DEALING WITH CULTURE


DEALING WITH CULTURE
Ø  How cultural is our contemporary geopolitics?
Ø  To what extent is the cultural factor increasingly important in geopolitics?
Ø  Why is geopolitical development getting cultural?
Tulisan bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Penjelasan pertama dimulai dengan definisi konsep “kultur”. Setidaknya terdapat beberapa definisi yang ditemukan dalam tulisan Immanuel Wallerstein,[1] Salle Marston,[2] Zhu Majie,[3] dan terakhir ialah Samuel Huntington.[4] Sayangnya belum ada kesepakatan terkait definisi yang tepat digunakan dalam menjelaskan signifikasi kultur dalam geopolitik. Walaupun demikian, ini bukan akhir dari kultur dan geopolitik yang dianggap terpisah dari wacana geoekonomi saat ini. Sebaliknya beberapa tulisan dari pemikir geopolitik mengungkap sebaliknya.
Tulisan Salle Marston  tidak lebih sebagai pendahuluan dinamika penerapan konsep kultur dalam tatanan geopolitik. Salle Marston menyebutkan sedikit sekali konsep kultur digunakan wacana geopolitik. Konsep kultur baru mulai digunakan dalam tulisan Wallerstein. Seperti pada banyak tulisan Wallerstein lainnya, ia memetakan hierarki kultural. Misalnya Wallerstein meletakkan “grup” dalam hierarki paling rendah, dan “kultur” dalam hierarki lebih tinggi.[5] Menurut Wallerstein, “kultur” merupakan cara untuk membedakan grup yang satu dengan lainnya.[6] Pengelompokan Wallerstein lebih lanjut terdiri atas Kultur Usage I dan Kultur Usage II. Kultur Usage I menjelaskan sejumlah karakteristik yang membedakan grup satu dengan lainnya. Sedangkan Kultur Usage II, merupakan sejumlah fenomena yang terjadi pada satu grup saja.[7]
Zhu Majie (2002), mendefinisikan kltur sebagai kompleksitas yang meliputi pengetahuan, keyakinan, seni, hukum, moral, kebiasaan dan kapabilitas lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[8] Menurutnya kultur merupakan produk dari sejarah, dan sistem yang bertahan, yang memiliki tendensi dinikmati bersama oleh grup atau bagian lain dalam periode tertentu.[9] Dengan kata lain menurut Zhu Majie, kultur itu telah ada seusia peradaban manusia itu ada. Oleh karena itu, seringkali kultur suatu grup atau manusia sebagai anggota masyarakat lekat dengan ide-ide politik, hukum, etika, seni, agama, ilmu yang membentuk sistem. Poin penting dalam tulisan Zhu Majie (2002) ialah kultur tidak statis, sebaliknya bersifat dinamis. Zhu Majie mempercayai bahwa “peradaban” atau civilization merupakan produk dari kultur yang berkembang ke tingkat yang lebih tinggi.[10] Kerangka Zhu Majie menyajikan satu contoh, yakni bahasa dan tulisan. Menurutnya, bahasa merupakan produk dari kultur, sedangkan tulisan merupakan produk dari civilization.
Berangkat dari dinamika kultur dalam geopolitik (Marston, 2004), definisi konsep kultur dan hierarki hierarkinya (Wallerstein, 1990), serta konsep civilization yang melekat dalam kultur (Zhu Majie, 2002), diperoleh kesimpulan bahwa kultur mulai dilekatkan dalam wacana hubungan internasional. beberapa analis seperti Samuel Huntington bahkan mengangkat isu kultur dan civilization ke dalam konteks yang lebih tinggi dalam hubungan antarnegara. Samuel Huntington (1996) dalam tulisannya menyatakan pada suatu tingkat bahwa civilization lebih tinggi daripada kedaulatan negara yang diterbitkan pada tahun 1993.[11] tulisan Samuel Huntington kemudian mengundang banyak tulisan lain yang ramai mengangkat isu serupa baik sebagai kritik maupun sebagai evaluasi atau membenarkan thesis Huntington; misalnya Lawrence Harrison (), Thomas Sowell (1994), dan Francis Fukuyama (1995).
Lawrence Harrison menjelaskan ikatan kultur dalam sosial, ekonomi, hukum, dan politik suatu negara. Menurut Lawrence Harrison, kultur turut menentukan arah perekonomian suatu negara dan status negara dalam hubungan internasional.[12] gagasan Lawrence Harrison ini juga didukung oleh Francis Fkuyama dalam bukunya “Trust”.[13] Dalam hal pengambilan keputusan, persepsi dan kognisi pengambil keputusan juga dipengaruhi oleh sifat, karakter, dan pembawaan individu yang banyak dikontruksi oleh kultur yang melekat di sekelilingnya.[14]
Uraian di atas hanyalah pendahulu bahwa ikatan kultur dan hubungan internasional mulai semakin signifikan.[15] Momentumnya terletak pada pasca Perang Dingin. Zhu Majie menambahkan pasca Perang Dingin terbentuk kultur baru yang disebut sebagai diplomasi ham, insititusi internasional, dan intervionisme militer.[16]
Bagaimana geokultural temporer saat ini? Tulisan Zhu Majie (2002) yang menegaskan bahwa geokultur dibentuk oleh nilai-nilai baru seperti penegakan hak asasi manusia dan intervionisme militer Amerika Serikat sebagai supremasi tunggal dalam politik internasional. Sedangkan dalam politik global, Zhu Majie membenarkan adanya kultur yang melekat pada ide-ide politik, institusi internasional, hukum internasional, dan tatanan ekonomi internasional yang mana keempatnya ditentukan oleh supremasi tunggal atau unipolarisme Barat, utamanya Amerika Serikat.
Sejauh mana faktor kultural semakin signifikan dalam geopolitik? Ada dua alternatif jawaban dari penulis yang berbeda. Pertama, Guo Jiemin (2002) menyebut faktor kultural tersebut ialah adanya hegemoni kultur.[17] Karena dilekati oleh hegemoni dan dominan, maka variabel yang melekat dalam kultur tersebut ialah power. Karena mengangkat variabel power, maka juga menimbulkan adanya national strength. National strength menurut Guo Jiemin ini dapat timbul dari kapabilitas ekonomi, hubungan militer, ilmu, teknologi dan sumber daya alam.[18] Ketika interaksi antarnegara dalam kerjasama makin intensif, maka persaingan akan semakin kompetitif. Menurut Guo Jiemin, suatu negara yang tidak mampun mendapatkan tujuannya melalui persaingan kekuatan (struggle for power)  akan berusaha untuk membangun common values atau common awareness melalui kesamaan-kesamaan nilai kultural. Dalam era modernisasi sekarang, salah satu perangkat penting untuk mewujudkannya ialah melalui media.[19] Pemanfaatan media untuk membentuk hegemoni kultur maupun menyebarkan pengaruh power negara ini membuka peluang kultur sebagai softpower suatu negara.
Alternatif jawaban kedua terletak pada penjelasan hegemoni kultur yang dicapai melalui agresi imperialis dan ekspansi. Hal ini berasal dari konteks sejarah imperialisme dan kolonialisme. Hegemoni kultur yang tercipta dengan mengurangi kultur-kultur lainnya atau membuat kultur lain menjadi minoritas atau marginal, merupakan salah satu penjelasan yang tercakup pada strategic culture. Imperialisme dan kolonialisme turut menyumbang persepsi bahwa kultur penjajah seolah lebih baik daripada kultur asli atau indigenous. Sebagai respon adanya hegemoni kultur oleh imperialisme/ kolonialisme menyebabkan adanya perasaan xenophobia. Dengan kata lain, power dan militer juga dapat menjadi faktor determinan geokultural.
Pertanyaan terakhir, mengapa perkembangan geopolitik menjadi semakin kultural? Jawabannya dapat ditemukan dalam tulisan Samuel Huntington (1999). Menurut Samuel Huntington (1993) , terjadi rekonfigurasi politik global yang didorong oleh modernisasi. Rekonfigurasi politik global ini menciptakan, apa yang disebut oleh Huntington (1993) cultural lines. Cultural lines didefinisikan oleh pertemuan perbedaan kultur pada tingkat lebih tinggi, ia menyebutnya civilization. Huntington meletakkan civilization di atas kultur karena Huntington menyadari terdapat persamaan yang dimiliki oleh beberapa kultur yang ada. Persamaan ini seringkali menjadi semakin fundamental perbedaan dengan beberapa kelompok kultur yang lainnya.[20] Cultural lines inilah yang disebut-sebut sebagai potensi sumber konflik antar-civilization. Seringkali cultural lines juga mewakili batas-batas politik. Dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1993, Samuel Huntington membagi beberapa wilayah dalam tujuh civilization dunia yang mana persinggungan antarbatas civilization disebut fault lines.Garis besar thesis Samuel Huntington ialah, komintas kultural atau civilization inilah yang menggantikan blok pada masa Perang Dingin. Hal ini menyebabkan perkembangan kultur dan civilization menciptakan persinggungan yang sarat dengan pertarungan politik. Dengan demikian, muncul persoalan geokultur yang mana bagian terkecil identitas individu suatu negara bukanlah nasionalisme,  tetapi identitas kultur seperti agama, etnis, dan ras.




