Energy Security China in Kazakhstan
I.1. Latar Belakang
Di tahun 1949-1978, pemerintahan baru China (saat itu bernama People's Republic of China) merumuskan dan melaksanakan kebijakan perekonomian yang mengarah pada kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 4 %. Di tahun 1978, dalam upaya untuk tumbuh menjadi raksasa di bidang perekonomian, pemerintahan China di bawah rezim Deng Xiao Ping menerapkan kebijakan perekonomian yang lebih liberal.
Inti kebijakan liberaliasasi ekonomi Deng Xiaoping meliputi dorongan untuk membentuk perusahaan dan bisnis swasta, liberalisasi perdagangan, investasi asing, kelonggaran kontrol negara terkait penetapan harga, dan investasi dalam prudksi industri dan pendidikan tenaga kerja. Kebijakan liberalisasi ekonomi ini sukses meningkatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi China dari 5.8 % pada 1978-1980 menjadi 9.03 % dan 9.35% di tahun 1981-1990. Tabel 1.1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat daritahun ke tahun akan diikuti oleh kenaikan konsumsi energi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi China sangat bergantung pada ketersediaan energi yang cukup yakni keamanan energi di sisi suplai, atau keamanan suplai energi.
Rata-rata Pertumbuhan China Produksi Minyak
(ribu barrel per hari) Konsumsi Minyak % Konsumsi Minyak dari Total Energi China
1949-1978 4 % 72.6 17.42 n/a
1978-1980 9.03 % 126 1848 ≤19%
1981-1990 9.35 % 2423 1959 ≤19%
1991-1997 11.4 % 3047 3543 19% (1995)
1998-2000 7.37 %
2001-2010 11.25 % 3624.5 6864 19% (2008)
Tabel I.1. Rata-rata Pertumbuhan China dan Tingkat Produksi dan Konsumsi Minyak
Sejak tahun 1950 hingga 1993, China tumbuh sebagai negara dengan tingkat produktivitas rendah. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik internasional dan domestik saat itu. Kedekatan politik China dengan Uni Soviet menyebabkan China terkucil dari hubungan internasional dengan banyak negara berkembang lainnya seperti Koea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Keterbatasan tersebut merupakan dampak sanksi embargo ekonomi berupa restriksi perdagangan dan perjalan oleh Amerika serikat sejak 1950-1971. Sedangkan keterbatasan lain berasal dari domestik dimana ketidakstabilan politik menghalangi China tumbuh sebagai negara industrialis. Dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang rendah, tentu saja konsumsi energi dan konsumsi minyak domestik lebih rendah daripada produksi domestik.
Hingga tahun 1993, China berada dalam keamanan energi karena suplai minyak ditopang dari Uni Soviet. Suplai minyak dari Uni Soviet menyumbang 3.73 mt (million toe) atau 26.5 juta barrel per hari di tahun 1959. Pada tahun 1960, China menemukan cadangan minyak di Da Qing yang menyumbang 4.3 mt atau 30.5 juta barrel perhari sehingga total cadangan minyak menjadi 6.48 mt atau 46 juta barrel per hari. Akan tetapi, keamanan energi China berakhir pasca China mengimpor produk minyak pada 1993 dan minyak mentah pada 1996 yang menandai China menjadi net importir minyak. Nilai impor minyak saat itu lebih besar daripada nilai ekspor minyak China. Hal ini berarti, permintaan minyak domestik meningkat sehingga China harus mengimpor minyak dari luar untuk mencukupi kebutuhannnya.
Hal ini dikarenakan pertama, China telah menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat sebesar 14.2 %. Pertumbuhan ekonomi yang pesat menimbulkan persepsi ancaman di aspek fundamental (terkiat dengan suplai dan permintaan) energi, utamanya minyak. Bersamaan dengan perdagangan internasional yang semakin terbuka, permintaan akan energi China semakin meningkat sehingga terjadi perbedaan drastis antara permintaan dan suplai. Sejak 1993-1997, GDP China meningkat dari 3.5 triliun yuan hingga 7.5 triliun yuan, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 11.3 % sebagaimana tabel 1.2.
Pada periode tersebut, konsumsi energinya meningkat dari 1.11 milyar ton TCE (Ton of Coal Equivalent) atau 5 milyar barrel ke 1.44 miliar ton TCE (setara 7.166 milyar barel) atau tumbuh 5.7 % setiap tahunnya. Konsumsi minyak China misalnya meningkat sebesar 5.8 % setiap tahunnya selama 1993-1997. Pada 2007, produksi minyak untuk kebutuhan domestik China hanya 4.5%, tetapi konsumsinya menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat.
Tidak hanya persepsi ancaman energi secara fundamental, ancaman keamanan energi juga meluas ke aspek eskternal yakni kondisi-kondisi yang turut menyumbang ketidakamanan energi di luar sisi suplai dan permintaan. Persepsi ancaman secara eksternal yang tersusun atas sebab-sebab domestik, internasional, dan tingkat ketergantungan antara lain: (1) kendala infrastruktur jalan menghambat transportasi minyak ke wilayah dengan permintaan energi tinggi, (2) pertumbuhan ekonomi sukses menyebabkan transisi skala besar pengguna sepeda dan angkutan massal ke mobil pribadi, (3) sebagian besar suplai minyak China melewati jalur laut dengan berbagai ancaman serius, dan (4) komposisi energi Cina yang tergantung pada satu sumber negara produsen.
Persoalan ancaman energi ketiga terletak pada aspek struktural. Birokrasi energi China lemah dan terfragmentasi. Meskipun terdapat beberapa badan energi pemerintah yang mengawasi kebijakan energi, faktanya otoritas dan subordinatnya tumpang tindih. Akibatnya, manajemen energi semakin tidak efektif dan kebijakan energi tidak dapat diandalkan. Ancaman energi secara struktural mengindikasikan sistem energi belum siap bersaing secara internasional. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah selalu aktif terlibat dalam setiap negosiasi, merger, akuisisi, persetujuan investasi perusahaan nasional minyak ke luar. Peran pemerintah China yang sangat kuat berasal dari ketidakpercayaan terhadap sistem energi global.
Tulisan ini membahas keamanan suplai energi utamanya minyak di Kazakhstan. Keamanan suplai minyak menjawab indikator keamanan energi kedua yakni accountability. Daripada batu bara, selain minyak lebih mudah diolah menjadi bentuk energi lain minyak memiliki keuntungan ekonomis yang lebih tinggi dan lebih mudah ditranportasi ke wilayah maupun provinsi dengan permintaan energi yagn tinggi.
Terkait dengan aspek keamanan energi ketiga, yakni accessibility, sumber minyak terdekat dari China selain Iran atau Saudi Arabia di Timur Tengah ialah Kaspia. Adapaun, negara partner energi di wilayah tersebut ialah Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan. China memperoleh minyak dari Kazakhstan, gas alam dari Turkmenistan, dan minyak dan gas alam dari Uzbekistan.
Kazakhstan menjadi target diversifikasi energi China karena beberapa keuntungan geopolitik. Pertama, meskipun terdapat beberapa negara produsen minyak di sekitar China—seperti Rusia, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgiztan, cadangan minyak di negara tersebut tidak sebanyak Kazakhstan. Cadangan minyak Kazakhstan menempati peringkat ke-11 seluruh dunia dengan 30 triliun barel cadangan minyak dan merupakan terbesar kedua di Asia Tengah setelah Russia.
Terkait dengan aspek keamanan energi keempat, yakni affordability atau kemampuan membeli, China berinvestasi di beberapa perusahaan minyak Kazakshtan melalui CNPC (China National Petroleum Corporation). Terdapat dua penjelasan utama China keuntungan investasi di Kazakhstan. Pertama, keuntungan dari ketidakhadiran militer Amerika Serikat di tersebut yang memungkinkan China untuk mengalihkan suplai energi dari jalur laut yang didominasi oleh Angkatan Laut AS ke jalur darat. Kedua, deposit minyak Kazakhstan melimpah dengan konsumsi energi yang masih rendah, tumbuh sebagai negara produsen dan pengekspor di pasar energi global. Di samping itu, Kazakhstan merupakan negara penting dalam sektor energi di Kaspia. Harapannya, suplai energi dari Kazakhstan diperkirakan membantu diversifikasi suplai energi China di masa mendatang.
Penetrasi China di Kazakhstan diawali dengan akuisisi 60.3% saham Aktobemunaigaz oleh CNPC (China National Petroleum Corporation) pada 1997. Hubungan China-Kazakhstan melalui CNPC yang tadinya hanya berupa kesepakatan bilateral, berkembang menjadi kemitraan strategis di sektor energi. Adanya kontrol kuat pemerintah dalam sistem energi China mengakibatkan CNPC tidak hanya dipandang sebagai perusahaan yang mengedepankan efisiensi pasar, tetapi juga sebagai aset politik untuk melayani tujuan-tujuan strategis dan kepentingan energi China.
. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut sejauh mana peran pemerintah China dalam CNPC dan bagaimana kebijakan energi China di wilayah Kaspia melalui CNPC (China National Petroleum Corporation) khususnya terkait keamanan suplai energi dari Kazakhstan.
I.3. Tujuan
Tujuan penulisan ini diperuntukkan untuk meneliti kebijakan energi China di sektor minyak Kazakhstan melalui perusahaan minyak China CNPC
I.4. Kerangka Pemikiran
I.4.1. Energised Foreign Policy-Security of Energy Supply
Berdasarkan model yang diilustrasikan dalam “Energised Foreign Policy-Security of Energy Supply” yang ditulis oleh Clingendael International Energy Programme (CIEP). Model tersebut memiliki dua skenario, sebagaimana dirangkum dalam bagan 1.4.
Dalam skenario tersebut, bagian D dan C mencakup China, rusia, India dan sebagian besar negara produsen yang lebih suka sistem perdagangan energi global yang state-centric. Sebaliknya, di kuadran A dan B mencakup Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa yang lebih memilih perdagangan energi global dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar. Disebabkan negara produser energi utama sekaligus negara konsumen energi yang penting (China dan India) memilih sistem “state-centric”, maka sektor energi global di masa mendatang cenderung untuk bergeser ke skenario pertama . Oleh karena itu, dalam hal ini strategi China dievaluasi dalam kerangka skenario pertama yang memungkinkan CNPC berperan sebagai aktor subordinat.
Bagan I.2 Model Pasar Energi Global dalam "Energized Foreign Policy-Security of Energy Supply”
Sumber: General Energy Council. 2005. Energized Foreign Policy-Security of Energy Supply as a Ndwe Key Objective, h. 22-23
I.4.2. Teori Investasi dan FDI—Quan Li dan Adam Resnick (2003)
Quan Li dan Adam Resnick (2003) dan Jensen (2008) mempelajari kenapa perusahaan berinvestasi di luar negeri. Teori ini menjelaskan dampak demokratisasi pada lembaga-lembaga pemerintahan, hukum dan institusi terhadap arus investasi yang masuk. Teori ini membicarakan dua hal utama. Pertama, kecenderungan bahwa semakin demokratis suatu negara maka bahwa makin banyak arus FDI (Foreign Direct Investment) masuk. Artinya, semakin banyak perusahaan tertarik untuk berinvestasi pada negara tersebut. Kedua, teori ini menyatakan fungsi investasi pada akhirnya dapat digunakan untuk membeli dukungan pemangku kebijakan Kazakshtan untuk memenangkan tender-tender penting minyak di Kazakhstan.
I.4.3. Realisme Struktural-Waltz (1979) dan Teori Power Cycle-Doran (2003)
Strategi kebijakan energi China di Kazakhstan dapat dipahami dalam kerangka Realisme Struktural. Banyak pandangan teoritis dalam Realisme Struktural, salah satunya oleh Kenneth Waltz dalam “Theory of International Politics” (1979). Menurut Waltz (1979) unit yang palng penting untik dipelajari ialah struktur dalam sistem internasional. Struktur dalam suatu sistem ditentukan oleh tatanan prinsip yaitu tidak adanya otoritas menyeluruh, dan distribusi kapabilitas antara negara-negara. Kapabilitas tersebut yang menetapkan posisi negara dalam sistem.
Tatanan dunia saat ini didasarkan pada keseimbangan yang muncul antara kekuatan dan peranan kebijakan luar negeri. Sebagaimana Doran (2003: 15) kemudian menjelaskan, bahwa “peran dan kekuatan adalah sistemik, tetapi peran muncul jika dilegitimiasi dalam sistem, yang mana kekuatan dinyatakan melalui aksi sepihak sebagai kontrol. Misalnya kekuataan suatu negara dapat ditentukan melalui pertumbuhan ekonominya, maupun kekuasaannya terhadap sumber daya energi tertentu”. Terkait dengan kebijakan energi, China memiliki posisi kuat dalam sistem pasar energi global.
Doran juga menyatakan, bahwa Asia merupakan wilayah penting yang mana pergeseran struktural kekuatan sedang terjadi disebabkan pertumbuhan ekonominya. China dengan pertumbuhan ekonominya tertinggi dan pemain baru dalam perekonomian global yang terus signifikan, memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan negara-negara di sekitarnya, terutama di Kazakhstan.
I.4.4. Stakeholder Theory
Stakeholder memiliki dua definisi dalam pengertian luas dan pengertian sempit. Pengertian luas, stakeholder menurut Freeman ialah individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pengertian sempit oleh Clarkson, stakeholder biasanya dibebani oleh resiko akibat investasi yang ditanam maupun kegiatan perusahaan. Di samping itu, untuk melengkapi dua pengertian di atas, pengelompokan stakeholder dilakukan oleh Ronald K Mitchell yang tertuang dalam teori stakeholder. Dalam teorinya, Mitchell menyatakan tiga atribut yang dimiliki oleh stakeholder untuk mengindentifikasi peran stakeholder, yaitu “power”, legitimasi, dan urgensi.
I.5. Hipotesis
Dengan memahami latar belakang masalah di atas serta kerangka pemikiran yang digunakan, maka diajukan hipotesis sebagai berikut CNPC menjadi strategi kebijakan energi China. Kehadiran CNPC di China tidak semata-mata bergerak sesuai dengan tingkah laku perusahaan transnasional pada umumnya, melainkan bergerak di bawah pemerintahan China secara langsung.
I.6 Konseptualisasi dan Operasionalisasi
I.6.1.1. Keamanan Energi
Keamanan energi didefinisikan sebagai ketersediaan energi pada setiap waktu, dalam banyak bentuk, pola yang cukup, dan pada harga yang terjangkau. Artinya, keamanan energi menjelaskan keadaan kecukupan permintaan dan penawaran pada tingkat harga yang dianggap terjangkau oleh perekonomian suatu negara. Ancaman utama dalam keamanan energi ialah gangguan terhadap suplai, kenaikan harga yang membuat pembelian suatu sumber energi tertentu tidak terjangkau bagi perekonomian suatu negara, ancamana yang paling sering terjadi ialah ancaman terhadap infrastruktur energi, dan resiko kerusakan lingkungan.
I.6.1.2. Ketahanan Energi
Ketahanan energi dipahami sebagai ketersediaan sumber-sumber energi pada harga yang stabil dan tempat dan waktu tertentu.
I.6.1.3. Diversifikasi
Diversifikasi merupakan konsep yang luas. diversifikasi bisa berkenaan dengan tipe-tipe bahan bakar (diversifikasi tipe), sumber-sumber bahan bakar (diversifikasi origin), dan diversifikasi teknologi (tipe dan asal). Secara umum, diversifikasi dalam suplai energi, baik oleh tipe dan asal, seringkali dianggap menyumbang terhadap keamanan energi.
I.6.1.3. Relative Game
Dalam hubungan internasional, “relative gain” menggambarkan tindakan negara hanya dalam hal kekuasaan, tanpa memperhatikan faktor lain, seperti ekonomi. Relative gain menekankan kondisi bahwa semua negara dapat mengambil manfaat dari kerjasama dan kompetisi nonkonfliktual.
I.6.1.4. Zero-sum Game
Zero-sum game ialah kalkulasi matematis yang mana kemenangan satu pihak diikuti oleh kerugian—di sisi lain—secara bersamaan yang jika dijumlahkan menghasilkan “zero”. Konsep ini pertama kali muncul dalam pemikiran Realisme tentang sekuriti atau keamanan suatu negara. Kondisi “zero game” hanya dapat tercapai apabila terdapat “relative gain”.
I.6.2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yang bermaksud menjelaskan variabel-variabel yang diteliti dan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain dengan tujuan mendapat penjelasan bagaimana kebijakan China di Kazakhstan melalui CNPC.
I.6.3. Jangkauan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam jangka waktu antara tahun 1997 ketika CNPC masuk dalam sistem energi Kazakhstan melalui pembelian 60.3% saham Aktobemunaigaz. Jangkauan penelitian ini berakhir pada 2011 ditandai dengan pencapaian terakhir CNPC melalui pengesahan jalur pipa minyak sepanjang 3000 km yang menghubungkan Atasu (Kazakhstan) dan Alashankou (China).
I.6.5. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif karena berupa kasus, artikel yang dimuat dalam media, maupun pernyataan-pernyataan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data kualitatif meliputi tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
I.6.6. Sistematika Penulisan
Bagian pertama dari tulisan ini atau Bab I, menguraikan sejumlah hal yang mendasari penelitian ini.
Bab I berisi garis besar penelitian meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, metodologi penelitain, konseptualisasi dan operasionalisasi konsep serta sistematika penulisan bab-bab selanjutnya.
Bab II ini bertujuan untuk mengetahui relevansi keamanan dan kebijakan energi China. Relevansi tersebut diawali oleh pemaparan situasi yang mempengaruhi dinamika keamanan energi China sejak 1950-1996. Selanjutnya penjelasan relevansi keduanya dilengkapi oleh dari sumber ancaman keamanan energi baik secara fundamental, eksternal, maupun nonstruktural yang diyakini turut mengkontruksi persepsi ancaman energi nasional China. Bab ini ditutup dengan pernyataan bahwa kebijakan energi sebagai aset politik yang digunakan untuk memahami kerjasama energi China dan Kazakhstan.
Bab III ini mengkaji kebijakan energi China melalui CNPC di Kazakhstan pada 1997-2011 terkait keamanan suplai energi. Adapun bab ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah kebijakan strategis China terkait keamanan energi melalui CNPC di Kazakhstan. Pembahasan ini diawali dengan latarbelakang kerjasama energi China dan situasi yang mempengaruhi masuknya investasi. Bagian kedua menjelaskan peran pemerintah sebagai stakeholder CNPC.
Bab IV merupakan bagian kesimpulan yang berisi jawaban terhadap rumusan masalah
BAB II
RELEVANSI KEAMANAN DAN KEBIJAKAN ENERGI CHINA
Bab ini bertujuan untuk mengetahui relevansi keamanan dan kebijakan energi China. Relevansi tersebut diawali oleh pemaparan situasi yang mempengaruhi dinamika keamanan energi China sejak 1950-1996. Selanjutnya penjelasan relevansi keduanya dilengkapi oleh dari sumber ancaman keamanan energi baik secara fundamental, eksternal, maupun nonstruktural yang turut mengkontruksi persepsi ancaman energi nasional China. Bab ini ditutup dengan pernyataan bahwa kebijakan energi sebagai aset politik yang digunakan untuk memahami kerjasama energi China dan Kazakhstan.
II.1. Keamanan Energi China
Ambisi China mencari cadangan energi dari luar, utamanya minyak, tidak terlepas dari kebijakan internal dan situasi internasional. Kedua hal tersebut diyakini berpengaruh terhadap dinamika keamanan energi China. Berikut penjelasan dinamika keamanan energi sejak 1950 hingga 1996.
A. Keamanan Energi 1950-1970
Terbebas dari perang sipil pada tahun 1949, China tumbuh sebagai negara dengan ambisi industrialisme dan modernisme kendati produksi minyaknya masih sangat rendah. Peningkatan produksi minyak baru terjadi pada tahun 1950 melalui bantuan suplai dan teknologi dari Uni Soviet yang merintis eksplorasi cadangan minyak domestik. Pada 1959, produksi minyak mentah China mencapai 3.73 mt (million toe). Sayangnya pada tahun 1960, Uni Soviet menghentikan bantuan dan kerjasama energi dengan China. Keadaan ini mendorong China untuk mengeluarkan kebijakan untuk lebih “self-reliance” dengan kontrol penuh pemerintah.
Salah satu implementasi kebijakan “self-reliance” ialah dengan penemuan cadangan minyak. Pada tahun 1960, China merintis eksplorasi minyak di daerah Da Qing. Pengilangan cadangan minyak di Da Qing menandai momentum ketahanan energi China. Kilang minyak di Da Qing menyumbang 4.3 mt minyak sehingga total cadangan minyak domestik sebesar 6.48 mt.
Dapat dikatakan pada tahun 1960-1960, ketahanan energi China tercapai karena pengaruh situasi politik internasional. Terlepas dari ketidakstabilan politik domestik pasca perang sipil 1949, kebijakan energi China juga dipengaruhi oleh situasi politik internasional. Situasi politik internasional saat itu cenderung dikontruksi oleh kompetisi superpower Uni Soviet dan Amerika Serikat pada era Perang Dingin.
Iklim Perang Dingin yang merupakan kancah pertarungan pengaruh yang di satu sisi menguntungkan China dan di sisi lain merugikan. China yang memiliki kedekatan politik dengan Uni Soviet mendapat kemudahan bantuan baik suplai dan teknologi pengilangan minyak. Kemudahan ini membantu China untuk mengeksplorasi kekayaan minyak dalam negeri beserta bantuan finansial pengoperasian kilang minyak.
Sebaliknya terdapat konsekuensi logis kerjasama energi dengan Russia ialah China terkucilkan dari hubungan antarnegara yang memihak blok Amerika Serikat. Puncaknya China dikenakan sanksi embargo ekonomi berupa restriksi perdagangan dan perjalanan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1950 sampai 1971. Akibatnya produksi minyak China hanya diperuntukkan untuk konsumsi domestik dengan tingkat pembangunan ekonomi yang rendah. Dengan kata lain, selama dua dekade sejak 1950-1970 China mencapai ketahanan energi karena tekanan internasional saat itu. Kondisi ini menghalangi China mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang rendah, tentu saja konsumsi energi atau minyak juga rendah.
B. Keamanan Energi 1971-1996
Pada tahun 1971, embargo ekonomi Amerika Serikat berakhir. Berakhirnya embargo ekonomi tersebut mengakibatkan peningkatan dalam hubungan internasional pada awal tahun 1970-an yang mengarah pada ekspansi ekonomi. Ekspansi ekonomi tersebut ditunjang oleh cadangan energi utama China yakni batubara dan minyak. Dengan demikian, batubara dan minyak berpotensi menjadi komoditas ekspor utama perekonomian China.
Hal ini ditunjang dengan profil energi China. Cadangan batubara China merupakan terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Russia. Konsumsi batubaranya menyumbang 69 % total konsumsi energi domestik. Hal ini membuat China sebagai negara produksi sekaligus konsumsi batubara terbesar di dunia walaupun persoalan lingkungan dan keamanannya menjadi perhatian serius dunia.
Ekspor komoditas minyak dan batubara saat itu tidak hanya bertindak sebagai komoditas perdagangan tetapi juga melayani tujuan strategis China untuk merintis hubungan dengan negara-negara lain. Sejak tahun 1971 China mampu mengalokasikan sumber minyaknya untuk melayani kebutuhan ekspor untuk beberapa negara. Misalnya pada tahun 1973 ketika terjadi krisis minyak, China mengambil keuntungan dengan mengekspor minyak mentah ke Thailand, Filipina, dan Jepang.
Hubungan internasional China yang tumbuh semakin positif berdampak terhadap peningkatan ekspor minyak. Nilai ekspor minyak China semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1985 ketika nilainya mencapai 30 mt. Pada saat bersamaan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi China semakin intensif. Sayangnya kolaborasi keduanya tidak diimbangi dengan kebijakan untuk menambah kapasitas produksi minyak domestik. Dampaknya terjadi kesenjangan tingkat permintaan dan suplai sehingga penurunan ekspor minyak sejak tahun 1985 tidak dapat dihindari.
