diharapkan dari solusi baru ini adalah adanya pengurangan angka pencemaran
sumber-sumber air di Gresik sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan
peruntukkannya. Pemeliharaan sumber-sumber air tersebut dirasa penting sebagai
cermin efektivitas pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
baik dan sehat.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan perbandingan kedua kebijakan mengenai
larangan merokok yang telah dijabarkan di bab sebelumnya, penulis menarik
kesimpulan mengenai alternatif kebijakan yang direkomendasikan. Secara
keseluruhan, kedua kebijakan tersebut gagal di tataran wacana. Implementasi
kebijakan masih berjalan lemah karena tidak didukung oleh kekuatan untuk
menegakkan sanksi terhadap industri yang terbukti melanggar peraturan daerah
dan melakukan pencemaran dengan membuang limbah. Kelemahan lainnya terletak
pada pemerintah kabupaten Gresik yang regulasinya masih dinilai longgar
sehingga berpotensi menimbulkan celah pelanggaran. Sedangkan usaha
penanggulangan limbah di Gresik ini berjalan di tempat dan laporan hanya sampai
di pengadilan, tanpa adanya tindakan sanksi tegas yang dilaksanakan.
Comments
Post a Comment