[1] Immanuel Wallerstein (1990), Culture as the Ideological Battleground of the Modern World System, dalam Mike Featherstone (ed,), “Global Culture: Nationalism, Globalization and Modernty”, London, SAGE Publication, h. 31-55
[2] Salle Marston (2004), Space, Culture, State: Uneven Develpment in Political Geography, dalam “Politcal Geography”, No. 23, p. 1-16
[3] Zhu Majie (2002), Contemporary Culture and International Relations, h.23-
[4] Samuel Huntington (1996), The Cultural Reconfiguration of Global Politis, dalam “The Clash of Civilization and the Remaking of World Order”, London, Touchstone Books, h. 125-154.
[5] Wallerstein (1990), Op.Cit., h. 31-32
[6] Ibid.
[7] Ibid., h. 33
[8] Zhu Majie, Op. Cit., h. 23
[9] Ibid.
[10] Ibid., h. 24
[11] Ibid. H. 27
[12] Ibid. h. 26
[13] Ibid., h. 27
[14] Valerie Hudson (2007)
[15] Zhu Majie, Op. Cit., h. 28
[16] Ibid., h. 29-32
[17] Guo Jiemin (2002), Cultural Power and Cltural Conflict dalam Yu Xintian (ed.), “Cultural Impact on International Relation”, Washington DX, The Council for Reserach in values and Philosophy, h. 65
[18] Ibid., h. 66
[19] Ibid.
[20] Samuel Huntington (1993), the Cultural Reconfiguration of Global Politics, dalam “The Clash of Civilization and the remaking of World Order”, London, Touchstone Books, h. 125

Comments

Popular posts from this blog

GEOSTRATEGI AMERIKA SERIKAT

Problem Multikultural di Negara Monokultural: kasus Uyghur di Provinsi Xin Jiang terhadap mayoritas China Han, RRC

TEORI-TEORI GEOPOLITIK