Penurunan kapabilitas ekspor minyak China sebenarnya telah terjadi di tahun 1983 ketika China mengimpor minyak mentah dari Oman sebagai tindakan temporer akibat gangguan transportasi minyak dari China Utara ke kilang minyak yang terletak di atas Sungai Yangtze. Gangguan ini semakin nyata ketika pada tahun 1988 terdapat peningkatan permintaan minyak sehingga impor minyak China semakin meningkat drastis. Peningkatan impor ini terjadi secara terus menerus sejak produksi minyak mentah tidak mencukupi konsumsi domestik. Ditambah pula produksi minyak di Da Qing diperkirakan mulai menipis pada 2002. Permintaan minyak yang terus meningkat memaksa China mengakhiri masa ketahanan energinya sejak impor produk minyak pada 1993 dan impor minyak mentah pada 1996.
Dinamika keamanan energi China mengalami dua fase penting kebijakan energi. Pertama, iklim politik Perang Dingin yang memaksa China untuk mengikuti kebijakan energi yang mendukung tercapainya ketahanan energi. Sulit sekali untuk mengejar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi apabila persediaan bahan bakar pertumbuhan tersebut tidak cukup. Pemerintah China pun menempuh kebijakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai dengan ketersediaan sumber daya energinya. Tujuannya ialah mengantisipasi peningkatan kebutuhan minyak dalam negeri yang tidak terpenuhi karena hambatan-hambatan politik internasional dan embargo ekonomi yang membatasi hubungan perdagangan China dengan negara-negara lain.
Fase penting kedua ialah berakhirnya embargo ekonomi pada tahun 1971 yang berkonsekuensi terhadap adanya perubahan fundamental pada tingkat ekspor dan kapabilitas China dalam memproduksi minyak dari cadangan minyak domestiknya.
II.2. Persepsi Ancaman Energi China
Kebijakan energi China juga dikontruksi dari berbagai persepsi sumber ancaman kemanan energi China. Terdapat tiga analisis yang mewakili persepsi ancaman energi China. Pertama, analisis fundamental berdasarkan laporan British Petroleum yang menekankan adanya defisit minyak akibat konsumsi energi di sektor industri. Kedua, analisis eksternal oleh Stein Tonnesson dan Ashild Kolas (2006) dan Erica S Downs (2004) yang melengkapi ancaman ketidakamanan energi secara komprehensif di luar aspek fundamental. Ketiga, analisis struktural oleh Zha Daojiong (2005) yang menyatakan ketidakamanan energi sebagai akibat tidak adanya birokrasi yang secara jangka panjang yang mengelola dan merumuskan kebijakan energi secara leih terorganisir. Ketiga analisis tersebut berfungsi untuk mengetahui perubahan perubahan signifikan pada aspek kebijakan energi China pasca 1996.
A. Analisis Fundamental
Analisis fundamental menitikberatkan gangguan keamanan energi pada aspek fundamental yakni “supply” dan “demand” bergeser dari titik keseimbangan. Analisis ini menggunakan data kuantitatif terkait pertumbuhan ekonomi dan komposisi sumber energi yang mempengaruhi konsumsinya. Salah satu data kuantitatif yang mendukung ialah laporan British Petroleum pada tahun 2003. Laporan tersebut berfungsi untuk memperjelas tingkat ketidakamanan energi dengan menunjukkan hubungan antara konsumsi dan pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan permintaan energi dan defisit minyak.
Ketidakamanan energi China berkaitan erat dengan fakta peningkatan konsumsi minyak. Laporan British Petroleum, menyebutkan adanya defisit minyak China. Misalnya, sejak tahun 1993-2002, konsumsi China meningkat dari 2.9 juta barel setiap hari menjadi 5.4 juta barel, sementara produksi minyak naik dari 2.9 juta barel setiap hari menjadi 3.4 juta barel pada periode yang sama.
Peningkatan ini utamanya terjadi pada sektor industri. Sebagian besar sektor industri China mengkonsumsi minyak lebih banyak daripada sektor lain. Misalnya pada tahun 1995, konsumsi minyak sektor industri mencapai 49 persen. Di tambah pula sektor industri manufaktur semakin memegang peran signifikan dalam perekonomian China.
Angka-angka tersebut mempertegas hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi energi suatu negara yang ditulis oleh Ruth A Judson, et. al. (2009). Ruth A Judson menyatakan pertumbuhan ekonomi cenderung berbanding lurus dengan tingkat konsumsi energi. Misalnya, sejak tahun 1952-1978, pertumbuhan ekonomi China meningkat sebesar 4.4 persen. Pada 1978 hingga 1980, terdapat peningkatan perekonomian setiap tahunnya sebesar 9 persen. Sedangkan sejak tahun 1990-1996, pertumbuhannya mencapai rata-rata 11 persen.
Hubungan pertumbuhan ekonomi ini diwakili oleh tingkat GDP (Gross Domestic Product) dengan tingkat konsumsi energi China berdasarkan data sebagai berikut: sejak 1993-1997, GDP China meningkat dari 3.5 triliun yuan hingga 7.5 triliun yuan, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 11.3 %. Pada periode tersebut, konsumsi energinya meningkat dari 1.11 miliar ton TCE (Ton of Coal Equivalent) ke 1.44 miliar ton TCE atau tumbuh 5.7 % setiap tahunnya. Konsumsi minyak China misalnya meningkat sebesar 5.8 % setiap tahunnya selama 1993-1997.
A. Analisis Eksternal
Analisis ketidakamanan energi kedua berasal dari laporan yang ditulis oleh Stein Tonnesson dan Ashild Kolas (2006) dalam International Peace Research Institute di Oslo Norwegia, menyebutkan sumber ketidakamanan energi, utamanya minyak, terletak pada gangguan eksternal. Gangguan eksternal mencakup persepsi ancaman yang berasal dari sebab-sebab domestik, internasional, dan tingkat ketergantungan pada satu sumber. Adapaun gangguan eksternal tersebut antara lain:
Hambatan eksploitasi sumber-sumber minyak domestik dan transportasi energi ke wilayah dengan permintaan yang tinggi. Pernyataan ini berasal dari fakta profil energi China. Mayoritas cadangan energi China terletak di bagian Utara dan Barat China, sementara itu permintaan akan energi berasal dari kota-kota industri dan komersial di sepanjang pantai Timur China. Sarana infrastruktur dan jalan yang kurang memadai menjadi kendala utama transportasi energi ke kota-kota dengan tingkat permintaan energi yang tinggi.
Pertambahan jumlah pemilik kendaraan menyumbang terhadap peningkatan konsumsi bahan bakar minyak. Pertumbuhan konsumsi minyak terutama karena pertumbuhan ekonomi yang sukses juga berhasil menyebabkan transisi skala besar dari pengguna sepeda dan angkutan massal ke mobi pribadi. Sejak tahun 2001 tepatnya China menjadi anggota WTO. Akibatnya pada tahun 2010, jumlah mobil di China naik menjadi 20 kali lipat daripada tahun 1990.
Keamanan energi China juga dapat terancam jika ada gangguan jalur transportasi laut yang dilalui oleh kapal-kapal minyak China. Bahaya perompak di wilayah-wilayah seperti Selat Malaka, Selat Hormus, dan di perairan Somalia menjadi ancaman serius. Gangguan kelancaran transportasi minyak dalam pasar energi global dapat memicu kelangkaan dan gangguan harga minyak yang berimbas terhadap perekonomian China;
Pengaruh kuat Amerika Serikat di negara-negara produksi minyak seperti wilayah Timur Tengah dan Selat Taiwan dapat dijadikan alat politis untuk menekan China. Sebagian besar sumber minyak domestik China didatangkan melalui kapal tanker yang harus melewati jalur laut yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pengaruh angkatan laut Amerika Serikat dan kepentingan Jepang di wilayah tersebut menjadi sumber kekhawatiran China. Gangguan suplai potensial terjadi jika Amerika Serikat dan Jepang menginterupsi jalur tersebut sebagai alat politis untuk mengancam China;
Komposisi sumber energi China saat ini mayoritas berasal dari Timur Tengah. Perubahan politik sedang terjadi di rezim-rezim Timur Tengah, utamanya di negara-negara produksi minyak. Perubahan politik yang menjadi sumber ketidakstabilan politik di Timur Tengah tersebut merupakan proses yang akan memakan waktu. Hal ini yang kemudian menginisiasi China untuk mencari cadangan strategis energi atau meningkatkan signifikasi cadangan tersebut di wilayah lain. Ketergantungan China terhadap satu sumber minyak dapat mengurangi keamanan energi China. Ketergantungan China pada satu sumber impor minyak dapat mengakibatkan kelangsungan perekonomian China pada khususnya dan perekonomian global pada umumnya dipertaruhkan.
Uraian diatas merupakan serangkaian ancaman eksternal baik secara internasional maupun nasional yang menyebutkan bahwa ketergantungan terhadap satu sumber suplai minyak dapat mengakibatkan keamanan energi terancam secara keseluruhan.
B. Analisis Struktural
Analisis struktural terkait persepsi ancaman energi berasal dari tulisal Zha Daojiong. Berseberangan dengan dua analisis sebelumnya, Zha Daojiong Direktur Center for International Energy Security di Renmin University's School of International Studies di China, menolak asumsi-asumsi di atas. Argumen Daojiong tersebut didasarkan pada fakta sejarah. Selama dua dekade, tidak ada kendala politis yang menghalangi akses impor minyak China selama ini. Ia juga menyebutkan tidak adanya ancaman serius pada jalur transportasi. Walaupun demikian, Zha Daojiong menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan adanya ancaman-ancaman lain yang lebih bersifat struktural.
Zha Daojiong berpendapat gangguan struktural berasal tidak adanya dari badan sentral yang menyusun kebijakan energi, tetapi juga terletak pada kebijakan energi itu sendiri. Sejak tahun 1955 hingga 2005, pemerintah China beberapa kali mereformasi badan pembuat kebijakan energinya. Proses reformasi tersebut membawa konsekuensi serius, yakni tumpang tindih otoritas dalam kebijakan energi. Persoalan ini diperparah dengan kekosongan otoritas tunggal yang merencanakan kebijakan energi sejak tahun 1993. Akibatnya, banyak kebijakan energi belum terimplementasi sepenuhnya. Selain itu pada tahun 1950-1980, kondisi politik China sedang tidak stabil. Daripada merumuskan kebijakan untuk mengatasi persoalan energi, pemerintah China lebih mengedepankan pencapaian stabilitas politik dan sosial sebagai agenda utama.
Tulisan Zha Daojiong patut diapresiasi karena memberikan pandangan baru dalam kerangka ketidakamanan energi China yang menarik dibahas. Menurut Daojiong, tumpang tindih otoritas karena pergantian badan pembuat kebijakan tersebut menandakan struktur sistem energi China yang masih belum siap bersaing secara internasional.
C. Relevansi Persepsi Ancaman terhadap Kebijakan Energi China
Berdasarkan tiga analisis di atas dapat diketahui bahwa terdapat proses yang mempengaruhi dinamika kebijakan energi China. Semula kebijakan energi China berorientasi pada “self-reliance policy” menjadi “self-sufficiency policy”. Apabila “self-reliance policy” merupakan refleksi kebijakan akibat situasi Perang Dingin dan batasan hubungan internasional, maka kebijakan sekarang lebih bersifat “self-sufficiency” yang merefleksikan ketidakpercayaan pada sistem mekanisme pasar. Hal ini selaras dengan pernyataan diplomat China, sebagai berikut:
“Western countries can feel secure purchasing oil internationally because they created the system—China did not”.
Pernyataan tersebut juga tertuang dalam “China’s White Paper on Energy” sebagai berikut:
“China mainly relies on itself to increase the supply of energy.”
Proses perubahan kebijakan tersebut bukan tanpa pengaruh. Situasi internasional dan perdagangan internasional yang makin intensif ikut berkontribusi dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan arah kebijakan tersebut adalah hasil proses penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan eksternal. Perubahan struktur baik dalam pengelolaan dan organisasi kebijakan di tingkat pusat atau sering disebut “reformasi birokrasi” menjadi salah satu contoh krusial.
1. Badan Pembuat Kebijakan Energi China (1983)
Salah satu pendapat besar terkait reformasi birokrasi di sektor energi berasal dari Hanjiang H Wang (1999). Hanjiang H Wang mencatat reformasi birokrai sebelum ahun 1983. Pada 1950 dibentuk General Bureau of Petroleum Administration dalam deapartemen Ministry of Fuel Industry untuk mengawasi produksi dan konstruksi industri minyak di China. Sepuluh tahun berikutnya dibentuk Ministry of Petroleum Industry (MOPI).
Kemudian pada 22 Juni 1970, pemerintah China melakukan reorganisasi pada sektor energi meliputi minyak, batubara, dan kimia yang dikelola bersama dalam badan Ministry of Fuel and Chemistry Industries. Lima tahun berikutnya, pada Januari 1975 Ministry of Fuel and Chemistry Industries diganti oleh Ministry of Petroleum and Chemistry Industries. Pada 1978, MOPI didirikan kembali sebagai ganti Ministry of Petroleum and Chemical Industries. Baru pada tahun 1982 dan 1983, pemerintah China menggabung seluruh industri sektor energinya dalam beberapa perusahaan nasional energi antara alin China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan China National Petrochemical Corporation (Sinopec). Sedangkan pada tahun 1988, China National Petroleum Corporation (CNPC) didirikan untuk menggantikan MOPI.
Pergantian departemen sebagaimana diuraikan di atas seolah membenarkan asumsi pengelolaan energi sebelum tahun 1983, yang cenderung berantakan.
2. Badan Pembuat Kebijakan Energi China (1993-2008)
Sedangkan pendapat kedua berasal Zha Daojiong (2005, 2006) yang mengungkapkan sejak tahun 1993 tidak ada otoritas birokrasi yang bertanggung jawab dalam mengelola sektor energi China. Baru pada tahun 2005, dibentuk State Council yang fungsinya dilengkapi oleh National Energy Leading Group sebagai pusat organisasi perumusan kebijakan energi. Akan tetapi struktur ini kemudian dirubah pada tahun 2008 yang mana National Energy Leading Group, dihapuskan sehingga State Council kini membawahi langsung organisasi-organisasi sektor energi. State Council membawahi 27 kementrian energi dan NDRC (National Development and Reforms Commission) yang bertanggung jawab langsung terhadap pengelolaan CNPC.
Meskipun terdapat berbagai pendapat, namun keduanya memuat konsekuensi logis yang sama. Seringkali kebijakan yang dihasilkan tidak berjalan sepenuhnya karena badan pembuat kebijakan energi terus berganti dan cenderung berbenturan dengan departemen lain. Tidak adanya kebijakan yang terimplementasi secara penuh mengkibatkan jurang antara pasokan dan permintaan energi semakin besar. Misalnya, data dari British Petroleum menegaskan bahwa defisit terjadi ketika volum konsumsi (aspek permintaan) lebih besar daripada volum produksi minyak (aspek suplai). Adapun, besar perbedaan permintaan dan suplai minyak mencapai 166 mt per tahunnya.
Dalam rangka mengurangi kesenjangan tersebut, saat ini China secara khusus sebenarnya telah memulai untuk mencari cadangan energi sebagai langkah kebijakan energi yang strategis. Sasaran cadangan strategis yang terdekat dan melimpah ialah sumber minyak di wilayah Kaspia. Untuk mendapatkan minyak dari sumber terdekat, China telah mengemangkan hubungan dengan beberapa negara dalam rangka diversifikasi minyak impor, salah satunya Kazakhstan. Sebagai bagian dari kebijakan keamanan suplai energi, perusahaan-perusahaan nasoinal minyak China telah berincestasi dalam eksplorasi dan mengamankan ekuitas perusahaan minyak asing.
II.3. Kebijakan Energi China
Dorongan China untuk terlibat dalam pasar energi global tidak terlepas dari permintaan minyak domestik yang melonjak akibat pertumbuhan industri. Faktor-faktor eksternal yang dikontruksi oleh situasi baik dalam pasar minyak global maupun politik internasional turut mendorong perusahaan-perusahaan minyak untuk membeli saham di luar negeri. Investasi inilah yang menjadi faktor penting dalam kebijakan luar negeri pemerintah China. Kebutuhan energi China mendorong China untuk memainkan peran lebih mennojol dalam pasar energi global belakangan ini.
Langkah kebijakan strategis yang paling awal ialah kebijakan berorientasi “twin market” yang dilaksanakan pada awal 1990. Kebijakan “twin market” menargetkan ketahanan suplai energi untuk domestik dan juga internasional. Akan tetapi, masih banyak cadangan tersebut yang masih belum dieksploitasi karena hambatan-hambatan internal. Misalnya eksplorasi cadangan minyak di Xinjiang masih terhambat oleh ketidakstabilan politik antara pemerintah pusat dengan etnis Uyghur.
Pada awal tahun 1997, pemerintah China mengganti kebijakan “twin market” dengan kebijakan “going abroad”. Kebijakan ini disinyalir menjadi pintu masuk berbagai investasi sebagai insentif untuk perusahaan China beroperasi global. Kebijakan energi China terkait minyak telah menunjukkan transparansi implementasi yang cukup jelas. Sesuai dengan tiga karakter utama kebijakan energi China, diversifikasi energi menjadi salah satu andalan implementasi kebijakan yang diusung oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh perusahaan minyak nasionalnya.
Diversifikasi energi menjadi strategi utama banyak negara untuk mengamankan energinya. China sendiri telah merintis diversifikasi energi baru-baru ini, yakni sejak penemuan dan investasi ladang minyak di benua Amerika, utamanya di Sudan. Strategi diversifikasi ini tadinya bukan hal utama dalam sepanjang perjalanan keamanan dan ketahanan energi China. Namun momentum besar diversifikasi energi China dilakukan melalui investasi ladang minyak di Peru pada 1993. Investasi ke luar ini terus berkembang di banyak negara di berbagai kawasan antara lain Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah.
Di Asia Tengah, cadangan minyak terbesar terdapat di wilayah Kaspia. Di wilayah tersebut, China menjalin kemitraan strategis dalam bidang energi dengan Kazakhstan. Hal ini disebabkan Kazakhstan merupakan pemain penting dalam sektor energi di wilayah Kaspia. Kazakhstan juga menjadi kunci utama akses cadangan minyak di Kaspia. Kemitraan strategis energi China di Kazakhstan telah dirintis sejak tahun 1997 melalui Perusahaan Nasional Negara, CNPC.
Kesimpulannya, keamanan energi China tidak dapat dipahami tanpa melihat dinamika kebijakan energi China yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Situasi internasional, keterbatasan hubungan internasional China dengan dengan negara-negara lain, pola konsumsi yang menciptakan kesenjangan antara permintaan energi dan suplai semakin, dan persepsi ancaman ketahanan energi menjadi variabel berpengaruh terhadap proses kebijakan energi China. Kebijakan energi China telah mengalami beberapakali reformasi dan perubahan signifikan. Semula mencerminkan situasi Perang Dingin dan batasan hubungan internasional, maka kebijakan sekarang lebih bersifat “self-sufficiency” yang merefleksikan ketidakpercayaan pada sistem mekanisme pasar. Faktanya, China saat ini sedang bergerak dari ekonomi terencana berdasarkan ketahanan energi menuju ekonomi berbasis pasar yang semakin bergantung pada sistem internasional .Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah ialah pemerintah tetap memiliki kontrol penuh
Adanya kontrol pemerintah yang masih kuat mengakibatkan kebijakan energi tidak hanya dipandang kebijakan mikroekonomi yang mengedepankan efisiensi pasar, tetapi juga sebagai aset politik. Sebagai aset politik, kebijakan energi inilah yang digunakan untuk untuk memahami keterkaitan kerjasama energi China dan Kazakhstan.
BAB III
KEBIJAKAN ENERGI CHINA-KAZAKHSTAN MELALUI CNPC
Bab ini mengkaji kebijakan energi China melalui CNPC di Kazakhstan pada 1997-2011 terkait keamanan suplai energi. Adapun bab ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah kebijakan strategis China terkait keamanan energi melalui CNPC di Kazakhstan. Pembahasan ini diawali dengan latarbelakang kerjasama energi China dan situasi yang mempengaruhi masuknya investasi. Bagian kedua menjelaskan peran pemerintah sebagai stakeholder CNPC.
III.1. Kerjasama Energi China-Kazakhstan
Motivasi China merintis kerjasama energi dengan Kazakhstan pada tahun 1997 berkaitan erat peristiwa-peristiwa penting Kazakhstan. Peristiwa penting tersebut antara lain runtuhnya Uni Soviet pada 1991, kebijakan privatisasi pemerintah Kazakhstan untuk pemulihan sektor perekomian pasca merdeka, dan krisis finansial 2008. Peristiwa ini menjadi latar belakang utama kerjasama energi China-Kazakhstan sebagai entry point China di sektor minyak Kazakhstan.
A. Latar Belakang
Kazakhstan merupakan pemain kunci sektor energi di Asia Tengah. Tingkat pertumbuhan ekonominya yang mencapai 9.3 % di tahun 2004 dam 7 % di tahun 2010 membuat Kazakhstan tumbuh sebagai negara paling modern di wilayah Asia Tengah. Pertumbuhan ekonomi ini utamanya disumbang dari industri pertambangan mineral, minyak dan gas. Dari kesemua sektor energi dan pertambangan mineral, sektor minyak mendapat perhatian besar investasi asing. Dari US$ 13 milyar investasi sejak tahun 1992-2001, hampir 50% berasal dari investasi minyak dan gas. Investasi tersebut sebagian besar terkonsentrasi di enam perusahaan minyak yang beroperasi di kilang Tengiz, Uzen, Mangistau, Kenkiyak, Zhanazol, dan Kumkol. Lokasi sumber-sumber minyak tersebut diilustrasikan pada Gambar III.1.
Saat ini terdapat enam perusahaan minyak di Kazakhstan: Aktobemunaigaz (AMG), Kazakhoil-Emba (terdiri dari Embamunaigaz-EMG dan sebagian kecil Tengizneftegaz), Mangistaumunaigaz, Tengizchevroil (sebagian besar Tengizneftegaz), Uzenmunaigaz, dan Hurricane Kumkol Munai. Pada 1992, 2001, dan 2004, kesemuanya menyumbang masing-masing hampir 75%, 80% di tahun 2001, dan 74 % di tahun 2002 total produksi di Kazakhstan.
Sebagaimana diuraikan di atas, sektor minyak menyumbang 50% investasi dalam perekonomian Kazakhstan. Hal ini menyebabkan perekonomian Kazakhstan terus tumbuh dengan ketergantungan pada eksplorasi sumber alam tersebut. Akibatnya ketika harga minyak minyak turun drastis pada 2008, perekonomian Kazakhstan ditimpa krisis.
Gambar III.1 Konsentrasi Kilang Minyak dan Infrastruktur Industri Minyak di Kazakshtan (2008)
Sumber: Anne E Peck (2008), Privatization and Foreign Investment in the Principal Oil Enterprises in The Refineries, h. 145
Eksplorasi dan produksi minyak di wilayah Kazakhstan sendiri telah dimulai sejak Kazakhstan menjadi bagian dari Uni Soviet. Sebelum tahun 1991, kebutuhan minyak Kazakhstan disuplai dari Russia melalui pipa minyak Siberia. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 yang mengarah pada berdirinya Kazakhstan pada 16 Desember 1991, menyebabkan krisis di sektor energi, utamanya minyak. Seperti produksi sektor mineral, jumlah produksi minyak menurun setelah merdeka. Bahkan penurunan agregat minyak total mencapai 20 persen antara 1992-1994.
Untuk mengatasi penurunan lebih drastis, pemerintah baru Kazakhstan melaksanakan reformasi ekonomi. Reformasi ekonomi ini bermaksud untuk membangun ekonomi pasar bebas untuk menyesuaikan dengan iklim politik internasional. Salah satu kebijakan reformasi ekonomi yang berdampak pada sektor minyak Kazakhstan ialah kebijakan privatisasi perusahaan negara dan deregulasi. Sedikitnya terdapat enam perusahaan minyak Kazakhstan yang diprivatisasi yaitu Aktobemunaigaz (AMG), Kazakhil-Emba, Mangistaumunaigaz (MMG), Uzenmunaigaz (UMG), Tengizchevroil, dan Hurricane Kumkol Munai.
Reformasi ekonomi membuka peluang kerjasama energi dengan negara lain. Tengizchevroil (TCO) membuka kerjasama melalui joint venture dengan Chevron (sekarang ChevronTexaco). Kerjasama dengan Chevron ini sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1990 oleh Russia, namun negosiasi kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan baru Kazakhstan. Meskipun kebijakan privatisasi perusahaan di sektor energi telah dimulai, peningkatan produksi minyak belum berdampak signifikan. Sejak tahun 1992-1996 perusahaan nasional kilang minyak Kazakhstan masih mengalami masa sulit. Masa-masa sulit itu tidak terlepas dari berbagai persoalan internal yang mana produksi minyak dan penjulanan sahamnya selalu dikaitkan dengan korupsi di tingkat elite pemerintahan. Terkait dengan pengelolaan energi, selalu terdapat perbedaan antara golongan pemerintahan yang menginginkan privatisasi dengan golongan lain yang menginginkan kontrol pemerintah tetap kuat. Golongan pertama diwakili oleh kubu Perdana Menteri Akezhan Kazhegeldin, sedangkan golongan kedua diwakili perdana menteri oleh Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazerbayev.
Kesulitan serupa dialami oleh AktobeMunaiGas. AktobeMunaiGas mengumumkan penjualan sahamnya pada tahun 1996. Baru pada tahun bulan Mei 1997 terdapat satu perusahaan asing yang berhasil memenangkan tender yakni China National Petroleum Company (CNPC). Negosiasi berlanjut dan baru diumumkan pada bulan September 1997 bersamaan dengan kemenangan tender oleh CNPC atas Uzenmunaigaz (UMG). CNPC membayar sebesar US$ 325 juta dan membuat komitmen investasi sebesar US$ 4 milyar selama 20 tahun, dimana US$ 585 juta diperuntukkan untuk investasi pada jangka waktu 1998-2005. CNPC juga membayar hutang perusahaan sebesar US$ 71 juta. CNPC juga diwajibkan untuk membayar hutang guna mempertahankan tingkat lapangan kerja yang ada untuk satu tahun mendatang. Di sisi lain Kazakhstan diperkirakan menerima US$ 3.16 milyar berupa pajak penghasilan, cukai, royalti, dan pajak lokal dari penjualan saham perusahaannya.
Investasi CNPC di Aktobemunaigaz (AMG) dan Uzenmunaigas (UMG) menandai kerjasama energi China di Kazakhstan di 1997. Kedatangan investasi China di sektor energi Kazakhstan menjadi angin segar di tengah kebutuhan Kazakhstan sebagai negara yang baru. Sebagaimana negara-negara yang baru merdeka dari Uni Soviet, Kazakhstan dibebani oleh ketidakstabilan politik dan perekonomian yang masih lemah. Dua hal ini yang menjadi kendala Kazakhstan untuk tumbuh modern pasca 1991. Berkat sumber daya energi, utamanya minyak yang melimpah, kini Kazakhstan lebih serius menjadi pemain kunci dalam sektor energi di Asia Tengah. Kazakhstan kini lebih memfokuskan untuk mengeksplorasi cadangan minyak terbesar di Laut Kaspia.
B. Investasi China di Kazakhstan
Pasca 1997, investasi China dalam CNPC di Kazakhstan meningkat drastis sejak akuisisi Aktobemunaigaz (AMG ) dan Uzenmunaigaz (UMG). Faktor pendorongnya yakni bantuan China yang diberikan kepada pemerintah Kazakhstan. Bantuan berupa insentif keuangan dan pinjaman tersebut berperan untuk membuka akses investasi masuk.
Arus investasi ini sebagian besar merupakan FDI (Foreign Direct Investment). Berdasarkan catatan Bank Nasional Kazakhstan, sejak tahun 2000 FDI dari China tidak lebih dari US$ 500 juta. Tetapi di tahun 2008, nilai meningkat hingga US$700 juta. Bahkan terhitung sejak 2001-2008, jumlah nilai FDI China di Kazakhstan bahkan melampaui US$ 2.5 milyar.
Quan Li dan Adam Resnick (2003) dan Jensen (2008) mempelajari bahwa bantuan asing dapat digunakan untuk membeli dukungan pemangku kebijakan Kazakshtan melalui lembaga demokrasi dan aturan hukumnya. Dukungan yang dimaksud oleh analisis tersebut memungkinkan investasi China menang melalui win-win status quo kedua pihak. Kazakhstan menerima sumber keuangan untuk menyediakan barang publik bagi penduduk Kazakshtan, maupun barang privat bagi anggota, pendukung dan kerabat pemerintah. Sedangkan China mengamankan akses sumber daya alam. Misalnya, China telah mulai membeli ladang minyak Kazakhstan di akhir 1990-an. Selama tiga dan empat tahun terakhir, China kemudian memberi pinjaman yang sangat dibutuhkan Kazakhstan sebagai ganti saham produsen minyak lokal dan janji pasokan minyak di masa mendatang.
Terkait dengan CNPC, China telah sangat aktif selama beberapa bulan terakhir dalam memanfaatkan bantuan luar negeri untuk mengamankan merger dan akuisisi perusahaan milik pemerintah China di Kazakhstan. Pemerintah China mengamankan persetujuan dan perlindungan investasi ini dengan memberi pemerintah Kazakhstan saham langsung di dalamnya. Sebagai contoh, pada tahun 2005-2006 setelah pembelian saham 100% dari PetroKazakhstan. Dalam pembeliannya tersebut, CNPC mentransfer 33% sahamnya kepada Kazmunaigas (KMG), perusahaan minyak nasional dan gas Kazakhstan terbesar.
CNPC juga memberi bagi hasil 50-50 % dengan Kazmunaigas (KMG) dalam pembangunan pipa minyak Kazakhstan-China—yang disebut oleh Wakil Presiden Zhou Jinping sebagai “Jalur Sutra yang baru”. Hal ini memungkinkan China untuk mengamankan sumber energi yang cukup bagi China sekaligus memberi keuntungan bagi perusahaan nasional minyaknya.
Bertepatan dengan krisis finansial keuangan dan penurunan harga minyak dunia membuat perekonomian Kazakhstan menjadi semakin sulit. Akhirnya, pada bulan Februari 2009, Bank Pembangunan China (China Develoopment Bank) menandatangi kesepakatan dengan pemerintah Kazakhstan sebagai ganti pembelian 50 % saham Mangistaumunaigaz (MMG). Kesepakatan ini juga memastikan pembiayaan pembangunan pipa sepanjang 3000 km yang menyalurkan minyak dari Kazakhstan ke China. Bersamaan dengan itu, China mengumumkan pinjaman sebesar US$ 5 miliar lainnya untuk Bank Pembangunan Kazakhstan. Secara keseluruhan terdapat pinjaman sebesar 10 miliar dolar AS dari China ke Kazakhstan dalam rangka mengamankan minyak bernilai US$ 5 miliar dan investasi gas. Ini adalah contoh sederhana dan langsung dari penggunaan pinjaman luar negari China untuk membuka peluang investasi China di Kazakhstan sekaligus menjamin keamanan dan perlindungan investasi jangka panjang.
III.2. Dinamika peran Pemerintah China dalam CNPC
A. Latar Belakang CNPC
China National Petroleum Corporation atau CNPC merupakan perusahaan pengelola minyak terbesar di Chna. CNPC didirikan pada 17 September 1988 untuk menggantikan Ministry of Petroleum Industry (MOPI) yang berdiri sejak 1949. CNPC bertanggung jawab terhadap eksplorasi dan pengembangan cadangan gas alam dan minyak di darat. CNPC memiliki 20 ladang minyak dan cadangan gas alam dan minyak. Aset CNPC terpenting dibendel dalam cabangnya PetroChina Limited Co., yang sahamnya terdaftar secara internasional di bursa efek Hong Kong pada April 2004 dan bursa New York pada 2000.
CNPC tumbuh semakin signifikan dalam pasar energi global. Pada 1995, CNPC menambahkan Muglad Basin di Venezuela. Pada Oktober 1997, CNPC memperoleh 60% saham di Aktyubinsk Oil Company atau Aktobemunaigaz, memungkinkan akses ladang minyak di Kazakhstan Barat. Produksi minyak CNPC menyumbang 89 % produksi minyak China pada 1996. Pada 1998, CNPC reformasi struktur perusahaannya. Sebagai bagian dari restrukturisasi tersebut, pada 1999, CNPC mendirikan cabang, China National Petroleum Co., Ltd. (China Petroleum atau PetroChina). CNPC sendiri menyuntikkan sebagain besar asetnya di saham PetroChina. Sehingga 90% saham PetroChina sendiri dikuasai oleh Pemerintah China. Peran CNPC yang semakin signifikan tidak terlepas dari dinamika peran pemerintah yang menentukan arah kebijakan CNPC secara internal.
B. Dinamika Peran Pemerintah sebagai Stakeholder dalam CNPC
Stakeholder memiliki dua definisi dalam pengertian luas dan pengertian sempit. Pengertian luas, stakeholder menurut Freeman ialah individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pengertian sempit oleh Clarkson, stakeholder biasanya dibebani oleh resiko akibat investasi yang ditanam maupun kegiatan perusahaan. Di samping itu, untuk melengkapi dua pengertian di atas, pengelompokan stakeholder dilakukan oleh Ronald K Mitchell yang tertuang dalam teori stakeholder. Dalam teorinya, Mitchell menyatakan tiga atribut yang dimiliki oleh stakeholder untuk mengindentifikasi peran stakeholder, yaitu “power”, legitimasi, dan urgensi.
Dari tiga atribut tersebut, diturunkan kelompok stakeholder yang termasuk dalam stakeholder tidak aktif (dormant stakeholder), dominan (dominant stakeholder), bebas (discretionary stakeholder), definitif (definitive stakeholder), berbahaya (dangerous stakeholder), mandiri (dependent stakeholder), dan menuntut (demanding stakeholder).
Gambar III.2 Model Kelompok Kepentingan menurut Ronald K Mitchell
Sumber: Ronald K Mitchell dan Donna J Wood (2002), Defining The Principle of Who and What Really Counts, dalam “Managing the extended enterprise”, Stanford, Stanford Press University
Bagan 1.1 menyatakan bahwa yang disebut stakeholder dormant ialah stakeholder yang memiliki satu atribut kepentingan yakni power. Stakeholder discretionary, memiliki atribut legitimasi saja. Stakeholder demanding, memiliki satu atribut yakni urgensi. Stakeholder dominant, memiliki dua atribut kepentingan yakni power dan legitimasi. Stakeholder dependent memiliki atribut legitimasi dan urgensi. Dikatakan sebagai stakeholder definitive, apabila memiliki ketiga atribut, yakni power, legitimasi, dan urgensi.
1. Pemerintah Sebagai Stakeholder Definitif dalam CNPC (1988-1998)
Disebabkan lingkungan politis dan ekonomi China, CNPC pada tahun 1988, tidak hanya merupakan suatu perusahaan tetapi juga organisasi resmi pemerintah. Didirikan dibawah MOPI, CNPC mengambil alih tanggung jawab sosial yang tadinya dilaksanakan MOPI selama 1949-1988. Semua manajer senior CNPC ditunjuk oleh pemerintah. Hal tersebut membuat CNPC menjadi perusahaan yang tidak benar-benar independen dari pemerintah.
Dari perspektif ekonomi, CNPC pada masa tersebut ditujukan untuk memenuhi permintaan energi nasional dibawah sistem ekonomi komando. Setiap tahunnya, pemerintah pusat menyusun perencanaan konsumsi anggaran minyak dan gas yang memandu seluruh operasional CNPC. CNPC berperan sebagai alat pemerintah dengan sedikit kebebasan yang dimiliki. Operasional CNPC bergerak untuk mengikuti perencanaan yang telah ditetapkan yakni perencanaan konsumsi anggaran minyak dan gas yang disusun oleh pemerintah pusat berdasarkan “self-reliance policy”.
Tingkah laku CNPC pada masa tersebut hanya memperhatikan satu stakeholder saja yakni pemerintah. Pemerintah pusat China memiliki tiga atribut sesuai dengan teori stakeholder milik Ronald K Mitchell. Pertama, pemerintah meiliki kedaulatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan CNPC. Seluruh senior manajer ditunjuk oleh pemerintah pusat dan kesemuanya dipandang sebagai pegawai daripada pebisnis. Presiden CNPC diperlakukan setingkat menteri. Di hadapan pegawai-pegawai, presiden merupakan menteri dari kementrian minyak sejak 1988.
Atribut stakeholder yang lain juga dimiliki oleh pemerintah. Legitimasi merupakan atribut terkuat pemerintah. Pada saat itu, pemerintah mengaku bawah pembentukan CNPC ditujukan untuk menciptakan masyarakat komunis yang mana setiap orang diperlakukan setara dan dibayar oleh kebutuhan yang yang pada akhirnya ditujukan pembangunan masyarakat. Pada awal 1980, persepsi yang demikian diterima oleh masyarakat luas. Ditambah dengan kegiatan CNPC yang sebagian besar mengambil alih tanggung jawab sosial pemerintah kepada masyarakat, memungkinkan CNPC dipandang sebagai organisasi pemerintah dairpada perusahaan murni yang bertujuan untuk memaksimalkan saham yang dimiliki oleh stakeholder lain.
Kesimpulan dari uraian tersebut ialah pemerintah sebagai stakeholder paling menentukan bagi CNPC. Pada kenyataannya, pemerintah sebagai stakeholder penting mempengaruhi CNPC. Selama periode tersebut, 1988-1998, seluruh keputusan diambil berdasarkan himbauan pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan sebelum tahun 1998, CNPC tidak cukup kompetitif bersaing dengan perusahaan minyak asing. Di mata asing, CNPC bukan merupakan perusahaan, tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan pemerintah.
Pemerintah sendiri memiliki banyak badan pengelola kebijakan keamanan energi pada bagian suplai. Mereka adalah State Development Planning Commission (SDPC)—pada Maret 2003 berganti nama menjadi National Development and Reform Commission (NDRC)—, State Economic and Trade Commission (SETC), Ministry of Foreign Affairs (MF) dan militer. Stakeholder yang kurang berpengaruh ialah institusi penelitian kebijakan luar negeri dan ekonomi, akademisi, dan media .
2. Stakeholder dalam CNPC (1998-2003)
China diterima menjadi anggota WTO (World Trade Organization) pada 2001 menjadi momentum awal perubahan operasional CNPC. Hal ini membuka perekonomian China dan sektor energi terhadap kemungkinan berbagai kerjasama dan negosiasi multilateral yang lebih luas daripada tahun-tahun sebelumnya. CNPC menghadapi lebih banyak tantangan dan kompetisi dengan perusahaan minyak asing seperti British Petroleum (BP), Royal Dutch Shell, dan Exxonmobil. Perusahaan-perusahaan minyak asing tersebut dengan kelebihan dalam kemampuan manajerial dan kemajuan teknologi.
CNPC kemudian didukung oleh pemerintah pusat untuk mulai menerapkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan nilai ekonomis perusahaan. Kebijakan ini sering dikenal dengan nama kebijakan reformasi dan restrukturisasi CNPC. Implementasi reformasi dan restrukturisasi tersebut ialah “downsizing”. Dalam proses “downsizing”, tiga ratus ribu karyawan CNPC, hampir seperempat dari total keseluruhan.
Reformasi dan restrukturisasi selanjutnya, CNPC mendirikan membentuk cabang baru, PetroChina. Prinsip pendiriannya ialah untuk mengadopsi sistem perdagangan dan pertukaran saham internasional Hal ini bertujuan membuat PetroChina lebih populer secara internasional daripada perusahaan induknya, CNPC. Dengan demikian, kapital CNPC dapat bersaing dengan perusahaan minyak asing secara global. Kedua kebijakan tersebut berasal dari himbauan pemerintah pusat.
Dampak fenomenal kebijakan “downsizing” merupakan bukti terdapat stakeholder lain yang sifatnya berbahaya, atau dangerous stakeholder, yakni karyawan CNPC. Karyawan yang dipecat kesulitan untuk mempertahankan kehidupan mereka sehingga memicu kerusuhan sosial yang meluas dengan cepat. Akan tetapi, kerusuhan ini selesai atas bantuan pemerintah pusat yang menawarkan paket solusi pada mereka.
Kesimpulan dari uraian di atas, meskipun kerjasama China dengan aktor eksternal lebih luas sejak dierimanya China sebagai anggota WTO, peran pemerintah pusat dalam pengelolaan CNPC tetap kuat. Sebagaimana pemerintah pusat berhasil menekan kerusuhan akibat kebijakan “downsizing” CNPC.
3. Stakeholder dalam CNPC (2003-2005)
Berkaca dari keberhasilan yang tidak terduga dalam pasar saham Hong Kong dan New York, CNPC berniat untuk mengejar keuntungan ekonomis perusahaan lebih besar. Salah satunya ialah meningkatkan kepercayaan investor. Akan tetapi ledakan sumur gas di Kai wilayah kota Cong Qing pada 23 Desember 2003 menjadi bukti bahwa CNPC mengabaikan tanggung jawab sosialnya dan terlalu terfokus pada maksimalisasi nilai ekonomis perusahaan. Bertujuan untuk meningkatkan keuntungan kompetitif, CNPC menggalakkan kampanye untuk mengurangi biaya produksi yang dampaknya kesalamatan kerja dan tanggung jawab sosial jadi terabaikan.
Poin penting dari uraian tersebut menyebutkan bahwa CNPC mulai berorientasi untuk memaksimalkan nilai ekonomis perusahaan. Walaupun demikian, pemerintah tetap menjadi stakeholder krusial dan kuat bagi CNPC. Dalam kerangka kepemilikan saham, sebesar 90% saham CNPC dan PetroChina dimiliki oleh pemerintah. Dalam kerangka manajerial, pejabat CNPC dipilih dan ditunjuk langsung oleh pemerintah. Dalam kerangka “power”, legitimasi, dan urgensi, pemerintah memegang pengaruh determinan dan kontrol terhadap aspek-aspek pengambilan keputusan tertinggi dalam CNPC yakni penerbitan pesertujuan investasi CNPC, menetapkan harga minyak domestik, dan perpajakan.
III.4. Kebijakan Energi China dalam CNPC di Kazakhstan
A. Posisi China di Kazakhstan
Kerjasama energi antara China dan Kazakhstan dapat dipahami dalam kerangka “relative gain”. Dalam hubungan internasional, “relative gain” menggambarkan tindakan negara hanya dalam hal kekuasaan, tanpa memperhatikan faktor lain, seperti ekonomi. Akan tetapi, dengan menggabungkan premis Realisme Struktural dan Teori Power Cycle-Doran, diperoleh hubungan negara dengan memperhatikan faktor lain seperti ekonomi. Gabungan kedua premis inilah yang digunakan untuk menunjukkan posisi China bagi Kazakhstan apakah lemah, sedang, atau kuat.
Kerjasama energi dengan Kazakhstan diperlukan untuk mencapai ketahanan energi suplai China. Idealnya kerjasama tersebut memberi timbal balik keuntungan ekonomi yang adil bagi Kazakhstan. Pada kenyataannya, CNPC yang memiliki hampir 50%-100% saham minyak di Kazakhstan yakni Aktobemunaigaz, North Buzachi oil field dan Petrokazakhstan. Dominasi yang cukup signifikan tersebut memungkinkan terjadinya asimetri informasi. CNPC menyediakan informasi yang lebih lengkap pada pembuat kebijakan energi China, pada yang waktu sama menciptakan rendahnya kualitas informasi di Kazakhstan. Oleh karena itu, hubungan antara China dan Kazakhstan bersifat “zero-sum game”.
Hubungan “zero-sum game” tersebut juga terdapat pada kecenderungan pemerintah Kazakhstan untuk mengandalkan China sebagai partner energi yang strategis. Defisit anggaran yang meningkat, meningkatnya kebutuhan untuk memperbarui infrastruktur minyak dan gas, dan manajemen keuangan yang tidak efisien, memaksa pemerintah Kazakhstan untuk mengandalkan modal China.
Pada April 2009, kunjungan resmi Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev, dijamin US$ 10 miliar dari Beijing untuk perusahaan minyak yang dikendalikan KazMunaiGaz—yang pemerintah Kazakhstan menjadi pemegang saham terkuat—dan Bank Pembangunan Kazakhstan. Selain itu, Kazakhstan meminjam US$ 3 miliar untuk promosi bisnis dari Bank Negara China. Hal ini disebabkan investasi China hadir tanpa harga politik yang mana China memeluk prinsip tradisional “non-interference”. Melalui sudut pandang Realisme Struktural, maka kecenderungan pemerintah Kazakhstan untuk menyetujui konsesi minyak China dengan mudah dapat dipahami melalui prinsip “zero-sum game” dan “relative gain” yang menegaskan posisi China lebih tinggi atau cukup kuat daripada Kazakhstan.
B. Posisi China dalam CNPC
Tata kelola CNPC dilakukan di bawah satu lembaga yakni National Development and Reform Commission (NDRC). NDRC berada di bawah kelompok tingkat menteri yang terdiri dari 13 anggota yang dipimpin oleh Perdana Menteri Wen Jiabao, terdiri dari Wakil Perdana Menteri Huang Ju dan Zeng Peiyan, sebagai deputi direktur kelompok, menteri dari NDRC, Commission of Science and Technology and Industry for National Defence, Ministry of Commerce, Finance and Foreign Affairs. Kelompok tingkat menteri ini dibentuk pada bulan Maret 2005.
Pendahulu NDRC ialah State Planning Commission (SPC), yang didirikan pada 1952. SPC inilah kemudian diubah menjadi State Development Planning Commission pada 1998. Setelah bergabung dengan State Council Office for Restructuring te Economic System (SCORES) dan menjadi bagian State Economic and Trade Commission (SETC) pada 2003. SDPC ini kemudian direstrukturisasi menjadi NDRC. NDRC merupakan badan manajemen ekonomi makro yang berada di bawah State Council. NDRC berperan penting dalam menyusun perencanaan energi lima tahun, menetapkan harga energi, dan memeriksa proyek yang bernilai lebih dari US $30 juta, yang mencakup hampir seluruh proyek-proyek energi. Strategi keamanan minyak yang ditetapkan pada 2002 oleh SDPC dan SETC menyerukan sejumlah tindakan yang bertujuan meningkatkan kontrol China atas suplai energi, termasuk investasi di ladang minyak luar negeri, pemgabungan SPR (Strategic Petroleum Reserve System) “shutting in” ladang minyak di Barat China untuk penggunaan darurat, dan pembangunan Angkatan Laut dan Udara China untuk melindungi keamanan suplai energi.
Dengan demikian, sektor energi masih dikendalikan secara terpusat oleh pemerintah melalui NDRC. Meskipun distribusi manajerialnya diserahkan sepenuhnya pada perusahaan CNPC selaku SOEs (State Owned Enterprises), peran pemeriintah pusat masih sangat kuat dalam hal membuka peluang dalam mengamankan merger dan akuisisi di sektor minyak Kazakhstan.
III.5. Kebijakan Energi di Kazakhstan Melalui CNPC
A. Dinamika Investasi dan Akuisisi CNPC di Kazakhstan (1997-2009)
Kebijakan energi China di Kazakhstan melalui CNPC dapat diketahui dengan memahami perkembangan CNPC sejak tahun 1997-2007. Data di bawah ini diperoleh dari situs resmi CNPC di www.cnpc.com.cn. CNPC menanamkan investasinya pertama kali pada 1997 ketika Aktobemunaigaz (AMG). Saham yang dibeli CNPC dalam AMG di tahun 1997 sebesar 60.3% meningkat menjadi 75 % di tahun 2003. AMG diprivatisasi oleh pemerintah Kazakhstan sebagai bagian kebijakan mikro untuk memulihkan kembali sektor industri. Saat ini saham AMG yang dimiliki CNPC sebesar 75 %. Pada waktu yang bersamaan, satu bulan kemudian CNPC memenangkan tender di Uzenmunaigaz (UMG). Pada 2003 CNPC dan Kazmunaigaz (KMG), perusahaan minyak nasional Kazakhstan, dan Kazakh Ministry of Finance’s Committee on State Assets and Privatization menandatangani kesepakatan mengai perluasan investasi CNPC di sektor minyak dan gas alam. Pada tahun yang sama yakni bulan Oktober 2003, CNPC membeli 65 % saham Chevron di kilang minyak dan gas North Buzachi, di Barat Laut Kazakhstan. Pembelian ini juga diikuti oleh pembelian saham Saudi Nimr Petroleum sebesar 35% pada dua bulan berikutnya. Selanjutnya pada 19 Mei 2004, CNPC dan KMG menandatangani kesepkatan yang tertuang dalam “Agreement on Basic Principles for the Construction of a Crude Oil Pipeline” dari Atasu (Kazakhstan) ke Alashankhou (China). Posisi CNPC menjadi semakin krusial dengan kesuksesan pembelian 100% PetroKazakhstan senilai US$ 4.18 milyar pada Agustus 2005. PetroKazakhstan ialah perusahaan minyak Kanada yang berbasis di Calgary. PetroKazakhstan memfokuskan produksi minyak di Calgary yang dikenal sebagai cadangan minyak terbesar kedua setelah TengizChevroil milik perusahaan Amerika Serikat ChevonTexaco. Akuisisi 100 % saham PetroKazakhstan oleh CNPC menyebabkan pada tahun 2006 seluruh unit produksi dan eksplorasinya dilakukan oleh cabang CNPC, yakni PetroChina. Secara ringkas dinamika investasi CNPC digambarkan dalam tabel III.1 di bawah ini.
Tabel III.1 “Dinamika Investasi dan Akuisisi CNPC di Sektor Minyak Kazakhstan 1997-2005”
Sumber: http://www.cnpc.com.cn/eng/company/presentation/history/MajorEvents/2007.htm
Sedangkan perkembangan investasi dan akuisisi CNPC di sektor minyak Kazakhstan sejak 2006-2009 diilustrasikan tabel III.2 di bawah ini. Pada 5 Juli 2006, CNPC dan Kazmunaigaz (KMG) kembali menandatangi kesepakatan baru terkait ekuitas yang dimiliki masing-masing. Kesepakatan baru tersebut memungkin KMG memperoleh 33% saham di PetroKazakhstan (PKZ). Pada 28 Agustus 2007, CNPC dan Kazmunaigaz (KMG) sepakat untuk melanjutkan konstruksi dan operasional jalur pipa minyak Kazakhstan-China. Isi kesepakatan tersebut baru terealisasi pada 11 Desember 2007. Pada tahun 2009, sebagai bagian dari perjanjian pinjaman senilai US$ 5 milyar kepada pemerintah Kazakhstan, CNPC sukses membeli Joint Stock Company (JSC) dan Mangistaumunaigaz (MMG) senilai US$ 3.3 milyar.
Tabel III.2 “Dinamika Investasi dan Akuisisi CNPC di Sektor Minyak Kazakhstan: 2006-2009”
Sumber http://www.cnpc.com.cn/eng/company/presentation/history/MajorEvents/2007.htm, dan http://www.chinadaily.com.cn/business/2009-04/28/content_7722725.htm
B. Kebijakan Energi China 1997-2010
1. Going Abroad Policy (1997)
Berangkat dari ketidakpercayaan pemerintah China dalam sistem pasar energi global, China memutuskan untuk lebih independen. Profil energi China sebelum 1997 menunjukkan kesenjangan antara permintaan yang meningkat dan suplai yang stagnan. Berbagai analisis meyakini hal inilah yang menjadi kunci utama China kemudian mengejar kebijakan untuk berinvestasi di perusahaan asing.
Pemimpin China menyadari pada akhirnya kepentingan dan siginifikasi bisnis internasional terhadap kelanjutan pembangunan ekonomi dan energi dan keamanan nasional di akhir 1990. CNPC China menjadi pendorong utama investasi di kilang minyak luar negeri. Inisiatif ini telah mendapat dukungan dari pejabat senior. Kebijakan ini seringkali disebut juga dengan kebijakan “Going Abroad Policy” atau “Go Out Policy” yang telah dinisiasi sejak 1992. Kebijakan ini terfokus pada pembelian sebagian aset maupun ekuitas persuahaan pada kilang minyak yang telah berkembang. Sasaran kebijakan ini bermaksud untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk mengeksplorasi di kilang minyak baru.
Analis yang berasal dari SETC (State Economic and Trade Commission), NDRC (National Development and Reforms Commission) dan Universitas Beijing menjelaskan keuntungan-keuntungan investasi tersebut. Pertama, dengan membeli ekuitas perusahaan kilang minyak tersebut, memungkin China untuk mengurangi resiko fluktuasi harga minyak. Investor lebih mudah mengkalkulasi jumlah minyak yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkannya. Investasi di luar negeri memungkinkan investor untuk memperoleh harga yang lebih rendah daripada harga yang ditawarkan di perdagangan minyak global.
“Going Abroad Policy” dirumuskan sebagai strategi nasional di akhir 1997 yang membuka perusahaan besar China, yakni CNPC untuk meluaskan bisnis ke luar. “Going Abroad Policy” menghasilkan serangkaian insentif investasi bagi CNPC untuk beroperasi global. Bentuk insentif tersebut berupa liberalisasi bertahap dan reformasi pada sistem regulasi, peraturan administrasi, dan aturan keuangannya. Proses liberalisasi tersebut diarahkan untuk lebih mencerminkan standar praktik internasional, yakni juga mencakup peraturan dalam World Trade Organization (WTO) dan badan standarisasi internasional lainnya.
Implementasi “Going Abroad Policy” di Kazakhstan ialah akuisisi 60.3% (1997)-75% (2003-sekarang) saham Aktobemunaigaz (AMG). Tawaran CNPC bernilai US$ 4.3 juta, memungkinkan 60.3 % sahamnya jatuh ke China, setelah mengalahkan perusahaan minyak Russia dan Amerika Serikat dengan janji investasi senilai US$ 3.5 juta untuk kontruksi pipa minyak ke arah timur (dari Aktyrau ke China). CNPC yang memperkuat operasi perusahaan dan pengelolaan di kilang minyak Aktobe, menghasilkan peforma lebih baik dan memberi keuntungan investasi lebih besar. Hasilnya, kliang minyak menyumbang sebanyak 120.000 barrel/ hari atau setara dengan 16,877 ton. Nilai tersebut besarnya dua kali lipat hasil sebelumnya. Yang mengejutkan internasional ialah, sebulan kemudian Kazakhstan memenangkan tender CNPC dalam investasi pembangunan pipa minyak yang dilaksanakan dalam tiga tahap—penjelasan lebih lengkap di “Transnational Oil Pipeline”.
Reaksi internasional mengenai akuisisi Aktobemunaigaz oleh CNPC sangat bervariasi. Berbagai tulisan dalam the Asian Wall Street Journal membangkitkan kemungkinan-kemungkinan China melalui CNPC menanamkan hegemoninya di Asia Tengah, serupa dengan Russia. Sedangkan pemberitaan di media menyebut China sebagai “the New Bigfoot in Global Oil”, yang mengartikan bahwa CNPC tiba-tiba menjadi pemain kunci strategis dalam pasar minyak global. bagaimanapun, kebijakan “go abroad” minyak China melalui CNPC ini sebagian besar dilatarbelakangi oleh keperluan minyak domestik yang dapat ditelusuri dalam dinamika kebijakan energi China pada 1993-1996.
2. Loan-for-oil Policy (1998-2005)
Pada tahun 1997, beberapa perekonomian negara berkembang utamanya negara-negara di Asia Tenggara sedang lesu karena krisis ekonomi. Sementara negara-negara lain dilanda krisis ekonomi yang dampaknya multidimensional, China justru menggunakan momentum krisis ekonomi sebagai kesempatan untuk menciptakan kesepakatan energi jangka panjang. Strategi yang seringkali merugikan dan kurang berhasil menangkap ekuitas melalui investasi langsung, kini dilengkapi dengan kebijakan model baru: “Loan-for-oil” dengan rezim pemerintahan yang sedang membutuhkan keuangan. Latar belakang kebutuhan finansial Kazakhstan telah diuraikan pada bagian awal. Krisis keuangan dan harga minyak yang jatuh mengirim sinyal-sinyal urgensi perekonomian Kazakhstan. Celah ini yang dimanfaatkan oleh China untuk menjalin dan memperdalam kemitraan perdagangan dengan Kazakhstan utamanya di sektor perminyakan. Dengan ini, pemerintah China sekaligus membuka peluang baru bagi perusahaan minyak nasional dan perusahaan minyak domestik.
Kebijakan ini memberi tiga keuntungan strategis bagi China. Pertama, kebijakan ini memungkinkan China untuk mengunci akses suplai mendatang, memperpanjang kepentingan China di negara-negara yang selama ini perusahaan nasional China kesulitan menembus akses, dan menciptakan kesempatan untuk negara yang bergerak di sektor jasa.
Keuntungan nyata ialah, China memperoleh keseepakatan-kesepakan minyak penting. Misalnya kesepakatan bilateral dengan pemerintah Kazakhstan di tahun 2009 memberi China 50 persen saham Mangistaumunaigaz (MMG) yang memiliki cadangan minyak sebesar 370 million barrels/ day atau setara dengan 52 juta ton (million ton) bersamaan dengan suntikan dana finansial untuk pembangunan pipa Kazakhstan-China sepanjang 3000 km.
Kesepakatan serupa juga dilatarbelakangi oleh kebijakan yang sama. kesepakatan pemerintah Kazakhstan dengan China yang mana CNPC dan Bank Ekspor-Impor China (China Export-Import Bank) akan meminjamkan US$ 5 milyar masing-masing untuk Kazmunaigaz (KMG) dan Bank Pembangunan Kazakhstan. Masing-masing pinjaman menandai titik balik dalam hubungan perdagangan yang telah terbukti sulit dalam beberapa tahun terakhir.
Situasi sulit investasi China juga terjadi ketika CNPC berhasil memperoleh 100 % saham PetroKazakhstan (PK) di tahun 2005. Akuisisi tersebut merupakan akuisisi luar negeri terbesar oleh perusahaan minyak nasional China. Sebagai respon, pemerintah Kazakhstan kemudian memperkenalkan undang-undang baru pada tahun 2006. Undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Kazakhstan tersebut memungkinkan transfer 33 % ekuitas CNPC di PK ke Kazmunaigaz . Sebagai gantinya, 67 persen saham CNPC dalam PK kini disertai 50 % saham di Mangistaumunaigaz (MMG). Ini meneguhkan posisi CNPC yang semakin kuat di Kazakhstan dalam konteks keamanan energi.
Kebijakan ini dapat dianggap cukup strategis bagi Kazakhstan. Bagi Kazakhstan, China menjadi tempat untuk mendapatkan aliran tunai yang mudah dengan pinjaman yang murah. China. China cukup cerdik merebut kesempatan disertai kemampuan untuk memberi pinjaman jangka panjang ketika proyeksi keuangan Kazakhstan sulit untuk dipenuhi. Dalam semua transaksi dan tender di sektor energi Kazakhstan, pemerintah Kazakhstan menganggap pemerintah China sebagai mitra yang bersedia untuk membuat kompromi-kompromi—baik dalam tingkat suku bunga dan jaminan pinjaman—dengan maksud menarik modal. Selain itu, dalam banyak kasus tingkat bunga yang dibebankan oleh pemerintah China cukup rendah yakni di bawah 6.5 %. Syarat-syarat tersebut mudah diterima oleh pemerintah asing yang memerlukan pinjaman dan tingkat bunga pinjaman China yang rendah. China pun membayar harga impor oil sesuai dengan harga pasar global. barangkali hal paling penting ialah, peran negosiasi pemerintah China lebih mudah daripada negosiasi dengan perusahaan minyak internasional lainnya. Sebagaimana pernyataan CEO Petrobras Sergio Gabrielli menyikapi pinjaman yang diberikan oleh pemerintah China.
“There isn’t someone in the US govenrment that we can sit down with and have the kinds of discussions we’re having with the Chinese”.
3. Transnational Oil Pipeline (2004-2011)
Salah satu kebijakan energi beranggapan bahwa keamanan energi China dapat tercapai apabila Cina mengalihkan jalur rute transfer minyak dari jalur laut (atau seringkali disebut Sea Lines of Communication atau SLOCs) ke jalur darat. Sasaran kebijakan ini ialah pembangunan pipa transnasional yang menghubungakan arus suplai dari produsen minyak ke China. Pembangunan pipa bertujuan untuk mengamankan jalur suplai minyak masuk ke China karena keuntungan strategis daratan China yang berbatasan langsung dengan produsen minyak.
Sedangkan China sendiri belum memiliki kapabilitas angkatan laut yang cukup kompetitif untuk bersaing dengan angkatan laut Amerika Serikat di titik-titik strategis seperti di Selat Hormus dan Selat Malaka. Walaupun demikian, jalur darat juga menuai perdebatan karena kerentanannya terhadap serangan udara. Salah satu kelemahan lain jalur pipa darat ialah biaya yang dikeluarkan sangat besar untuk membangun pipa minyak transnasional. Oleh karena itu, muncul banyak kajian dari mengungkapkan bahwa kebijakan pembangunan pipa transnasional yang menghubungkan Kazakhstan-China menjadi tidak ekonomis.
Pada tahun 1997, sebagai bagian kesepakatan investasi CNPC di Uzenmunaigaz CNPC menawarkan untuk melaksanakan studi kelayakan pada pipa 3000 km, yang diperkirakan memakan biaya US$ 3.5 milyar sebagai bagian kesuksesan tawaran 60% saham Akyubinsk Oil Company (dikenal juga dengan nama Aktobemunaigaz). Kemenangan investasi CNPC di dua kilang minyak tersebu ttidak terlepas dari keterlibatan Perdana Menteri China Li Peng dalam proses negosiasi. Yang dipertanyakan ialah keterlibatan Perdana Menteri Li Peng dalam proses tender dipimpin oleh China dan analisis asing yang beranggapan bahwa proyek tersebut berimplikasi politis. Salah satu spekulasi yang berkembang penawaran pemerintah China membangun pipa tersebut merupakan bagian dari politik China untuk menyediakan Almaty dengan outlet non-Russia sebagai imbalan untuk pembatasan separatis Uighur di Kazakhstan. Hal ini menunjukkan CNPC tidak mungkin membangun jaringan pipa komersial bagi keamanan nasional dan dukungan keuangan dari pemerintah pusat di Beijing. Kasus ini memberi indikasi bahwa keputusan terkait pipa transnasional akan melibatkan penyeimbangan kepentingan keamanan melalui kebijakan luar negeri China dan analisis terkait kepentingan komersial perusahaan minyak China.
Selain itu terdapat kesepakatan konstruksi pipa Kazakhstan dan China yang lain sebagai bagian dari janji investasi China setelah memenangkan tender 100 % saham PetroKazakhstan (PK) di tahun 2005. Pipa sepanjang 3040 km tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Kazakhstan pada Rusia. Meskipun konstruksi pipa tersebut sempat terhalang karena tingginya harga konstruksi, konstruksinya kemudian dilanjutkan dan dilaksanakan dalam tiga tahap sebagaimana diilustrasikan oleh Gambar III.2 di bawah ini.
Gambar III.2 Pengerjaan Pipa Minyak sepanjang 3000 km dari Atyrau (Kazakhstan) sampai Alashankou (China) pada 2005
Pipa China-Kazakhstan ini memiliki panjang 3000 km dari Atyrau melewati Kenkiyak dan Atasu dan berakhir di Alashankou sebelum akhirnya sampai di pengilangan Dushanzi, provinsi Xinjiang. Tahap pertama selesai pada 2003 menghubungkan Aktobe dan Atyrau. Pembangunan jalur pipa tahap ketiga yang konstruksinya baru dimulai pada 11 Desember 2007, diharapkan selesai pada 2011. Pipa tersebut memungkinkan untuk menyalurkan minyak sebesar 200.000 barrel perhari atau setara dengan 28,129 ton.
Kebijakan energi China saat ini terfokus pada kesepakatan pembangunan pipa minyak transnasional. Kesepakatan pembangunan minyak ini banyak direalisasikan melalui perusahaan minyak masing-masing negara, yakni CNCP-China dan Kazmunaigaz-Kazakhstan. Meskipun demikian, pengesahan investasi dan penandatanganan kesepakatan dilakukan oleh pejabat pemerintah masing-masing.
Disaksikan oleh ketua Standing Committee of China’s National People’s Congress (NP), Wu Bangguo, dan First Deputi Prime Minister of Kazakhstan, Umirzak Shukeyev, CNPC dan Kazmunaigaz menandatangani perjanjian prinsip-prinsip dasar desain, pembiyaan, konstruksi operasi pipa minyak transnasional Line C. Presiden CNPC, Jiang Jiemin dan Presiden Kazmunaigaz Kairgeldy Kabyldin menandatangani perjanjian. Secara singkat kebijakan China dalam CNPC di Kazakhstan dapat diringkas dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3 “Kebijakan Energi China melalui CNPC di Kazakhstan (1997-2011)”
Sumber: http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=CH#pet
BAB IV
KESIMPULAN
Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 mengarah pada kemerdekaan Kazakhstan. Kazakhstan muncul sebagai negara baru yang kaya dengan sumber energi, utamanya minyak. Sayangnya, hubungan Kazakhstan dengan negara-negara di sekitarnya dan dunia internasional masih sangat minimal. Hal ini menyulitkan pemerintah baru Kazakhstan untuk bangkit dari kemerosotan ekonomi untuhnya Uni Soviet. Pilar utama perekonomian Kazakhstan yakni sektor energi tidak luput masa-masa sulit. Seperti produksi tambang mineral, jumlah produksi minyak terus menurun drastis. Penurunan ini mencapai puncaknya di tahun 1992. Bahkan neberapa perusahaan minyak nasional Kazakhstan berada terancam pailit. Sebagai langkah prakis, pemerintah Kazakshtan segera melakukan privatisasi yang membuka peluang investasi sebesar-besarnya bagi negara lain maupun disekitarnya untuk berinvestasi.
Investasi tersebut ini datang bersamaan dengan kepentingan China untuk mengatasi persoalan fundamental, eksternal maupun struktural energinya. Pemerintah China menyadari bahwa China tidak bisa selamanya mengejar “self-sufficient policy”. Pemerintah China mengintegrasikan kebijakan energi dalam bisnis internasional melalui investasi perusahaan nasional ke luar. Pada tahun 1997, China menyambut peluang investasi energi di Kazakhstan dengan tawaran investasi lebih baik daripada perusahaan minyak Amerika Serikat dan Russia. Kemenangan tender China terhadap perusahaan minyak nasional Kazakhstan mengawali “Go Out Policy”. “Go out policy” secara sederhana merupakan kerjasama ekonomi melalui investasi asing atau mendorong dan mendukung perusahaan terpilih untuk terjun dalam investasi asing atau bisnis transnasional.
Sayangnya China memiliki satu persoalan utama dalam kebijakan energi yakni inkoordinasi antarbadan pusat kebijakan energi. Reformasi dan restrukturisasi dalam badan pusat kebijakan energi mencerminkan ketidaksiapan pemerintah China dalam merespon pasar energi global. Akibatnya, seringkali pemerintah harus turun langsung dalam setiap kesepakatan dan negosiasi tender perusahaan nasionalnya.
Kesuksesan CNPC sebagai pemain energi tunggal di Kazakhstan tidak lepas dari dukungan pemerintah China dalam memuluskan negosiasi dan kesepakatan tender-tender minyak besar di Kazakhstan. Salah satu dukungan besar pemerintah China ialah pinjaman-pinjaman yang diberikan pada pemerintah Kazakhstan. Tujuan dalam konteks keamanan energi ialah untuk mengamankan akuisisi minyak Kazakhstan. Kebijakan ini sering dikenal dengan “loan-for-oil policy”. Bantuan pemerintah China melalui pinjaman dana dari bank-bank China membuat posisi tawar China lebih tinggi daripada kompetitor lainnya.
Hal ini yang menjadi perbedaan CNPC dengan kompetitor lainnya. Perusahaan minyak lainnya tidak hanya bersaing dengan CNPC, tetapi mereka bersaing dengan “China”. Sementara aktivitas perusahaan minyak mengejar keuntungan komersial atau profit, aktivitas dan keuntungan CNPC digunakan untuk melayani tujuan-tujuan nasional China. CNPC berperan sebagai strategi kebijakan energi China yang kehadirannyta tidak semata-mata bergerak sebagaimana tingkah laku perusahaan transnasional pada umumnya, tetapi menjadi subordinat dalam sistem “state-centric”. Mustahil bagi CNPC untuk mengejar keuntungan komersial sebagaimana perusahaan swasta, karena pemerintah memiliki hak veto atas setiap investasi, akuisisi, dan kesepakatan bisnis CNPC.
Kebijakan dalam “Transnational Oil Pipelines” berperan untuk mengoptimalisasikan transfer energi ke China utamanya ke kilang minyak China Berdasarkan konteks keamanan energi, “transnational oil pipelines” berfungsi untuk meneguhkan posisi China sebagai aktor energi utama di Asia Tengah.
Dalam metafora sederhana, Kazakhstan sebagai suatu rumah yang memiliki berbagai sumber daya alam yang menarik investor asing untuk berkunjung ke dalam. Didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi sebagai bahan bakar utama, China datang sebagai investor aktif dengan tabungan tunai melimpah. “Go Abroad Policy” dibaratkan sebagai pavement yang membuka jalan menuju rumah energi Kazakshtan. Sedangkan “Loan-for-oil” berperan sebagai kunci pintu masuk. Maka, “Transnational Oil Pipelines” berperan sebagai terowongan yang menghubungkan antarrumah energi China.
Ketiga kebijakan energi di atas menjadi inti kebijakan luar negeri China untuk menjamin suplai energi mendatang. Kebijakan energi China melalui CNPC ini berjalan semakin intensif seiring dengan peningkatan kualitas kemitraan strategis China-Kazakhstan. Kemitraan strategis ini menciptakan win-win situation bagi kedua pihak.
Kemitraan strategis China membantu Kazakhstan dalam beberapa hal penting terutama dalam politik dan perekonomian. Secara politis, kemitraan strategis China membantu Kazakshtan lebih independen dari kontrol energi utamanya minyak Russia. Dalam hal perekonomian, kemitraan strategis dengan China memungkinkan sektor industri lainnya berkembang, seperti perdagangan barang dan jasa dan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pipa minyak dan gas. Kemitraan strategis ini mendapat sambutan positif dari dua negara. Poin penting kemitraan strategis energi antara pemerintah China dan Kazakhstan ialah membangun akuntabilitas CNPC sebagai mitra energi yang paling bisa dipercaya.
Word count: 3023
Wordcounts: 3718
Wordcounts 6272
Words count: 652
Di tahun 1949-1978, pemerintahan baru China (saat itu bernama People's Republic of China) merumuskan dan melaksanakan kebijakan perekonomian yang mengarah pada kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 4 %. Di tahun 1978, dalam upaya untuk tumbuh menjadi raksasa di bidang perekonomian, pemerintahan China di bawah rezim Deng Xiao Ping menerapkan kebijakan perekonomian yang lebih liberal.
Inti kebijakan liberaliasasi ekonomi Deng Xiaoping meliputi dorongan untuk membentuk perusahaan dan bisnis swasta, liberalisasi perdagangan, investasi asing, kelonggaran kontrol negara terkait penetapan harga, dan investasi dalam prudksi industri dan pendidikan tenaga kerja. Kebijakan liberalisasi ekonomi ini sukses meningkatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi China dari 5.8 % pada 1978-1980 menjadi 9.03 % dan 9.35% di tahun 1981-1990. Tabel 1.1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat daritahun ke tahun akan diikuti oleh kenaikan konsumsi energi. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi China sangat bergantung pada ketersediaan energi yang cukup yakni keamanan energi di sisi suplai, atau keamanan suplai energi.
Rata-rata Pertumbuhan China Produksi Minyak
(ribu barrel per hari) Konsumsi Minyak % Konsumsi Minyak dari Total Energi China
1949-1978 4 % 72.6 17.42 n/a
1978-1980 9.03 % 126 1848 ≤19%
1981-1990 9.35 % 2423 1959 ≤19%
1991-1997 11.4 % 3047 3543 19% (1995)
1998-2000 7.37 %
2001-2010 11.25 % 3624.5 6864 19% (2008)
Tabel I.1. Rata-rata Pertumbuhan China dan Tingkat Produksi dan Konsumsi Minyak
Sejak tahun 1950 hingga 1993, China tumbuh sebagai negara dengan tingkat produktivitas rendah. Hal ini tidak terlepas dari situasi politik internasional dan domestik saat itu. Kedekatan politik China dengan Uni Soviet menyebabkan China terkucil dari hubungan internasional dengan banyak negara berkembang lainnya seperti Koea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Keterbatasan tersebut merupakan dampak sanksi embargo ekonomi berupa restriksi perdagangan dan perjalan oleh Amerika serikat sejak 1950-1971. Sedangkan keterbatasan lain berasal dari domestik dimana ketidakstabilan politik menghalangi China tumbuh sebagai negara industrialis. Dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang rendah, tentu saja konsumsi energi dan konsumsi minyak domestik lebih rendah daripada produksi domestik.
Hingga tahun 1993, China berada dalam keamanan energi karena suplai minyak ditopang dari Uni Soviet. Suplai minyak dari Uni Soviet menyumbang 3.73 mt (million toe) atau 26.5 juta barrel per hari di tahun 1959. Pada tahun 1960, China menemukan cadangan minyak di Da Qing yang menyumbang 4.3 mt atau 30.5 juta barrel perhari sehingga total cadangan minyak menjadi 6.48 mt atau 46 juta barrel per hari. Akan tetapi, keamanan energi China berakhir pasca China mengimpor produk minyak pada 1993 dan minyak mentah pada 1996 yang menandai China menjadi net importir minyak. Nilai impor minyak saat itu lebih besar daripada nilai ekspor minyak China. Hal ini berarti, permintaan minyak domestik meningkat sehingga China harus mengimpor minyak dari luar untuk mencukupi kebutuhannnya.
Hal ini dikarenakan pertama, China telah menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat sebesar 14.2 %. Pertumbuhan ekonomi yang pesat menimbulkan persepsi ancaman di aspek fundamental (terkiat dengan suplai dan permintaan) energi, utamanya minyak. Bersamaan dengan perdagangan internasional yang semakin terbuka, permintaan akan energi China semakin meningkat sehingga terjadi perbedaan drastis antara permintaan dan suplai. Sejak 1993-1997, GDP China meningkat dari 3.5 triliun yuan hingga 7.5 triliun yuan, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 11.3 % sebagaimana tabel 1.2.
Pada periode tersebut, konsumsi energinya meningkat dari 1.11 milyar ton TCE (Ton of Coal Equivalent) atau 5 milyar barrel ke 1.44 miliar ton TCE (setara 7.166 milyar barel) atau tumbuh 5.7 % setiap tahunnya. Konsumsi minyak China misalnya meningkat sebesar 5.8 % setiap tahunnya selama 1993-1997. Pada 2007, produksi minyak untuk kebutuhan domestik China hanya 4.5%, tetapi konsumsinya menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat.
Tidak hanya persepsi ancaman energi secara fundamental, ancaman keamanan energi juga meluas ke aspek eskternal yakni kondisi-kondisi yang turut menyumbang ketidakamanan energi di luar sisi suplai dan permintaan. Persepsi ancaman secara eksternal yang tersusun atas sebab-sebab domestik, internasional, dan tingkat ketergantungan antara lain: (1) kendala infrastruktur jalan menghambat transportasi minyak ke wilayah dengan permintaan energi tinggi, (2) pertumbuhan ekonomi sukses menyebabkan transisi skala besar pengguna sepeda dan angkutan massal ke mobil pribadi, (3) sebagian besar suplai minyak China melewati jalur laut dengan berbagai ancaman serius, dan (4) komposisi energi Cina yang tergantung pada satu sumber negara produsen.
Persoalan ancaman energi ketiga terletak pada aspek struktural. Birokrasi energi China lemah dan terfragmentasi. Meskipun terdapat beberapa badan energi pemerintah yang mengawasi kebijakan energi, faktanya otoritas dan subordinatnya tumpang tindih. Akibatnya, manajemen energi semakin tidak efektif dan kebijakan energi tidak dapat diandalkan. Ancaman energi secara struktural mengindikasikan sistem energi belum siap bersaing secara internasional. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah selalu aktif terlibat dalam setiap negosiasi, merger, akuisisi, persetujuan investasi perusahaan nasional minyak ke luar. Peran pemerintah China yang sangat kuat berasal dari ketidakpercayaan terhadap sistem energi global.
Tulisan ini membahas keamanan suplai energi utamanya minyak di Kazakhstan. Keamanan suplai minyak menjawab indikator keamanan energi kedua yakni accountability. Daripada batu bara, selain minyak lebih mudah diolah menjadi bentuk energi lain minyak memiliki keuntungan ekonomis yang lebih tinggi dan lebih mudah ditranportasi ke wilayah maupun provinsi dengan permintaan energi yagn tinggi.
Terkait dengan aspek keamanan energi ketiga, yakni accessibility, sumber minyak terdekat dari China selain Iran atau Saudi Arabia di Timur Tengah ialah Kaspia. Adapaun, negara partner energi di wilayah tersebut ialah Kazakhstan, Turkmenistan dan Uzbekistan. China memperoleh minyak dari Kazakhstan, gas alam dari Turkmenistan, dan minyak dan gas alam dari Uzbekistan.
Kazakhstan menjadi target diversifikasi energi China karena beberapa keuntungan geopolitik. Pertama, meskipun terdapat beberapa negara produsen minyak di sekitar China—seperti Rusia, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgiztan, cadangan minyak di negara tersebut tidak sebanyak Kazakhstan. Cadangan minyak Kazakhstan menempati peringkat ke-11 seluruh dunia dengan 30 triliun barel cadangan minyak dan merupakan terbesar kedua di Asia Tengah setelah Russia.
Terkait dengan aspek keamanan energi keempat, yakni affordability atau kemampuan membeli, China berinvestasi di beberapa perusahaan minyak Kazakshtan melalui CNPC (China National Petroleum Corporation). Terdapat dua penjelasan utama China keuntungan investasi di Kazakhstan. Pertama, keuntungan dari ketidakhadiran militer Amerika Serikat di tersebut yang memungkinkan China untuk mengalihkan suplai energi dari jalur laut yang didominasi oleh Angkatan Laut AS ke jalur darat. Kedua, deposit minyak Kazakhstan melimpah dengan konsumsi energi yang masih rendah, tumbuh sebagai negara produsen dan pengekspor di pasar energi global. Di samping itu, Kazakhstan merupakan negara penting dalam sektor energi di Kaspia. Harapannya, suplai energi dari Kazakhstan diperkirakan membantu diversifikasi suplai energi China di masa mendatang.
Penetrasi China di Kazakhstan diawali dengan akuisisi 60.3% saham Aktobemunaigaz oleh CNPC (China National Petroleum Corporation) pada 1997. Hubungan China-Kazakhstan melalui CNPC yang tadinya hanya berupa kesepakatan bilateral, berkembang menjadi kemitraan strategis di sektor energi. Adanya kontrol kuat pemerintah dalam sistem energi China mengakibatkan CNPC tidak hanya dipandang sebagai perusahaan yang mengedepankan efisiensi pasar, tetapi juga sebagai aset politik untuk melayani tujuan-tujuan strategis dan kepentingan energi China.
. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut sejauh mana peran pemerintah China dalam CNPC dan bagaimana kebijakan energi China di wilayah Kaspia melalui CNPC (China National Petroleum Corporation) khususnya terkait keamanan suplai energi dari Kazakhstan.
I.3. Tujuan
Tujuan penulisan ini diperuntukkan untuk meneliti kebijakan energi China di sektor minyak Kazakhstan melalui perusahaan minyak China CNPC
I.4. Kerangka Pemikiran
I.4.1. Energised Foreign Policy-Security of Energy Supply
Berdasarkan model yang diilustrasikan dalam “Energised Foreign Policy-Security of Energy Supply” yang ditulis oleh Clingendael International Energy Programme (CIEP). Model tersebut memiliki dua skenario, sebagaimana dirangkum dalam bagan 1.4.
Dalam skenario tersebut, bagian D dan C mencakup China, rusia, India dan sebagian besar negara produsen yang lebih suka sistem perdagangan energi global yang state-centric. Sebaliknya, di kuadran A dan B mencakup Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa yang lebih memilih perdagangan energi global dilakukan sesuai dengan mekanisme pasar. Disebabkan negara produser energi utama sekaligus negara konsumen energi yang penting (China dan India) memilih sistem “state-centric”, maka sektor energi global di masa mendatang cenderung untuk bergeser ke skenario pertama . Oleh karena itu, dalam hal ini strategi China dievaluasi dalam kerangka skenario pertama yang memungkinkan CNPC berperan sebagai aktor subordinat.
Bagan I.2 Model Pasar Energi Global dalam "Energized Foreign Policy-Security of Energy Supply”
Sumber: General Energy Council. 2005. Energized Foreign Policy-Security of Energy Supply as a Ndwe Key Objective, h. 22-23
I.4.2. Teori Investasi dan FDI—Quan Li dan Adam Resnick (2003)
Quan Li dan Adam Resnick (2003) dan Jensen (2008) mempelajari kenapa perusahaan berinvestasi di luar negeri. Teori ini menjelaskan dampak demokratisasi pada lembaga-lembaga pemerintahan, hukum dan institusi terhadap arus investasi yang masuk. Teori ini membicarakan dua hal utama. Pertama, kecenderungan bahwa semakin demokratis suatu negara maka bahwa makin banyak arus FDI (Foreign Direct Investment) masuk. Artinya, semakin banyak perusahaan tertarik untuk berinvestasi pada negara tersebut. Kedua, teori ini menyatakan fungsi investasi pada akhirnya dapat digunakan untuk membeli dukungan pemangku kebijakan Kazakshtan untuk memenangkan tender-tender penting minyak di Kazakhstan.
I.4.3. Realisme Struktural-Waltz (1979) dan Teori Power Cycle-Doran (2003)
Strategi kebijakan energi China di Kazakhstan dapat dipahami dalam kerangka Realisme Struktural. Banyak pandangan teoritis dalam Realisme Struktural, salah satunya oleh Kenneth Waltz dalam “Theory of International Politics” (1979). Menurut Waltz (1979) unit yang palng penting untik dipelajari ialah struktur dalam sistem internasional. Struktur dalam suatu sistem ditentukan oleh tatanan prinsip yaitu tidak adanya otoritas menyeluruh, dan distribusi kapabilitas antara negara-negara. Kapabilitas tersebut yang menetapkan posisi negara dalam sistem.
Tatanan dunia saat ini didasarkan pada keseimbangan yang muncul antara kekuatan dan peranan kebijakan luar negeri. Sebagaimana Doran (2003: 15) kemudian menjelaskan, bahwa “peran dan kekuatan adalah sistemik, tetapi peran muncul jika dilegitimiasi dalam sistem, yang mana kekuatan dinyatakan melalui aksi sepihak sebagai kontrol. Misalnya kekuataan suatu negara dapat ditentukan melalui pertumbuhan ekonominya, maupun kekuasaannya terhadap sumber daya energi tertentu”. Terkait dengan kebijakan energi, China memiliki posisi kuat dalam sistem pasar energi global.
Doran juga menyatakan, bahwa Asia merupakan wilayah penting yang mana pergeseran struktural kekuatan sedang terjadi disebabkan pertumbuhan ekonominya. China dengan pertumbuhan ekonominya tertinggi dan pemain baru dalam perekonomian global yang terus signifikan, memiliki posisi tawar lebih tinggi dibandingkan negara-negara di sekitarnya, terutama di Kazakhstan.
I.4.4. Stakeholder Theory
Stakeholder memiliki dua definisi dalam pengertian luas dan pengertian sempit. Pengertian luas, stakeholder menurut Freeman ialah individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pengertian sempit oleh Clarkson, stakeholder biasanya dibebani oleh resiko akibat investasi yang ditanam maupun kegiatan perusahaan. Di samping itu, untuk melengkapi dua pengertian di atas, pengelompokan stakeholder dilakukan oleh Ronald K Mitchell yang tertuang dalam teori stakeholder. Dalam teorinya, Mitchell menyatakan tiga atribut yang dimiliki oleh stakeholder untuk mengindentifikasi peran stakeholder, yaitu “power”, legitimasi, dan urgensi.
I.5. Hipotesis
Dengan memahami latar belakang masalah di atas serta kerangka pemikiran yang digunakan, maka diajukan hipotesis sebagai berikut CNPC menjadi strategi kebijakan energi China. Kehadiran CNPC di China tidak semata-mata bergerak sesuai dengan tingkah laku perusahaan transnasional pada umumnya, melainkan bergerak di bawah pemerintahan China secara langsung.
I.6 Konseptualisasi dan Operasionalisasi
I.6.1.1. Keamanan Energi
Keamanan energi didefinisikan sebagai ketersediaan energi pada setiap waktu, dalam banyak bentuk, pola yang cukup, dan pada harga yang terjangkau. Artinya, keamanan energi menjelaskan keadaan kecukupan permintaan dan penawaran pada tingkat harga yang dianggap terjangkau oleh perekonomian suatu negara. Ancaman utama dalam keamanan energi ialah gangguan terhadap suplai, kenaikan harga yang membuat pembelian suatu sumber energi tertentu tidak terjangkau bagi perekonomian suatu negara, ancamana yang paling sering terjadi ialah ancaman terhadap infrastruktur energi, dan resiko kerusakan lingkungan.
I.6.1.2. Ketahanan Energi
Ketahanan energi dipahami sebagai ketersediaan sumber-sumber energi pada harga yang stabil dan tempat dan waktu tertentu.
I.6.1.3. Diversifikasi
Diversifikasi merupakan konsep yang luas. diversifikasi bisa berkenaan dengan tipe-tipe bahan bakar (diversifikasi tipe), sumber-sumber bahan bakar (diversifikasi origin), dan diversifikasi teknologi (tipe dan asal). Secara umum, diversifikasi dalam suplai energi, baik oleh tipe dan asal, seringkali dianggap menyumbang terhadap keamanan energi.
I.6.1.3. Relative Game
Dalam hubungan internasional, “relative gain” menggambarkan tindakan negara hanya dalam hal kekuasaan, tanpa memperhatikan faktor lain, seperti ekonomi. Relative gain menekankan kondisi bahwa semua negara dapat mengambil manfaat dari kerjasama dan kompetisi nonkonfliktual.
I.6.1.4. Zero-sum Game
Zero-sum game ialah kalkulasi matematis yang mana kemenangan satu pihak diikuti oleh kerugian—di sisi lain—secara bersamaan yang jika dijumlahkan menghasilkan “zero”. Konsep ini pertama kali muncul dalam pemikiran Realisme tentang sekuriti atau keamanan suatu negara. Kondisi “zero game” hanya dapat tercapai apabila terdapat “relative gain”.
I.6.2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah penelitian eksplanatif yang bermaksud menjelaskan variabel-variabel yang diteliti dan hubungan antara variabel yang satu dengan yang lain dengan tujuan mendapat penjelasan bagaimana kebijakan China di Kazakhstan melalui CNPC.
I.6.3. Jangkauan Penelitian
Penelitian ini dibatasi dalam jangka waktu antara tahun 1997 ketika CNPC masuk dalam sistem energi Kazakhstan melalui pembelian 60.3% saham Aktobemunaigaz. Jangkauan penelitian ini berakhir pada 2011 ditandai dengan pencapaian terakhir CNPC melalui pengesahan jalur pipa minyak sepanjang 3000 km yang menghubungkan Atasu (Kazakhstan) dan Alashankou (China).
I.6.5. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif karena berupa kasus, artikel yang dimuat dalam media, maupun pernyataan-pernyataan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data kualitatif meliputi tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
I.6.6. Sistematika Penulisan
Bagian pertama dari tulisan ini atau Bab I, menguraikan sejumlah hal yang mendasari penelitian ini.
Bab I berisi garis besar penelitian meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, metodologi penelitain, konseptualisasi dan operasionalisasi konsep serta sistematika penulisan bab-bab selanjutnya.
Bab II ini bertujuan untuk mengetahui relevansi keamanan dan kebijakan energi China. Relevansi tersebut diawali oleh pemaparan situasi yang mempengaruhi dinamika keamanan energi China sejak 1950-1996. Selanjutnya penjelasan relevansi keduanya dilengkapi oleh dari sumber ancaman keamanan energi baik secara fundamental, eksternal, maupun nonstruktural yang diyakini turut mengkontruksi persepsi ancaman energi nasional China. Bab ini ditutup dengan pernyataan bahwa kebijakan energi sebagai aset politik yang digunakan untuk memahami kerjasama energi China dan Kazakhstan.
Bab III ini mengkaji kebijakan energi China melalui CNPC di Kazakhstan pada 1997-2011 terkait keamanan suplai energi. Adapun bab ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah kebijakan strategis China terkait keamanan energi melalui CNPC di Kazakhstan. Pembahasan ini diawali dengan latarbelakang kerjasama energi China dan situasi yang mempengaruhi masuknya investasi. Bagian kedua menjelaskan peran pemerintah sebagai stakeholder CNPC.
Bab IV merupakan bagian kesimpulan yang berisi jawaban terhadap rumusan masalah
BAB II
RELEVANSI KEAMANAN DAN KEBIJAKAN ENERGI CHINA
Bab ini bertujuan untuk mengetahui relevansi keamanan dan kebijakan energi China. Relevansi tersebut diawali oleh pemaparan situasi yang mempengaruhi dinamika keamanan energi China sejak 1950-1996. Selanjutnya penjelasan relevansi keduanya dilengkapi oleh dari sumber ancaman keamanan energi baik secara fundamental, eksternal, maupun nonstruktural yang turut mengkontruksi persepsi ancaman energi nasional China. Bab ini ditutup dengan pernyataan bahwa kebijakan energi sebagai aset politik yang digunakan untuk memahami kerjasama energi China dan Kazakhstan.
II.1. Keamanan Energi China
Ambisi China mencari cadangan energi dari luar, utamanya minyak, tidak terlepas dari kebijakan internal dan situasi internasional. Kedua hal tersebut diyakini berpengaruh terhadap dinamika keamanan energi China. Berikut penjelasan dinamika keamanan energi sejak 1950 hingga 1996.
A. Keamanan Energi 1950-1970
Terbebas dari perang sipil pada tahun 1949, China tumbuh sebagai negara dengan ambisi industrialisme dan modernisme kendati produksi minyaknya masih sangat rendah. Peningkatan produksi minyak baru terjadi pada tahun 1950 melalui bantuan suplai dan teknologi dari Uni Soviet yang merintis eksplorasi cadangan minyak domestik. Pada 1959, produksi minyak mentah China mencapai 3.73 mt (million toe). Sayangnya pada tahun 1960, Uni Soviet menghentikan bantuan dan kerjasama energi dengan China. Keadaan ini mendorong China untuk mengeluarkan kebijakan untuk lebih “self-reliance” dengan kontrol penuh pemerintah.
Salah satu implementasi kebijakan “self-reliance” ialah dengan penemuan cadangan minyak. Pada tahun 1960, China merintis eksplorasi minyak di daerah Da Qing. Pengilangan cadangan minyak di Da Qing menandai momentum ketahanan energi China. Kilang minyak di Da Qing menyumbang 4.3 mt minyak sehingga total cadangan minyak domestik sebesar 6.48 mt.
Dapat dikatakan pada tahun 1960-1960, ketahanan energi China tercapai karena pengaruh situasi politik internasional. Terlepas dari ketidakstabilan politik domestik pasca perang sipil 1949, kebijakan energi China juga dipengaruhi oleh situasi politik internasional. Situasi politik internasional saat itu cenderung dikontruksi oleh kompetisi superpower Uni Soviet dan Amerika Serikat pada era Perang Dingin.
Iklim Perang Dingin yang merupakan kancah pertarungan pengaruh yang di satu sisi menguntungkan China dan di sisi lain merugikan. China yang memiliki kedekatan politik dengan Uni Soviet mendapat kemudahan bantuan baik suplai dan teknologi pengilangan minyak. Kemudahan ini membantu China untuk mengeksplorasi kekayaan minyak dalam negeri beserta bantuan finansial pengoperasian kilang minyak.
Sebaliknya terdapat konsekuensi logis kerjasama energi dengan Russia ialah China terkucilkan dari hubungan antarnegara yang memihak blok Amerika Serikat. Puncaknya China dikenakan sanksi embargo ekonomi berupa restriksi perdagangan dan perjalanan oleh Amerika Serikat sejak tahun 1950 sampai 1971. Akibatnya produksi minyak China hanya diperuntukkan untuk konsumsi domestik dengan tingkat pembangunan ekonomi yang rendah. Dengan kata lain, selama dua dekade sejak 1950-1970 China mencapai ketahanan energi karena tekanan internasional saat itu. Kondisi ini menghalangi China mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang rendah, tentu saja konsumsi energi atau minyak juga rendah.
B. Keamanan Energi 1971-1996
Pada tahun 1971, embargo ekonomi Amerika Serikat berakhir. Berakhirnya embargo ekonomi tersebut mengakibatkan peningkatan dalam hubungan internasional pada awal tahun 1970-an yang mengarah pada ekspansi ekonomi. Ekspansi ekonomi tersebut ditunjang oleh cadangan energi utama China yakni batubara dan minyak. Dengan demikian, batubara dan minyak berpotensi menjadi komoditas ekspor utama perekonomian China.
Hal ini ditunjang dengan profil energi China. Cadangan batubara China merupakan terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Russia. Konsumsi batubaranya menyumbang 69 % total konsumsi energi domestik. Hal ini membuat China sebagai negara produksi sekaligus konsumsi batubara terbesar di dunia walaupun persoalan lingkungan dan keamanannya menjadi perhatian serius dunia.
Ekspor komoditas minyak dan batubara saat itu tidak hanya bertindak sebagai komoditas perdagangan tetapi juga melayani tujuan strategis China untuk merintis hubungan dengan negara-negara lain. Sejak tahun 1971 China mampu mengalokasikan sumber minyaknya untuk melayani kebutuhan ekspor untuk beberapa negara. Misalnya pada tahun 1973 ketika terjadi krisis minyak, China mengambil keuntungan dengan mengekspor minyak mentah ke Thailand, Filipina, dan Jepang.
Hubungan internasional China yang tumbuh semakin positif berdampak terhadap peningkatan ekspor minyak. Nilai ekspor minyak China semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 1985 ketika nilainya mencapai 30 mt. Pada saat bersamaan, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi China semakin intensif. Sayangnya kolaborasi keduanya tidak diimbangi dengan kebijakan untuk menambah kapasitas produksi minyak domestik. Dampaknya terjadi kesenjangan tingkat permintaan dan suplai sehingga penurunan ekspor minyak sejak tahun 1985 tidak dapat dihindari.
Penurunan kapabilitas ekspor minyak China sebenarnya telah terjadi di tahun 1983 ketika China mengimpor minyak mentah dari Oman sebagai tindakan temporer akibat gangguan transportasi minyak dari China Utara ke kilang minyak yang terletak di atas Sungai Yangtze. Gangguan ini semakin nyata ketika pada tahun 1988 terdapat peningkatan permintaan minyak sehingga impor minyak China semakin meningkat drastis. Peningkatan impor ini terjadi secara terus menerus sejak produksi minyak mentah tidak mencukupi konsumsi domestik. Ditambah pula produksi minyak di Da Qing diperkirakan mulai menipis pada 2002. Permintaan minyak yang terus meningkat memaksa China mengakhiri masa ketahanan energinya sejak impor produk minyak pada 1993 dan impor minyak mentah pada 1996.
Dinamika keamanan energi China mengalami dua fase penting kebijakan energi. Pertama, iklim politik Perang Dingin yang memaksa China untuk mengikuti kebijakan energi yang mendukung tercapainya ketahanan energi. Sulit sekali untuk mengejar pertumbuhan dan pembangunan ekonomi apabila persediaan bahan bakar pertumbuhan tersebut tidak cukup. Pemerintah China pun menempuh kebijakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sesuai dengan ketersediaan sumber daya energinya. Tujuannya ialah mengantisipasi peningkatan kebutuhan minyak dalam negeri yang tidak terpenuhi karena hambatan-hambatan politik internasional dan embargo ekonomi yang membatasi hubungan perdagangan China dengan negara-negara lain.
Fase penting kedua ialah berakhirnya embargo ekonomi pada tahun 1971 yang berkonsekuensi terhadap adanya perubahan fundamental pada tingkat ekspor dan kapabilitas China dalam memproduksi minyak dari cadangan minyak domestiknya.
II.2. Persepsi Ancaman Energi China
Kebijakan energi China juga dikontruksi dari berbagai persepsi sumber ancaman kemanan energi China. Terdapat tiga analisis yang mewakili persepsi ancaman energi China. Pertama, analisis fundamental berdasarkan laporan British Petroleum yang menekankan adanya defisit minyak akibat konsumsi energi di sektor industri. Kedua, analisis eksternal oleh Stein Tonnesson dan Ashild Kolas (2006) dan Erica S Downs (2004) yang melengkapi ancaman ketidakamanan energi secara komprehensif di luar aspek fundamental. Ketiga, analisis struktural oleh Zha Daojiong (2005) yang menyatakan ketidakamanan energi sebagai akibat tidak adanya birokrasi yang secara jangka panjang yang mengelola dan merumuskan kebijakan energi secara leih terorganisir. Ketiga analisis tersebut berfungsi untuk mengetahui perubahan perubahan signifikan pada aspek kebijakan energi China pasca 1996.
A. Analisis Fundamental
Analisis fundamental menitikberatkan gangguan keamanan energi pada aspek fundamental yakni “supply” dan “demand” bergeser dari titik keseimbangan. Analisis ini menggunakan data kuantitatif terkait pertumbuhan ekonomi dan komposisi sumber energi yang mempengaruhi konsumsinya. Salah satu data kuantitatif yang mendukung ialah laporan British Petroleum pada tahun 2003. Laporan tersebut berfungsi untuk memperjelas tingkat ketidakamanan energi dengan menunjukkan hubungan antara konsumsi dan pertumbuhan ekonomi terhadap peningkatan permintaan energi dan defisit minyak.
Ketidakamanan energi China berkaitan erat dengan fakta peningkatan konsumsi minyak. Laporan British Petroleum, menyebutkan adanya defisit minyak China. Misalnya, sejak tahun 1993-2002, konsumsi China meningkat dari 2.9 juta barel setiap hari menjadi 5.4 juta barel, sementara produksi minyak naik dari 2.9 juta barel setiap hari menjadi 3.4 juta barel pada periode yang sama.
Peningkatan ini utamanya terjadi pada sektor industri. Sebagian besar sektor industri China mengkonsumsi minyak lebih banyak daripada sektor lain. Misalnya pada tahun 1995, konsumsi minyak sektor industri mencapai 49 persen. Di tambah pula sektor industri manufaktur semakin memegang peran signifikan dalam perekonomian China.
Angka-angka tersebut mempertegas hubungan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi energi suatu negara yang ditulis oleh Ruth A Judson, et. al. (2009). Ruth A Judson menyatakan pertumbuhan ekonomi cenderung berbanding lurus dengan tingkat konsumsi energi. Misalnya, sejak tahun 1952-1978, pertumbuhan ekonomi China meningkat sebesar 4.4 persen. Pada 1978 hingga 1980, terdapat peningkatan perekonomian setiap tahunnya sebesar 9 persen. Sedangkan sejak tahun 1990-1996, pertumbuhannya mencapai rata-rata 11 persen.
Hubungan pertumbuhan ekonomi ini diwakili oleh tingkat GDP (Gross Domestic Product) dengan tingkat konsumsi energi China berdasarkan data sebagai berikut: sejak 1993-1997, GDP China meningkat dari 3.5 triliun yuan hingga 7.5 triliun yuan, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan 11.3 %. Pada periode tersebut, konsumsi energinya meningkat dari 1.11 miliar ton TCE (Ton of Coal Equivalent) ke 1.44 miliar ton TCE atau tumbuh 5.7 % setiap tahunnya. Konsumsi minyak China misalnya meningkat sebesar 5.8 % setiap tahunnya selama 1993-1997.
A. Analisis Eksternal
Analisis ketidakamanan energi kedua berasal dari laporan yang ditulis oleh Stein Tonnesson dan Ashild Kolas (2006) dalam International Peace Research Institute di Oslo Norwegia, menyebutkan sumber ketidakamanan energi, utamanya minyak, terletak pada gangguan eksternal. Gangguan eksternal mencakup persepsi ancaman yang berasal dari sebab-sebab domestik, internasional, dan tingkat ketergantungan pada satu sumber. Adapaun gangguan eksternal tersebut antara lain:
Hambatan eksploitasi sumber-sumber minyak domestik dan transportasi energi ke wilayah dengan permintaan yang tinggi. Pernyataan ini berasal dari fakta profil energi China. Mayoritas cadangan energi China terletak di bagian Utara dan Barat China, sementara itu permintaan akan energi berasal dari kota-kota industri dan komersial di sepanjang pantai Timur China. Sarana infrastruktur dan jalan yang kurang memadai menjadi kendala utama transportasi energi ke kota-kota dengan tingkat permintaan energi yang tinggi.
Pertambahan jumlah pemilik kendaraan menyumbang terhadap peningkatan konsumsi bahan bakar minyak. Pertumbuhan konsumsi minyak terutama karena pertumbuhan ekonomi yang sukses juga berhasil menyebabkan transisi skala besar dari pengguna sepeda dan angkutan massal ke mobi pribadi. Sejak tahun 2001 tepatnya China menjadi anggota WTO. Akibatnya pada tahun 2010, jumlah mobil di China naik menjadi 20 kali lipat daripada tahun 1990.
Keamanan energi China juga dapat terancam jika ada gangguan jalur transportasi laut yang dilalui oleh kapal-kapal minyak China. Bahaya perompak di wilayah-wilayah seperti Selat Malaka, Selat Hormus, dan di perairan Somalia menjadi ancaman serius. Gangguan kelancaran transportasi minyak dalam pasar energi global dapat memicu kelangkaan dan gangguan harga minyak yang berimbas terhadap perekonomian China;
Pengaruh kuat Amerika Serikat di negara-negara produksi minyak seperti wilayah Timur Tengah dan Selat Taiwan dapat dijadikan alat politis untuk menekan China. Sebagian besar sumber minyak domestik China didatangkan melalui kapal tanker yang harus melewati jalur laut yang didominasi oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pengaruh angkatan laut Amerika Serikat dan kepentingan Jepang di wilayah tersebut menjadi sumber kekhawatiran China. Gangguan suplai potensial terjadi jika Amerika Serikat dan Jepang menginterupsi jalur tersebut sebagai alat politis untuk mengancam China;
Komposisi sumber energi China saat ini mayoritas berasal dari Timur Tengah. Perubahan politik sedang terjadi di rezim-rezim Timur Tengah, utamanya di negara-negara produksi minyak. Perubahan politik yang menjadi sumber ketidakstabilan politik di Timur Tengah tersebut merupakan proses yang akan memakan waktu. Hal ini yang kemudian menginisiasi China untuk mencari cadangan strategis energi atau meningkatkan signifikasi cadangan tersebut di wilayah lain. Ketergantungan China terhadap satu sumber minyak dapat mengurangi keamanan energi China. Ketergantungan China pada satu sumber impor minyak dapat mengakibatkan kelangsungan perekonomian China pada khususnya dan perekonomian global pada umumnya dipertaruhkan.
Uraian diatas merupakan serangkaian ancaman eksternal baik secara internasional maupun nasional yang menyebutkan bahwa ketergantungan terhadap satu sumber suplai minyak dapat mengakibatkan keamanan energi terancam secara keseluruhan.
B. Analisis Struktural
Analisis struktural terkait persepsi ancaman energi berasal dari tulisal Zha Daojiong. Berseberangan dengan dua analisis sebelumnya, Zha Daojiong Direktur Center for International Energy Security di Renmin University's School of International Studies di China, menolak asumsi-asumsi di atas. Argumen Daojiong tersebut didasarkan pada fakta sejarah. Selama dua dekade, tidak ada kendala politis yang menghalangi akses impor minyak China selama ini. Ia juga menyebutkan tidak adanya ancaman serius pada jalur transportasi. Walaupun demikian, Zha Daojiong menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan adanya ancaman-ancaman lain yang lebih bersifat struktural.
Zha Daojiong berpendapat gangguan struktural berasal tidak adanya dari badan sentral yang menyusun kebijakan energi, tetapi juga terletak pada kebijakan energi itu sendiri. Sejak tahun 1955 hingga 2005, pemerintah China beberapa kali mereformasi badan pembuat kebijakan energinya. Proses reformasi tersebut membawa konsekuensi serius, yakni tumpang tindih otoritas dalam kebijakan energi. Persoalan ini diperparah dengan kekosongan otoritas tunggal yang merencanakan kebijakan energi sejak tahun 1993. Akibatnya, banyak kebijakan energi belum terimplementasi sepenuhnya. Selain itu pada tahun 1950-1980, kondisi politik China sedang tidak stabil. Daripada merumuskan kebijakan untuk mengatasi persoalan energi, pemerintah China lebih mengedepankan pencapaian stabilitas politik dan sosial sebagai agenda utama.
Tulisan Zha Daojiong patut diapresiasi karena memberikan pandangan baru dalam kerangka ketidakamanan energi China yang menarik dibahas. Menurut Daojiong, tumpang tindih otoritas karena pergantian badan pembuat kebijakan tersebut menandakan struktur sistem energi China yang masih belum siap bersaing secara internasional.
C. Relevansi Persepsi Ancaman terhadap Kebijakan Energi China
Berdasarkan tiga analisis di atas dapat diketahui bahwa terdapat proses yang mempengaruhi dinamika kebijakan energi China. Semula kebijakan energi China berorientasi pada “self-reliance policy” menjadi “self-sufficiency policy”. Apabila “self-reliance policy” merupakan refleksi kebijakan akibat situasi Perang Dingin dan batasan hubungan internasional, maka kebijakan sekarang lebih bersifat “self-sufficiency” yang merefleksikan ketidakpercayaan pada sistem mekanisme pasar. Hal ini selaras dengan pernyataan diplomat China, sebagai berikut:
“Western countries can feel secure purchasing oil internationally because they created the system—China did not”.
Pernyataan tersebut juga tertuang dalam “China’s White Paper on Energy” sebagai berikut:
“China mainly relies on itself to increase the supply of energy.”
Proses perubahan kebijakan tersebut bukan tanpa pengaruh. Situasi internasional dan perdagangan internasional yang makin intensif ikut berkontribusi dalam menentukan arah kebijakan. Perubahan arah kebijakan tersebut adalah hasil proses penyesuaian-penyesuaian terhadap lingkungan eksternal. Perubahan struktur baik dalam pengelolaan dan organisasi kebijakan di tingkat pusat atau sering disebut “reformasi birokrasi” menjadi salah satu contoh krusial.
1. Badan Pembuat Kebijakan Energi China (1983)
Salah satu pendapat besar terkait reformasi birokrasi di sektor energi berasal dari Hanjiang H Wang (1999). Hanjiang H Wang mencatat reformasi birokrai sebelum ahun 1983. Pada 1950 dibentuk General Bureau of Petroleum Administration dalam deapartemen Ministry of Fuel Industry untuk mengawasi produksi dan konstruksi industri minyak di China. Sepuluh tahun berikutnya dibentuk Ministry of Petroleum Industry (MOPI).
Kemudian pada 22 Juni 1970, pemerintah China melakukan reorganisasi pada sektor energi meliputi minyak, batubara, dan kimia yang dikelola bersama dalam badan Ministry of Fuel and Chemistry Industries. Lima tahun berikutnya, pada Januari 1975 Ministry of Fuel and Chemistry Industries diganti oleh Ministry of Petroleum and Chemistry Industries. Pada 1978, MOPI didirikan kembali sebagai ganti Ministry of Petroleum and Chemical Industries. Baru pada tahun 1982 dan 1983, pemerintah China menggabung seluruh industri sektor energinya dalam beberapa perusahaan nasional energi antara alin China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan China National Petrochemical Corporation (Sinopec). Sedangkan pada tahun 1988, China National Petroleum Corporation (CNPC) didirikan untuk menggantikan MOPI.
Pergantian departemen sebagaimana diuraikan di atas seolah membenarkan asumsi pengelolaan energi sebelum tahun 1983, yang cenderung berantakan.
2. Badan Pembuat Kebijakan Energi China (1993-2008)
Sedangkan pendapat kedua berasal Zha Daojiong (2005, 2006) yang mengungkapkan sejak tahun 1993 tidak ada otoritas birokrasi yang bertanggung jawab dalam mengelola sektor energi China. Baru pada tahun 2005, dibentuk State Council yang fungsinya dilengkapi oleh National Energy Leading Group sebagai pusat organisasi perumusan kebijakan energi. Akan tetapi struktur ini kemudian dirubah pada tahun 2008 yang mana National Energy Leading Group, dihapuskan sehingga State Council kini membawahi langsung organisasi-organisasi sektor energi. State Council membawahi 27 kementrian energi dan NDRC (National Development and Reforms Commission) yang bertanggung jawab langsung terhadap pengelolaan CNPC.
Meskipun terdapat berbagai pendapat, namun keduanya memuat konsekuensi logis yang sama. Seringkali kebijakan yang dihasilkan tidak berjalan sepenuhnya karena badan pembuat kebijakan energi terus berganti dan cenderung berbenturan dengan departemen lain. Tidak adanya kebijakan yang terimplementasi secara penuh mengkibatkan jurang antara pasokan dan permintaan energi semakin besar. Misalnya, data dari British Petroleum menegaskan bahwa defisit terjadi ketika volum konsumsi (aspek permintaan) lebih besar daripada volum produksi minyak (aspek suplai). Adapun, besar perbedaan permintaan dan suplai minyak mencapai 166 mt per tahunnya.
Dalam rangka mengurangi kesenjangan tersebut, saat ini China secara khusus sebenarnya telah memulai untuk mencari cadangan energi sebagai langkah kebijakan energi yang strategis. Sasaran cadangan strategis yang terdekat dan melimpah ialah sumber minyak di wilayah Kaspia. Untuk mendapatkan minyak dari sumber terdekat, China telah mengemangkan hubungan dengan beberapa negara dalam rangka diversifikasi minyak impor, salah satunya Kazakhstan. Sebagai bagian dari kebijakan keamanan suplai energi, perusahaan-perusahaan nasoinal minyak China telah berincestasi dalam eksplorasi dan mengamankan ekuitas perusahaan minyak asing.
II.3. Kebijakan Energi China
Dorongan China untuk terlibat dalam pasar energi global tidak terlepas dari permintaan minyak domestik yang melonjak akibat pertumbuhan industri. Faktor-faktor eksternal yang dikontruksi oleh situasi baik dalam pasar minyak global maupun politik internasional turut mendorong perusahaan-perusahaan minyak untuk membeli saham di luar negeri. Investasi inilah yang menjadi faktor penting dalam kebijakan luar negeri pemerintah China. Kebutuhan energi China mendorong China untuk memainkan peran lebih mennojol dalam pasar energi global belakangan ini.
Langkah kebijakan strategis yang paling awal ialah kebijakan berorientasi “twin market” yang dilaksanakan pada awal 1990. Kebijakan “twin market” menargetkan ketahanan suplai energi untuk domestik dan juga internasional. Akan tetapi, masih banyak cadangan tersebut yang masih belum dieksploitasi karena hambatan-hambatan internal. Misalnya eksplorasi cadangan minyak di Xinjiang masih terhambat oleh ketidakstabilan politik antara pemerintah pusat dengan etnis Uyghur.
Pada awal tahun 1997, pemerintah China mengganti kebijakan “twin market” dengan kebijakan “going abroad”. Kebijakan ini disinyalir menjadi pintu masuk berbagai investasi sebagai insentif untuk perusahaan China beroperasi global. Kebijakan energi China terkait minyak telah menunjukkan transparansi implementasi yang cukup jelas. Sesuai dengan tiga karakter utama kebijakan energi China, diversifikasi energi menjadi salah satu andalan implementasi kebijakan yang diusung oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan oleh perusahaan minyak nasionalnya.
Diversifikasi energi menjadi strategi utama banyak negara untuk mengamankan energinya. China sendiri telah merintis diversifikasi energi baru-baru ini, yakni sejak penemuan dan investasi ladang minyak di benua Amerika, utamanya di Sudan. Strategi diversifikasi ini tadinya bukan hal utama dalam sepanjang perjalanan keamanan dan ketahanan energi China. Namun momentum besar diversifikasi energi China dilakukan melalui investasi ladang minyak di Peru pada 1993. Investasi ke luar ini terus berkembang di banyak negara di berbagai kawasan antara lain Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah.
Di Asia Tengah, cadangan minyak terbesar terdapat di wilayah Kaspia. Di wilayah tersebut, China menjalin kemitraan strategis dalam bidang energi dengan Kazakhstan. Hal ini disebabkan Kazakhstan merupakan pemain penting dalam sektor energi di wilayah Kaspia. Kazakhstan juga menjadi kunci utama akses cadangan minyak di Kaspia. Kemitraan strategis energi China di Kazakhstan telah dirintis sejak tahun 1997 melalui Perusahaan Nasional Negara, CNPC.
Kesimpulannya, keamanan energi China tidak dapat dipahami tanpa melihat dinamika kebijakan energi China yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Situasi internasional, keterbatasan hubungan internasional China dengan dengan negara-negara lain, pola konsumsi yang menciptakan kesenjangan antara permintaan energi dan suplai semakin, dan persepsi ancaman ketahanan energi menjadi variabel berpengaruh terhadap proses kebijakan energi China. Kebijakan energi China telah mengalami beberapakali reformasi dan perubahan signifikan. Semula mencerminkan situasi Perang Dingin dan batasan hubungan internasional, maka kebijakan sekarang lebih bersifat “self-sufficiency” yang merefleksikan ketidakpercayaan pada sistem mekanisme pasar. Faktanya, China saat ini sedang bergerak dari ekonomi terencana berdasarkan ketahanan energi menuju ekonomi berbasis pasar yang semakin bergantung pada sistem internasional .Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah ialah pemerintah tetap memiliki kontrol penuh
Adanya kontrol pemerintah yang masih kuat mengakibatkan kebijakan energi tidak hanya dipandang kebijakan mikroekonomi yang mengedepankan efisiensi pasar, tetapi juga sebagai aset politik. Sebagai aset politik, kebijakan energi inilah yang digunakan untuk untuk memahami keterkaitan kerjasama energi China dan Kazakhstan.
BAB III
KEBIJAKAN ENERGI CHINA-KAZAKHSTAN MELALUI CNPC
Bab ini mengkaji kebijakan energi China melalui CNPC di Kazakhstan pada 1997-2011 terkait keamanan suplai energi. Adapun bab ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah kebijakan strategis China terkait keamanan energi melalui CNPC di Kazakhstan. Pembahasan ini diawali dengan latarbelakang kerjasama energi China dan situasi yang mempengaruhi masuknya investasi. Bagian kedua menjelaskan peran pemerintah sebagai stakeholder CNPC.
III.1. Kerjasama Energi China-Kazakhstan
Motivasi China merintis kerjasama energi dengan Kazakhstan pada tahun 1997 berkaitan erat peristiwa-peristiwa penting Kazakhstan. Peristiwa penting tersebut antara lain runtuhnya Uni Soviet pada 1991, kebijakan privatisasi pemerintah Kazakhstan untuk pemulihan sektor perekomian pasca merdeka, dan krisis finansial 2008. Peristiwa ini menjadi latar belakang utama kerjasama energi China-Kazakhstan sebagai entry point China di sektor minyak Kazakhstan.
A. Latar Belakang
Kazakhstan merupakan pemain kunci sektor energi di Asia Tengah. Tingkat pertumbuhan ekonominya yang mencapai 9.3 % di tahun 2004 dam 7 % di tahun 2010 membuat Kazakhstan tumbuh sebagai negara paling modern di wilayah Asia Tengah. Pertumbuhan ekonomi ini utamanya disumbang dari industri pertambangan mineral, minyak dan gas. Dari kesemua sektor energi dan pertambangan mineral, sektor minyak mendapat perhatian besar investasi asing. Dari US$ 13 milyar investasi sejak tahun 1992-2001, hampir 50% berasal dari investasi minyak dan gas. Investasi tersebut sebagian besar terkonsentrasi di enam perusahaan minyak yang beroperasi di kilang Tengiz, Uzen, Mangistau, Kenkiyak, Zhanazol, dan Kumkol. Lokasi sumber-sumber minyak tersebut diilustrasikan pada Gambar III.1.
Saat ini terdapat enam perusahaan minyak di Kazakhstan: Aktobemunaigaz (AMG), Kazakhoil-Emba (terdiri dari Embamunaigaz-EMG dan sebagian kecil Tengizneftegaz), Mangistaumunaigaz, Tengizchevroil (sebagian besar Tengizneftegaz), Uzenmunaigaz, dan Hurricane Kumkol Munai. Pada 1992, 2001, dan 2004, kesemuanya menyumbang masing-masing hampir 75%, 80% di tahun 2001, dan 74 % di tahun 2002 total produksi di Kazakhstan.
Sebagaimana diuraikan di atas, sektor minyak menyumbang 50% investasi dalam perekonomian Kazakhstan. Hal ini menyebabkan perekonomian Kazakhstan terus tumbuh dengan ketergantungan pada eksplorasi sumber alam tersebut. Akibatnya ketika harga minyak minyak turun drastis pada 2008, perekonomian Kazakhstan ditimpa krisis.
Gambar III.1 Konsentrasi Kilang Minyak dan Infrastruktur Industri Minyak di Kazakshtan (2008)
Sumber: Anne E Peck (2008), Privatization and Foreign Investment in the Principal Oil Enterprises in The Refineries, h. 145
Eksplorasi dan produksi minyak di wilayah Kazakhstan sendiri telah dimulai sejak Kazakhstan menjadi bagian dari Uni Soviet. Sebelum tahun 1991, kebutuhan minyak Kazakhstan disuplai dari Russia melalui pipa minyak Siberia. Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 yang mengarah pada berdirinya Kazakhstan pada 16 Desember 1991, menyebabkan krisis di sektor energi, utamanya minyak. Seperti produksi sektor mineral, jumlah produksi minyak menurun setelah merdeka. Bahkan penurunan agregat minyak total mencapai 20 persen antara 1992-1994.
Untuk mengatasi penurunan lebih drastis, pemerintah baru Kazakhstan melaksanakan reformasi ekonomi. Reformasi ekonomi ini bermaksud untuk membangun ekonomi pasar bebas untuk menyesuaikan dengan iklim politik internasional. Salah satu kebijakan reformasi ekonomi yang berdampak pada sektor minyak Kazakhstan ialah kebijakan privatisasi perusahaan negara dan deregulasi. Sedikitnya terdapat enam perusahaan minyak Kazakhstan yang diprivatisasi yaitu Aktobemunaigaz (AMG), Kazakhil-Emba, Mangistaumunaigaz (MMG), Uzenmunaigaz (UMG), Tengizchevroil, dan Hurricane Kumkol Munai.
Reformasi ekonomi membuka peluang kerjasama energi dengan negara lain. Tengizchevroil (TCO) membuka kerjasama melalui joint venture dengan Chevron (sekarang ChevronTexaco). Kerjasama dengan Chevron ini sebenarnya telah dirintis sejak tahun 1990 oleh Russia, namun negosiasi kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan baru Kazakhstan. Meskipun kebijakan privatisasi perusahaan di sektor energi telah dimulai, peningkatan produksi minyak belum berdampak signifikan. Sejak tahun 1992-1996 perusahaan nasional kilang minyak Kazakhstan masih mengalami masa sulit. Masa-masa sulit itu tidak terlepas dari berbagai persoalan internal yang mana produksi minyak dan penjulanan sahamnya selalu dikaitkan dengan korupsi di tingkat elite pemerintahan. Terkait dengan pengelolaan energi, selalu terdapat perbedaan antara golongan pemerintahan yang menginginkan privatisasi dengan golongan lain yang menginginkan kontrol pemerintah tetap kuat. Golongan pertama diwakili oleh kubu Perdana Menteri Akezhan Kazhegeldin, sedangkan golongan kedua diwakili perdana menteri oleh Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazerbayev.
Kesulitan serupa dialami oleh AktobeMunaiGas. AktobeMunaiGas mengumumkan penjualan sahamnya pada tahun 1996. Baru pada tahun bulan Mei 1997 terdapat satu perusahaan asing yang berhasil memenangkan tender yakni China National Petroleum Company (CNPC). Negosiasi berlanjut dan baru diumumkan pada bulan September 1997 bersamaan dengan kemenangan tender oleh CNPC atas Uzenmunaigaz (UMG). CNPC membayar sebesar US$ 325 juta dan membuat komitmen investasi sebesar US$ 4 milyar selama 20 tahun, dimana US$ 585 juta diperuntukkan untuk investasi pada jangka waktu 1998-2005. CNPC juga membayar hutang perusahaan sebesar US$ 71 juta. CNPC juga diwajibkan untuk membayar hutang guna mempertahankan tingkat lapangan kerja yang ada untuk satu tahun mendatang. Di sisi lain Kazakhstan diperkirakan menerima US$ 3.16 milyar berupa pajak penghasilan, cukai, royalti, dan pajak lokal dari penjualan saham perusahaannya.
Investasi CNPC di Aktobemunaigaz (AMG) dan Uzenmunaigas (UMG) menandai kerjasama energi China di Kazakhstan di 1997. Kedatangan investasi China di sektor energi Kazakhstan menjadi angin segar di tengah kebutuhan Kazakhstan sebagai negara yang baru. Sebagaimana negara-negara yang baru merdeka dari Uni Soviet, Kazakhstan dibebani oleh ketidakstabilan politik dan perekonomian yang masih lemah. Dua hal ini yang menjadi kendala Kazakhstan untuk tumbuh modern pasca 1991. Berkat sumber daya energi, utamanya minyak yang melimpah, kini Kazakhstan lebih serius menjadi pemain kunci dalam sektor energi di Asia Tengah. Kazakhstan kini lebih memfokuskan untuk mengeksplorasi cadangan minyak terbesar di Laut Kaspia.
B. Investasi China di Kazakhstan
Pasca 1997, investasi China dalam CNPC di Kazakhstan meningkat drastis sejak akuisisi Aktobemunaigaz (AMG ) dan Uzenmunaigaz (UMG). Faktor pendorongnya yakni bantuan China yang diberikan kepada pemerintah Kazakhstan. Bantuan berupa insentif keuangan dan pinjaman tersebut berperan untuk membuka akses investasi masuk.
Arus investasi ini sebagian besar merupakan FDI (Foreign Direct Investment). Berdasarkan catatan Bank Nasional Kazakhstan, sejak tahun 2000 FDI dari China tidak lebih dari US$ 500 juta. Tetapi di tahun 2008, nilai meningkat hingga US$700 juta. Bahkan terhitung sejak 2001-2008, jumlah nilai FDI China di Kazakhstan bahkan melampaui US$ 2.5 milyar.
Quan Li dan Adam Resnick (2003) dan Jensen (2008) mempelajari bahwa bantuan asing dapat digunakan untuk membeli dukungan pemangku kebijakan Kazakshtan melalui lembaga demokrasi dan aturan hukumnya. Dukungan yang dimaksud oleh analisis tersebut memungkinkan investasi China menang melalui win-win status quo kedua pihak. Kazakhstan menerima sumber keuangan untuk menyediakan barang publik bagi penduduk Kazakshtan, maupun barang privat bagi anggota, pendukung dan kerabat pemerintah. Sedangkan China mengamankan akses sumber daya alam. Misalnya, China telah mulai membeli ladang minyak Kazakhstan di akhir 1990-an. Selama tiga dan empat tahun terakhir, China kemudian memberi pinjaman yang sangat dibutuhkan Kazakhstan sebagai ganti saham produsen minyak lokal dan janji pasokan minyak di masa mendatang.
Terkait dengan CNPC, China telah sangat aktif selama beberapa bulan terakhir dalam memanfaatkan bantuan luar negeri untuk mengamankan merger dan akuisisi perusahaan milik pemerintah China di Kazakhstan. Pemerintah China mengamankan persetujuan dan perlindungan investasi ini dengan memberi pemerintah Kazakhstan saham langsung di dalamnya. Sebagai contoh, pada tahun 2005-2006 setelah pembelian saham 100% dari PetroKazakhstan. Dalam pembeliannya tersebut, CNPC mentransfer 33% sahamnya kepada Kazmunaigas (KMG), perusahaan minyak nasional dan gas Kazakhstan terbesar.
CNPC juga memberi bagi hasil 50-50 % dengan Kazmunaigas (KMG) dalam pembangunan pipa minyak Kazakhstan-China—yang disebut oleh Wakil Presiden Zhou Jinping sebagai “Jalur Sutra yang baru”. Hal ini memungkinkan China untuk mengamankan sumber energi yang cukup bagi China sekaligus memberi keuntungan bagi perusahaan nasional minyaknya.
Bertepatan dengan krisis finansial keuangan dan penurunan harga minyak dunia membuat perekonomian Kazakhstan menjadi semakin sulit. Akhirnya, pada bulan Februari 2009, Bank Pembangunan China (China Develoopment Bank) menandatangi kesepakatan dengan pemerintah Kazakhstan sebagai ganti pembelian 50 % saham Mangistaumunaigaz (MMG). Kesepakatan ini juga memastikan pembiayaan pembangunan pipa sepanjang 3000 km yang menyalurkan minyak dari Kazakhstan ke China. Bersamaan dengan itu, China mengumumkan pinjaman sebesar US$ 5 miliar lainnya untuk Bank Pembangunan Kazakhstan. Secara keseluruhan terdapat pinjaman sebesar 10 miliar dolar AS dari China ke Kazakhstan dalam rangka mengamankan minyak bernilai US$ 5 miliar dan investasi gas. Ini adalah contoh sederhana dan langsung dari penggunaan pinjaman luar negari China untuk membuka peluang investasi China di Kazakhstan sekaligus menjamin keamanan dan perlindungan investasi jangka panjang.
III.2. Dinamika peran Pemerintah China dalam CNPC
A. Latar Belakang CNPC
China National Petroleum Corporation atau CNPC merupakan perusahaan pengelola minyak terbesar di Chna. CNPC didirikan pada 17 September 1988 untuk menggantikan Ministry of Petroleum Industry (MOPI) yang berdiri sejak 1949. CNPC bertanggung jawab terhadap eksplorasi dan pengembangan cadangan gas alam dan minyak di darat. CNPC memiliki 20 ladang minyak dan cadangan gas alam dan minyak. Aset CNPC terpenting dibendel dalam cabangnya PetroChina Limited Co., yang sahamnya terdaftar secara internasional di bursa efek Hong Kong pada April 2004 dan bursa New York pada 2000.
CNPC tumbuh semakin signifikan dalam pasar energi global. Pada 1995, CNPC menambahkan Muglad Basin di Venezuela. Pada Oktober 1997, CNPC memperoleh 60% saham di Aktyubinsk Oil Company atau Aktobemunaigaz, memungkinkan akses ladang minyak di Kazakhstan Barat. Produksi minyak CNPC menyumbang 89 % produksi minyak China pada 1996. Pada 1998, CNPC reformasi struktur perusahaannya. Sebagai bagian dari restrukturisasi tersebut, pada 1999, CNPC mendirikan cabang, China National Petroleum Co., Ltd. (China Petroleum atau PetroChina). CNPC sendiri menyuntikkan sebagain besar asetnya di saham PetroChina. Sehingga 90% saham PetroChina sendiri dikuasai oleh Pemerintah China. Peran CNPC yang semakin signifikan tidak terlepas dari dinamika peran pemerintah yang menentukan arah kebijakan CNPC secara internal.
B. Dinamika Peran Pemerintah sebagai Stakeholder dalam CNPC
Stakeholder memiliki dua definisi dalam pengertian luas dan pengertian sempit. Pengertian luas, stakeholder menurut Freeman ialah individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Pengertian sempit oleh Clarkson, stakeholder biasanya dibebani oleh resiko akibat investasi yang ditanam maupun kegiatan perusahaan. Di samping itu, untuk melengkapi dua pengertian di atas, pengelompokan stakeholder dilakukan oleh Ronald K Mitchell yang tertuang dalam teori stakeholder. Dalam teorinya, Mitchell menyatakan tiga atribut yang dimiliki oleh stakeholder untuk mengindentifikasi peran stakeholder, yaitu “power”, legitimasi, dan urgensi.
Dari tiga atribut tersebut, diturunkan kelompok stakeholder yang termasuk dalam stakeholder tidak aktif (dormant stakeholder), dominan (dominant stakeholder), bebas (discretionary stakeholder), definitif (definitive stakeholder), berbahaya (dangerous stakeholder), mandiri (dependent stakeholder), dan menuntut (demanding stakeholder).
Gambar III.2 Model Kelompok Kepentingan menurut Ronald K Mitchell
Sumber: Ronald K Mitchell dan Donna J Wood (2002), Defining The Principle of Who and What Really Counts, dalam “Managing the extended enterprise”, Stanford, Stanford Press University
Bagan 1.1 menyatakan bahwa yang disebut stakeholder dormant ialah stakeholder yang memiliki satu atribut kepentingan yakni power. Stakeholder discretionary, memiliki atribut legitimasi saja. Stakeholder demanding, memiliki satu atribut yakni urgensi. Stakeholder dominant, memiliki dua atribut kepentingan yakni power dan legitimasi. Stakeholder dependent memiliki atribut legitimasi dan urgensi. Dikatakan sebagai stakeholder definitive, apabila memiliki ketiga atribut, yakni power, legitimasi, dan urgensi.
1. Pemerintah Sebagai Stakeholder Definitif dalam CNPC (1988-1998)
Disebabkan lingkungan politis dan ekonomi China, CNPC pada tahun 1988, tidak hanya merupakan suatu perusahaan tetapi juga organisasi resmi pemerintah. Didirikan dibawah MOPI, CNPC mengambil alih tanggung jawab sosial yang tadinya dilaksanakan MOPI selama 1949-1988. Semua manajer senior CNPC ditunjuk oleh pemerintah. Hal tersebut membuat CNPC menjadi perusahaan yang tidak benar-benar independen dari pemerintah.
Dari perspektif ekonomi, CNPC pada masa tersebut ditujukan untuk memenuhi permintaan energi nasional dibawah sistem ekonomi komando. Setiap tahunnya, pemerintah pusat menyusun perencanaan konsumsi anggaran minyak dan gas yang memandu seluruh operasional CNPC. CNPC berperan sebagai alat pemerintah dengan sedikit kebebasan yang dimiliki. Operasional CNPC bergerak untuk mengikuti perencanaan yang telah ditetapkan yakni perencanaan konsumsi anggaran minyak dan gas yang disusun oleh pemerintah pusat berdasarkan “self-reliance policy”.
Tingkah laku CNPC pada masa tersebut hanya memperhatikan satu stakeholder saja yakni pemerintah. Pemerintah pusat China memiliki tiga atribut sesuai dengan teori stakeholder milik Ronald K Mitchell. Pertama, pemerintah meiliki kedaulatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan CNPC. Seluruh senior manajer ditunjuk oleh pemerintah pusat dan kesemuanya dipandang sebagai pegawai daripada pebisnis. Presiden CNPC diperlakukan setingkat menteri. Di hadapan pegawai-pegawai, presiden merupakan menteri dari kementrian minyak sejak 1988.
Atribut stakeholder yang lain juga dimiliki oleh pemerintah. Legitimasi merupakan atribut terkuat pemerintah. Pada saat itu, pemerintah mengaku bawah pembentukan CNPC ditujukan untuk menciptakan masyarakat komunis yang mana setiap orang diperlakukan setara dan dibayar oleh kebutuhan yang yang pada akhirnya ditujukan pembangunan masyarakat. Pada awal 1980, persepsi yang demikian diterima oleh masyarakat luas. Ditambah dengan kegiatan CNPC yang sebagian besar mengambil alih tanggung jawab sosial pemerintah kepada masyarakat, memungkinkan CNPC dipandang sebagai organisasi pemerintah dairpada perusahaan murni yang bertujuan untuk memaksimalkan saham yang dimiliki oleh stakeholder lain.
Kesimpulan dari uraian tersebut ialah pemerintah sebagai stakeholder paling menentukan bagi CNPC. Pada kenyataannya, pemerintah sebagai stakeholder penting mempengaruhi CNPC. Selama periode tersebut, 1988-1998, seluruh keputusan diambil berdasarkan himbauan pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan sebelum tahun 1998, CNPC tidak cukup kompetitif bersaing dengan perusahaan minyak asing. Di mata asing, CNPC bukan merupakan perusahaan, tetapi lebih merupakan perpanjangan tangan pemerintah.
Pemerintah sendiri memiliki banyak badan pengelola kebijakan keamanan energi pada bagian suplai. Mereka adalah State Development Planning Commission (SDPC)—pada Maret 2003 berganti nama menjadi National Development and Reform Commission (NDRC)—, State Economic and Trade Commission (SETC), Ministry of Foreign Affairs (MF) dan militer. Stakeholder yang kurang berpengaruh ialah institusi penelitian kebijakan luar negeri dan ekonomi, akademisi, dan media .
2. Stakeholder dalam CNPC (1998-2003)
China diterima menjadi anggota WTO (World Trade Organization) pada 2001 menjadi momentum awal perubahan operasional CNPC. Hal ini membuka perekonomian China dan sektor energi terhadap kemungkinan berbagai kerjasama dan negosiasi multilateral yang lebih luas daripada tahun-tahun sebelumnya. CNPC menghadapi lebih banyak tantangan dan kompetisi dengan perusahaan minyak asing seperti British Petroleum (BP), Royal Dutch Shell, dan Exxonmobil. Perusahaan-perusahaan minyak asing tersebut dengan kelebihan dalam kemampuan manajerial dan kemajuan teknologi.
CNPC kemudian didukung oleh pemerintah pusat untuk mulai menerapkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan nilai ekonomis perusahaan. Kebijakan ini sering dikenal dengan nama kebijakan reformasi dan restrukturisasi CNPC. Implementasi reformasi dan restrukturisasi tersebut ialah “downsizing”. Dalam proses “downsizing”, tiga ratus ribu karyawan CNPC, hampir seperempat dari total keseluruhan.
Reformasi dan restrukturisasi selanjutnya, CNPC mendirikan membentuk cabang baru, PetroChina. Prinsip pendiriannya ialah untuk mengadopsi sistem perdagangan dan pertukaran saham internasional Hal ini bertujuan membuat PetroChina lebih populer secara internasional daripada perusahaan induknya, CNPC. Dengan demikian, kapital CNPC dapat bersaing dengan perusahaan minyak asing secara global. Kedua kebijakan tersebut berasal dari himbauan pemerintah pusat.
Dampak fenomenal kebijakan “downsizing” merupakan bukti terdapat stakeholder lain yang sifatnya berbahaya, atau dangerous stakeholder, yakni karyawan CNPC. Karyawan yang dipecat kesulitan untuk mempertahankan kehidupan mereka sehingga memicu kerusuhan sosial yang meluas dengan cepat. Akan tetapi, kerusuhan ini selesai atas bantuan pemerintah pusat yang menawarkan paket solusi pada mereka.
Kesimpulan dari uraian di atas, meskipun kerjasama China dengan aktor eksternal lebih luas sejak dierimanya China sebagai anggota WTO, peran pemerintah pusat dalam pengelolaan CNPC tetap kuat. Sebagaimana pemerintah pusat berhasil menekan kerusuhan akibat kebijakan “downsizing” CNPC.
3. Stakeholder dalam CNPC (2003-2005)
Berkaca dari keberhasilan yang tidak terduga dalam pasar saham Hong Kong dan New York, CNPC berniat untuk mengejar keuntungan ekonomis perusahaan lebih besar. Salah satunya ialah meningkatkan kepercayaan investor. Akan tetapi ledakan sumur gas di Kai wilayah kota Cong Qing pada 23 Desember 2003 menjadi bukti bahwa CNPC mengabaikan tanggung jawab sosialnya dan terlalu terfokus pada maksimalisasi nilai ekonomis perusahaan. Bertujuan untuk meningkatkan keuntungan kompetitif, CNPC menggalakkan kampanye untuk mengurangi biaya produksi yang dampaknya kesalamatan kerja dan tanggung jawab sosial jadi terabaikan.
Poin penting dari uraian tersebut menyebutkan bahwa CNPC mulai berorientasi untuk memaksimalkan nilai ekonomis perusahaan. Walaupun demikian, pemerintah tetap menjadi stakeholder krusial dan kuat bagi CNPC. Dalam kerangka kepemilikan saham, sebesar 90% saham CNPC dan PetroChina dimiliki oleh pemerintah. Dalam kerangka manajerial, pejabat CNPC dipilih dan ditunjuk langsung oleh pemerintah. Dalam kerangka “power”, legitimasi, dan urgensi, pemerintah memegang pengaruh determinan dan kontrol terhadap aspek-aspek pengambilan keputusan tertinggi dalam CNPC yakni penerbitan pesertujuan investasi CNPC, menetapkan harga minyak domestik, dan perpajakan.
III.4. Kebijakan Energi China dalam CNPC di Kazakhstan
A. Posisi China di Kazakhstan
Kerjasama energi antara China dan Kazakhstan dapat dipahami dalam kerangka “relative gain”. Dalam hubungan internasional, “relative gain” menggambarkan tindakan negara hanya dalam hal kekuasaan, tanpa memperhatikan faktor lain, seperti ekonomi. Akan tetapi, dengan menggabungkan premis Realisme Struktural dan Teori Power Cycle-Doran, diperoleh hubungan negara dengan memperhatikan faktor lain seperti ekonomi. Gabungan kedua premis inilah yang digunakan untuk menunjukkan posisi China bagi Kazakhstan apakah lemah, sedang, atau kuat.
Kerjasama energi dengan Kazakhstan diperlukan untuk mencapai ketahanan energi suplai China. Idealnya kerjasama tersebut memberi timbal balik keuntungan ekonomi yang adil bagi Kazakhstan. Pada kenyataannya, CNPC yang memiliki hampir 50%-100% saham minyak di Kazakhstan yakni Aktobemunaigaz, North Buzachi oil field dan Petrokazakhstan. Dominasi yang cukup signifikan tersebut memungkinkan terjadinya asimetri informasi. CNPC menyediakan informasi yang lebih lengkap pada pembuat kebijakan energi China, pada yang waktu sama menciptakan rendahnya kualitas informasi di Kazakhstan. Oleh karena itu, hubungan antara China dan Kazakhstan bersifat “zero-sum game”.
Hubungan “zero-sum game” tersebut juga terdapat pada kecenderungan pemerintah Kazakhstan untuk mengandalkan China sebagai partner energi yang strategis. Defisit anggaran yang meningkat, meningkatnya kebutuhan untuk memperbarui infrastruktur minyak dan gas, dan manajemen keuangan yang tidak efisien, memaksa pemerintah Kazakhstan untuk mengandalkan modal China.
Pada April 2009, kunjungan resmi Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev, dijamin US$ 10 miliar dari Beijing untuk perusahaan minyak yang dikendalikan KazMunaiGaz—yang pemerintah Kazakhstan menjadi pemegang saham terkuat—dan Bank Pembangunan Kazakhstan. Selain itu, Kazakhstan meminjam US$ 3 miliar untuk promosi bisnis dari Bank Negara China. Hal ini disebabkan investasi China hadir tanpa harga politik yang mana China memeluk prinsip tradisional “non-interference”. Melalui sudut pandang Realisme Struktural, maka kecenderungan pemerintah Kazakhstan untuk menyetujui konsesi minyak China dengan mudah dapat dipahami melalui prinsip “zero-sum game” dan “relative gain” yang menegaskan posisi China lebih tinggi atau cukup kuat daripada Kazakhstan.
B. Posisi China dalam CNPC
Tata kelola CNPC dilakukan di bawah satu lembaga yakni National Development and Reform Commission (NDRC). NDRC berada di bawah kelompok tingkat menteri yang terdiri dari 13 anggota yang dipimpin oleh Perdana Menteri Wen Jiabao, terdiri dari Wakil Perdana Menteri Huang Ju dan Zeng Peiyan, sebagai deputi direktur kelompok, menteri dari NDRC, Commission of Science and Technology and Industry for National Defence, Ministry of Commerce, Finance and Foreign Affairs. Kelompok tingkat menteri ini dibentuk pada bulan Maret 2005.
Pendahulu NDRC ialah State Planning Commission (SPC), yang didirikan pada 1952. SPC inilah kemudian diubah menjadi State Development Planning Commission pada 1998. Setelah bergabung dengan State Council Office for Restructuring te Economic System (SCORES) dan menjadi bagian State Economic and Trade Commission (SETC) pada 2003. SDPC ini kemudian direstrukturisasi menjadi NDRC. NDRC merupakan badan manajemen ekonomi makro yang berada di bawah State Council. NDRC berperan penting dalam menyusun perencanaan energi lima tahun, menetapkan harga energi, dan memeriksa proyek yang bernilai lebih dari US $30 juta, yang mencakup hampir seluruh proyek-proyek energi. Strategi keamanan minyak yang ditetapkan pada 2002 oleh SDPC dan SETC menyerukan sejumlah tindakan yang bertujuan meningkatkan kontrol China atas suplai energi, termasuk investasi di ladang minyak luar negeri, pemgabungan SPR (Strategic Petroleum Reserve System) “shutting in” ladang minyak di Barat China untuk penggunaan darurat, dan pembangunan Angkatan Laut dan Udara China untuk melindungi keamanan suplai energi.
Dengan demikian, sektor energi masih dikendalikan secara terpusat oleh pemerintah melalui NDRC. Meskipun distribusi manajerialnya diserahkan sepenuhnya pada perusahaan CNPC selaku SOEs (State Owned Enterprises), peran pemeriintah pusat masih sangat kuat dalam hal membuka peluang dalam mengamankan merger dan akuisisi di sektor minyak Kazakhstan.
III.5. Kebijakan Energi di Kazakhstan Melalui CNPC
A. Dinamika Investasi dan Akuisisi CNPC di Kazakhstan (1997-2009)
Kebijakan energi China di Kazakhstan melalui CNPC dapat diketahui dengan memahami perkembangan CNPC sejak tahun 1997-2007. Data di bawah ini diperoleh dari situs resmi CNPC di www.cnpc.com.cn. CNPC menanamkan investasinya pertama kali pada 1997 ketika Aktobemunaigaz (AMG). Saham yang dibeli CNPC dalam AMG di tahun 1997 sebesar 60.3% meningkat menjadi 75 % di tahun 2003. AMG diprivatisasi oleh pemerintah Kazakhstan sebagai bagian kebijakan mikro untuk memulihkan kembali sektor industri. Saat ini saham AMG yang dimiliki CNPC sebesar 75 %. Pada waktu yang bersamaan, satu bulan kemudian CNPC memenangkan tender di Uzenmunaigaz (UMG). Pada 2003 CNPC dan Kazmunaigaz (KMG), perusahaan minyak nasional Kazakhstan, dan Kazakh Ministry of Finance’s Committee on State Assets and Privatization menandatangani kesepakatan mengai perluasan investasi CNPC di sektor minyak dan gas alam. Pada tahun yang sama yakni bulan Oktober 2003, CNPC membeli 65 % saham Chevron di kilang minyak dan gas North Buzachi, di Barat Laut Kazakhstan. Pembelian ini juga diikuti oleh pembelian saham Saudi Nimr Petroleum sebesar 35% pada dua bulan berikutnya. Selanjutnya pada 19 Mei 2004, CNPC dan KMG menandatangani kesepkatan yang tertuang dalam “Agreement on Basic Principles for the Construction of a Crude Oil Pipeline” dari Atasu (Kazakhstan) ke Alashankhou (China). Posisi CNPC menjadi semakin krusial dengan kesuksesan pembelian 100% PetroKazakhstan senilai US$ 4.18 milyar pada Agustus 2005. PetroKazakhstan ialah perusahaan minyak Kanada yang berbasis di Calgary. PetroKazakhstan memfokuskan produksi minyak di Calgary yang dikenal sebagai cadangan minyak terbesar kedua setelah TengizChevroil milik perusahaan Amerika Serikat ChevonTexaco. Akuisisi 100 % saham PetroKazakhstan oleh CNPC menyebabkan pada tahun 2006 seluruh unit produksi dan eksplorasinya dilakukan oleh cabang CNPC, yakni PetroChina. Secara ringkas dinamika investasi CNPC digambarkan dalam tabel III.1 di bawah ini.
Tabel III.1 “Dinamika Investasi dan Akuisisi CNPC di Sektor Minyak Kazakhstan 1997-2005”
Sumber: http://www.cnpc.com.cn/eng/company/presentation/history/MajorEvents/2007.htm
Sedangkan perkembangan investasi dan akuisisi CNPC di sektor minyak Kazakhstan sejak 2006-2009 diilustrasikan tabel III.2 di bawah ini. Pada 5 Juli 2006, CNPC dan Kazmunaigaz (KMG) kembali menandatangi kesepakatan baru terkait ekuitas yang dimiliki masing-masing. Kesepakatan baru tersebut memungkin KMG memperoleh 33% saham di PetroKazakhstan (PKZ). Pada 28 Agustus 2007, CNPC dan Kazmunaigaz (KMG) sepakat untuk melanjutkan konstruksi dan operasional jalur pipa minyak Kazakhstan-China. Isi kesepakatan tersebut baru terealisasi pada 11 Desember 2007. Pada tahun 2009, sebagai bagian dari perjanjian pinjaman senilai US$ 5 milyar kepada pemerintah Kazakhstan, CNPC sukses membeli Joint Stock Company (JSC) dan Mangistaumunaigaz (MMG) senilai US$ 3.3 milyar.
Tabel III.2 “Dinamika Investasi dan Akuisisi CNPC di Sektor Minyak Kazakhstan: 2006-2009”
Sumber http://www.cnpc.com.cn/eng/company/presentation/history/MajorEvents/2007.htm, dan http://www.chinadaily.com.cn/business/2009-04/28/content_7722725.htm
B. Kebijakan Energi China 1997-2010
1. Going Abroad Policy (1997)
Berangkat dari ketidakpercayaan pemerintah China dalam sistem pasar energi global, China memutuskan untuk lebih independen. Profil energi China sebelum 1997 menunjukkan kesenjangan antara permintaan yang meningkat dan suplai yang stagnan. Berbagai analisis meyakini hal inilah yang menjadi kunci utama China kemudian mengejar kebijakan untuk berinvestasi di perusahaan asing.
Pemimpin China menyadari pada akhirnya kepentingan dan siginifikasi bisnis internasional terhadap kelanjutan pembangunan ekonomi dan energi dan keamanan nasional di akhir 1990. CNPC China menjadi pendorong utama investasi di kilang minyak luar negeri. Inisiatif ini telah mendapat dukungan dari pejabat senior. Kebijakan ini seringkali disebut juga dengan kebijakan “Going Abroad Policy” atau “Go Out Policy” yang telah dinisiasi sejak 1992. Kebijakan ini terfokus pada pembelian sebagian aset maupun ekuitas persuahaan pada kilang minyak yang telah berkembang. Sasaran kebijakan ini bermaksud untuk menekan biaya yang dikeluarkan untuk mengeksplorasi di kilang minyak baru.
Analis yang berasal dari SETC (State Economic and Trade Commission), NDRC (National Development and Reforms Commission) dan Universitas Beijing menjelaskan keuntungan-keuntungan investasi tersebut. Pertama, dengan membeli ekuitas perusahaan kilang minyak tersebut, memungkin China untuk mengurangi resiko fluktuasi harga minyak. Investor lebih mudah mengkalkulasi jumlah minyak yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkannya. Investasi di luar negeri memungkinkan investor untuk memperoleh harga yang lebih rendah daripada harga yang ditawarkan di perdagangan minyak global.
“Going Abroad Policy” dirumuskan sebagai strategi nasional di akhir 1997 yang membuka perusahaan besar China, yakni CNPC untuk meluaskan bisnis ke luar. “Going Abroad Policy” menghasilkan serangkaian insentif investasi bagi CNPC untuk beroperasi global. Bentuk insentif tersebut berupa liberalisasi bertahap dan reformasi pada sistem regulasi, peraturan administrasi, dan aturan keuangannya. Proses liberalisasi tersebut diarahkan untuk lebih mencerminkan standar praktik internasional, yakni juga mencakup peraturan dalam World Trade Organization (WTO) dan badan standarisasi internasional lainnya.
Implementasi “Going Abroad Policy” di Kazakhstan ialah akuisisi 60.3% (1997)-75% (2003-sekarang) saham Aktobemunaigaz (AMG). Tawaran CNPC bernilai US$ 4.3 juta, memungkinkan 60.3 % sahamnya jatuh ke China, setelah mengalahkan perusahaan minyak Russia dan Amerika Serikat dengan janji investasi senilai US$ 3.5 juta untuk kontruksi pipa minyak ke arah timur (dari Aktyrau ke China). CNPC yang memperkuat operasi perusahaan dan pengelolaan di kilang minyak Aktobe, menghasilkan peforma lebih baik dan memberi keuntungan investasi lebih besar. Hasilnya, kliang minyak menyumbang sebanyak 120.000 barrel/ hari atau setara dengan 16,877 ton. Nilai tersebut besarnya dua kali lipat hasil sebelumnya. Yang mengejutkan internasional ialah, sebulan kemudian Kazakhstan memenangkan tender CNPC dalam investasi pembangunan pipa minyak yang dilaksanakan dalam tiga tahap—penjelasan lebih lengkap di “Transnational Oil Pipeline”.
Reaksi internasional mengenai akuisisi Aktobemunaigaz oleh CNPC sangat bervariasi. Berbagai tulisan dalam the Asian Wall Street Journal membangkitkan kemungkinan-kemungkinan China melalui CNPC menanamkan hegemoninya di Asia Tengah, serupa dengan Russia. Sedangkan pemberitaan di media menyebut China sebagai “the New Bigfoot in Global Oil”, yang mengartikan bahwa CNPC tiba-tiba menjadi pemain kunci strategis dalam pasar minyak global. bagaimanapun, kebijakan “go abroad” minyak China melalui CNPC ini sebagian besar dilatarbelakangi oleh keperluan minyak domestik yang dapat ditelusuri dalam dinamika kebijakan energi China pada 1993-1996.
2. Loan-for-oil Policy (1998-2005)
Pada tahun 1997, beberapa perekonomian negara berkembang utamanya negara-negara di Asia Tenggara sedang lesu karena krisis ekonomi. Sementara negara-negara lain dilanda krisis ekonomi yang dampaknya multidimensional, China justru menggunakan momentum krisis ekonomi sebagai kesempatan untuk menciptakan kesepakatan energi jangka panjang. Strategi yang seringkali merugikan dan kurang berhasil menangkap ekuitas melalui investasi langsung, kini dilengkapi dengan kebijakan model baru: “Loan-for-oil” dengan rezim pemerintahan yang sedang membutuhkan keuangan. Latar belakang kebutuhan finansial Kazakhstan telah diuraikan pada bagian awal. Krisis keuangan dan harga minyak yang jatuh mengirim sinyal-sinyal urgensi perekonomian Kazakhstan. Celah ini yang dimanfaatkan oleh China untuk menjalin dan memperdalam kemitraan perdagangan dengan Kazakhstan utamanya di sektor perminyakan. Dengan ini, pemerintah China sekaligus membuka peluang baru bagi perusahaan minyak nasional dan perusahaan minyak domestik.
Kebijakan ini memberi tiga keuntungan strategis bagi China. Pertama, kebijakan ini memungkinkan China untuk mengunci akses suplai mendatang, memperpanjang kepentingan China di negara-negara yang selama ini perusahaan nasional China kesulitan menembus akses, dan menciptakan kesempatan untuk negara yang bergerak di sektor jasa.
Keuntungan nyata ialah, China memperoleh keseepakatan-kesepakan minyak penting. Misalnya kesepakatan bilateral dengan pemerintah Kazakhstan di tahun 2009 memberi China 50 persen saham Mangistaumunaigaz (MMG) yang memiliki cadangan minyak sebesar 370 million barrels/ day atau setara dengan 52 juta ton (million ton) bersamaan dengan suntikan dana finansial untuk pembangunan pipa Kazakhstan-China sepanjang 3000 km.
Kesepakatan serupa juga dilatarbelakangi oleh kebijakan yang sama. kesepakatan pemerintah Kazakhstan dengan China yang mana CNPC dan Bank Ekspor-Impor China (China Export-Import Bank) akan meminjamkan US$ 5 milyar masing-masing untuk Kazmunaigaz (KMG) dan Bank Pembangunan Kazakhstan. Masing-masing pinjaman menandai titik balik dalam hubungan perdagangan yang telah terbukti sulit dalam beberapa tahun terakhir.
Situasi sulit investasi China juga terjadi ketika CNPC berhasil memperoleh 100 % saham PetroKazakhstan (PK) di tahun 2005. Akuisisi tersebut merupakan akuisisi luar negeri terbesar oleh perusahaan minyak nasional China. Sebagai respon, pemerintah Kazakhstan kemudian memperkenalkan undang-undang baru pada tahun 2006. Undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah Kazakhstan tersebut memungkinkan transfer 33 % ekuitas CNPC di PK ke Kazmunaigaz . Sebagai gantinya, 67 persen saham CNPC dalam PK kini disertai 50 % saham di Mangistaumunaigaz (MMG). Ini meneguhkan posisi CNPC yang semakin kuat di Kazakhstan dalam konteks keamanan energi.
Kebijakan ini dapat dianggap cukup strategis bagi Kazakhstan. Bagi Kazakhstan, China menjadi tempat untuk mendapatkan aliran tunai yang mudah dengan pinjaman yang murah. China. China cukup cerdik merebut kesempatan disertai kemampuan untuk memberi pinjaman jangka panjang ketika proyeksi keuangan Kazakhstan sulit untuk dipenuhi. Dalam semua transaksi dan tender di sektor energi Kazakhstan, pemerintah Kazakhstan menganggap pemerintah China sebagai mitra yang bersedia untuk membuat kompromi-kompromi—baik dalam tingkat suku bunga dan jaminan pinjaman—dengan maksud menarik modal. Selain itu, dalam banyak kasus tingkat bunga yang dibebankan oleh pemerintah China cukup rendah yakni di bawah 6.5 %. Syarat-syarat tersebut mudah diterima oleh pemerintah asing yang memerlukan pinjaman dan tingkat bunga pinjaman China yang rendah. China pun membayar harga impor oil sesuai dengan harga pasar global. barangkali hal paling penting ialah, peran negosiasi pemerintah China lebih mudah daripada negosiasi dengan perusahaan minyak internasional lainnya. Sebagaimana pernyataan CEO Petrobras Sergio Gabrielli menyikapi pinjaman yang diberikan oleh pemerintah China.
“There isn’t someone in the US govenrment that we can sit down with and have the kinds of discussions we’re having with the Chinese”.
3. Transnational Oil Pipeline (2004-2011)
Salah satu kebijakan energi beranggapan bahwa keamanan energi China dapat tercapai apabila Cina mengalihkan jalur rute transfer minyak dari jalur laut (atau seringkali disebut Sea Lines of Communication atau SLOCs) ke jalur darat. Sasaran kebijakan ini ialah pembangunan pipa transnasional yang menghubungakan arus suplai dari produsen minyak ke China. Pembangunan pipa bertujuan untuk mengamankan jalur suplai minyak masuk ke China karena keuntungan strategis daratan China yang berbatasan langsung dengan produsen minyak.
Sedangkan China sendiri belum memiliki kapabilitas angkatan laut yang cukup kompetitif untuk bersaing dengan angkatan laut Amerika Serikat di titik-titik strategis seperti di Selat Hormus dan Selat Malaka. Walaupun demikian, jalur darat juga menuai perdebatan karena kerentanannya terhadap serangan udara. Salah satu kelemahan lain jalur pipa darat ialah biaya yang dikeluarkan sangat besar untuk membangun pipa minyak transnasional. Oleh karena itu, muncul banyak kajian dari mengungkapkan bahwa kebijakan pembangunan pipa transnasional yang menghubungkan Kazakhstan-China menjadi tidak ekonomis.
Pada tahun 1997, sebagai bagian kesepakatan investasi CNPC di Uzenmunaigaz CNPC menawarkan untuk melaksanakan studi kelayakan pada pipa 3000 km, yang diperkirakan memakan biaya US$ 3.5 milyar sebagai bagian kesuksesan tawaran 60% saham Akyubinsk Oil Company (dikenal juga dengan nama Aktobemunaigaz). Kemenangan investasi CNPC di dua kilang minyak tersebu ttidak terlepas dari keterlibatan Perdana Menteri China Li Peng dalam proses negosiasi. Yang dipertanyakan ialah keterlibatan Perdana Menteri Li Peng dalam proses tender dipimpin oleh China dan analisis asing yang beranggapan bahwa proyek tersebut berimplikasi politis. Salah satu spekulasi yang berkembang penawaran pemerintah China membangun pipa tersebut merupakan bagian dari politik China untuk menyediakan Almaty dengan outlet non-Russia sebagai imbalan untuk pembatasan separatis Uighur di Kazakhstan. Hal ini menunjukkan CNPC tidak mungkin membangun jaringan pipa komersial bagi keamanan nasional dan dukungan keuangan dari pemerintah pusat di Beijing. Kasus ini memberi indikasi bahwa keputusan terkait pipa transnasional akan melibatkan penyeimbangan kepentingan keamanan melalui kebijakan luar negeri China dan analisis terkait kepentingan komersial perusahaan minyak China.
Selain itu terdapat kesepakatan konstruksi pipa Kazakhstan dan China yang lain sebagai bagian dari janji investasi China setelah memenangkan tender 100 % saham PetroKazakhstan (PK) di tahun 2005. Pipa sepanjang 3040 km tersebut diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Kazakhstan pada Rusia. Meskipun konstruksi pipa tersebut sempat terhalang karena tingginya harga konstruksi, konstruksinya kemudian dilanjutkan dan dilaksanakan dalam tiga tahap sebagaimana diilustrasikan oleh Gambar III.2 di bawah ini.
Gambar III.2 Pengerjaan Pipa Minyak sepanjang 3000 km dari Atyrau (Kazakhstan) sampai Alashankou (China) pada 2005
Pipa China-Kazakhstan ini memiliki panjang 3000 km dari Atyrau melewati Kenkiyak dan Atasu dan berakhir di Alashankou sebelum akhirnya sampai di pengilangan Dushanzi, provinsi Xinjiang. Tahap pertama selesai pada 2003 menghubungkan Aktobe dan Atyrau. Pembangunan jalur pipa tahap ketiga yang konstruksinya baru dimulai pada 11 Desember 2007, diharapkan selesai pada 2011. Pipa tersebut memungkinkan untuk menyalurkan minyak sebesar 200.000 barrel perhari atau setara dengan 28,129 ton.
Kebijakan energi China saat ini terfokus pada kesepakatan pembangunan pipa minyak transnasional. Kesepakatan pembangunan minyak ini banyak direalisasikan melalui perusahaan minyak masing-masing negara, yakni CNCP-China dan Kazmunaigaz-Kazakhstan. Meskipun demikian, pengesahan investasi dan penandatanganan kesepakatan dilakukan oleh pejabat pemerintah masing-masing.
Disaksikan oleh ketua Standing Committee of China’s National People’s Congress (NP), Wu Bangguo, dan First Deputi Prime Minister of Kazakhstan, Umirzak Shukeyev, CNPC dan Kazmunaigaz menandatangani perjanjian prinsip-prinsip dasar desain, pembiyaan, konstruksi operasi pipa minyak transnasional Line C. Presiden CNPC, Jiang Jiemin dan Presiden Kazmunaigaz Kairgeldy Kabyldin menandatangani perjanjian. Secara singkat kebijakan China dalam CNPC di Kazakhstan dapat diringkas dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3 “Kebijakan Energi China melalui CNPC di Kazakhstan (1997-2011)”
Sumber: http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=CH#pet
BAB IV
KESIMPULAN
Runtuhnya Uni Soviet pada 1991 mengarah pada kemerdekaan Kazakhstan. Kazakhstan muncul sebagai negara baru yang kaya dengan sumber energi, utamanya minyak. Sayangnya, hubungan Kazakhstan dengan negara-negara di sekitarnya dan dunia internasional masih sangat minimal. Hal ini menyulitkan pemerintah baru Kazakhstan untuk bangkit dari kemerosotan ekonomi untuhnya Uni Soviet. Pilar utama perekonomian Kazakhstan yakni sektor energi tidak luput masa-masa sulit. Seperti produksi tambang mineral, jumlah produksi minyak terus menurun drastis. Penurunan ini mencapai puncaknya di tahun 1992. Bahkan neberapa perusahaan minyak nasional Kazakhstan berada terancam pailit. Sebagai langkah prakis, pemerintah Kazakshtan segera melakukan privatisasi yang membuka peluang investasi sebesar-besarnya bagi negara lain maupun disekitarnya untuk berinvestasi.
Investasi tersebut ini datang bersamaan dengan kepentingan China untuk mengatasi persoalan fundamental, eksternal maupun struktural energinya. Pemerintah China menyadari bahwa China tidak bisa selamanya mengejar “self-sufficient policy”. Pemerintah China mengintegrasikan kebijakan energi dalam bisnis internasional melalui investasi perusahaan nasional ke luar. Pada tahun 1997, China menyambut peluang investasi energi di Kazakhstan dengan tawaran investasi lebih baik daripada perusahaan minyak Amerika Serikat dan Russia. Kemenangan tender China terhadap perusahaan minyak nasional Kazakhstan mengawali “Go Out Policy”. “Go out policy” secara sederhana merupakan kerjasama ekonomi melalui investasi asing atau mendorong dan mendukung perusahaan terpilih untuk terjun dalam investasi asing atau bisnis transnasional.
Sayangnya China memiliki satu persoalan utama dalam kebijakan energi yakni inkoordinasi antarbadan pusat kebijakan energi. Reformasi dan restrukturisasi dalam badan pusat kebijakan energi mencerminkan ketidaksiapan pemerintah China dalam merespon pasar energi global. Akibatnya, seringkali pemerintah harus turun langsung dalam setiap kesepakatan dan negosiasi tender perusahaan nasionalnya.
Kesuksesan CNPC sebagai pemain energi tunggal di Kazakhstan tidak lepas dari dukungan pemerintah China dalam memuluskan negosiasi dan kesepakatan tender-tender minyak besar di Kazakhstan. Salah satu dukungan besar pemerintah China ialah pinjaman-pinjaman yang diberikan pada pemerintah Kazakhstan. Tujuan dalam konteks keamanan energi ialah untuk mengamankan akuisisi minyak Kazakhstan. Kebijakan ini sering dikenal dengan “loan-for-oil policy”. Bantuan pemerintah China melalui pinjaman dana dari bank-bank China membuat posisi tawar China lebih tinggi daripada kompetitor lainnya.
Hal ini yang menjadi perbedaan CNPC dengan kompetitor lainnya. Perusahaan minyak lainnya tidak hanya bersaing dengan CNPC, tetapi mereka bersaing dengan “China”. Sementara aktivitas perusahaan minyak mengejar keuntungan komersial atau profit, aktivitas dan keuntungan CNPC digunakan untuk melayani tujuan-tujuan nasional China. CNPC berperan sebagai strategi kebijakan energi China yang kehadirannyta tidak semata-mata bergerak sebagaimana tingkah laku perusahaan transnasional pada umumnya, tetapi menjadi subordinat dalam sistem “state-centric”. Mustahil bagi CNPC untuk mengejar keuntungan komersial sebagaimana perusahaan swasta, karena pemerintah memiliki hak veto atas setiap investasi, akuisisi, dan kesepakatan bisnis CNPC.
Kebijakan dalam “Transnational Oil Pipelines” berperan untuk mengoptimalisasikan transfer energi ke China utamanya ke kilang minyak China Berdasarkan konteks keamanan energi, “transnational oil pipelines” berfungsi untuk meneguhkan posisi China sebagai aktor energi utama di Asia Tengah.
Dalam metafora sederhana, Kazakhstan sebagai suatu rumah yang memiliki berbagai sumber daya alam yang menarik investor asing untuk berkunjung ke dalam. Didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi sebagai bahan bakar utama, China datang sebagai investor aktif dengan tabungan tunai melimpah. “Go Abroad Policy” dibaratkan sebagai pavement yang membuka jalan menuju rumah energi Kazakshtan. Sedangkan “Loan-for-oil” berperan sebagai kunci pintu masuk. Maka, “Transnational Oil Pipelines” berperan sebagai terowongan yang menghubungkan antarrumah energi China.
Ketiga kebijakan energi di atas menjadi inti kebijakan luar negeri China untuk menjamin suplai energi mendatang. Kebijakan energi China melalui CNPC ini berjalan semakin intensif seiring dengan peningkatan kualitas kemitraan strategis China-Kazakhstan. Kemitraan strategis ini menciptakan win-win situation bagi kedua pihak.
Kemitraan strategis China membantu Kazakhstan dalam beberapa hal penting terutama dalam politik dan perekonomian. Secara politis, kemitraan strategis China membantu Kazakshtan lebih independen dari kontrol energi utamanya minyak Russia. Dalam hal perekonomian, kemitraan strategis dengan China memungkinkan sektor industri lainnya berkembang, seperti perdagangan barang dan jasa dan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan pipa minyak dan gas. Kemitraan strategis ini mendapat sambutan positif dari dua negara. Poin penting kemitraan strategis energi antara pemerintah China dan Kazakhstan ialah membangun akuntabilitas CNPC sebagai mitra energi yang paling bisa dipercaya.
Word count: 3023
Wordcounts: 3718
Wordcounts 6272
Words count: 652
Comments
Post a Comment